Saujana, yang nampak hanya lautan padi yang menenggelamkan mentari senja, saat langkahku menjejaki jalan setapak. Sunyi, tapi kunikmati. Silau, tapi aku tak galau. Lelah, tapi ku pasrah. Karena sepuluh meter lagi akan kurebahkan punggung yang tulangnya serasa bengkok ini. Biasanya mentari senja sudah setengah tenggelam dimakan kelapangan sawah yang menguning di kanan-kiri jalan setapak ini. Sinar jingganya yang memancar semakin menyolokkan kuningnya padi, memberitakan bahwa padi itu sudah siap panen. Selalu seperti ini tiap sore. Seolah-olah semburat jingga itu memang menyambut kepulanganku. Pulang dari lelahnya hiruk-pikuk dunia. Tapi sore ini berbeda. Mentari senja kali ini belum setengah tenggelam. Bahkan masih bulat utuh, meski nyaris tenggelam. Entah karena pergantian lintasan matahari semu, ataukah karena aku pulang kerja 30 menit lebih awal dari biasanya. Namun, yang jelas, bulatan mentari itu membuatku berkhayal, “Pasti nikmat merendam kaki di air hangat sambil menikmati sepiring pancake, roti bakar, atau… apa sajalah”.
Bayangan “kenikmatan” itu sudah bersarang di benakku sejak tadi. Padahal sepotong roti pun aku sedang tidak punya. Kenikmatan yang sepele, tapi begitu berarti bagiku. Maklum, aku sedang dalam proses “pengiritan kue” alias diet kue agar bisa membayar kontrakan. Sejak awal memang yang kuinginkan adalah ngekos. Biar pun satu kamar berdua, yang penting murah. Tapi ternyata tempat kerjaku bukanlah lingkungan kampus ataupun kawasan industri. Hanya kontrakan di komplek perumahan ini yang bisa kuperoleh. Untunglah ada teman yang mau menemani, sehingga aku tidak terlalu berat dalam pembayarannya.
Sebenarnya komplek perumahan ini kurang cocok untukku. Selain karena sudah terbiasa tinggal di kos-kosan, aku juga takut dicap sombong oleh para tetangga. Lantaran aku tak pernah menampakkan wajahku dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh dasawisma sekitarku. Habis bagaimana lagi? Pekerjaanku sehari penuh, dari Senin hingga Sabtu, mulai jam 07.00 hingga 17.30.
“Assalamualaikum…”
Begitu tiba aku langsung menuju dapur meraih segelas air, mencoba menggantikan ion-ion tubuhku yang hilang. Aku terkejut. Melihat yang aku khayalkan menjadi kenyataan. Ada seiring roti bakar di meja makan.
“Ini milikmu, Rin? Aku minta sepotong, ya?”
Nyaris kugigit, Rina menjawab, “Bukan! Itu bukan milikku. Tapi diberi oleh tetangga sebelah. Tentu saja untuk kita berdua.”
“Oh..” Kulahap roti itu dengan penuh syukur.
Keesokannya hari-hari monoton kulalui. Seperti biasa, aku berjalan pulang saat peristiwa pergantian siang dan malam. Mentari senja berwarna jingga yang menyilaukan hampir tenggelam. Bulatan mentari senja itu mengingatkanku pada piring tetangga yang belum dikembalikan. Ah, besok saja. Hari ini aku begitu lelah.
Ternyata setibanya di rumah, sepiring pisang goreng sudah terhidang di meja makan. Lagi-lagi beralaskan piring yang sama. Piring bulat ceper berwarna jingga bermotif matahari di sekeliling sisinya. Sekarang piring itu bertumpuk dua. Rabu, sepiring pancake bertandang di meja makanku. Kamisnya, sepiring donat sudah menungguku pulang. Piring itu sudah bertumpuk empat sekarang. Belum juga sempat kukembalikan ke pemiliknya. Baik aku maupun Rina belum sempat mengembalikannya. Belum sempat atau tidak menyempatkan diri, ya? Meskipun Rina selalu pulang saat lunch break, tapi waktu yang singkat itu tidak mampu mengingatkannya untuk mengembalikan piring tersebut. Rasanya kepuasan diri untuk merebahkan tubuh lebih dipentingkan demi aktivitas selanjutnya di esok hari. Begitu juga denganku. Lagipula bagiku, mengembalikan piring bukan urusan yang enteng. Semakin banyak piring yang menumpuk semakin besar pula benda yang selayaknya kita berikan sebagai tanda balas budi. Aku bahkan tidak tahu siapa pemiliknya. Ah…aku memang keterlaluan!
“Rin, ngomong-ngomong siapa tetangga baik hati yang suka mengirim makanan untuk kita?” sambil mengunyah donat kutanyakan juga hal itu.
“Itu loh, tetangga samping kanan. Yang punya anak kecil berkepala gundul.”
“Oh, Bu Wiwi. Kok kamu tahu kalau dia punya anak kecil?”
“Lha wong yang nganterin kue ke sini ya anaknya yang kecil itu.”
“Oh…”
Rina selalu pulang ke rumah lebih dulu dibanding aku. Dia juga lebih sering bergaul dengan tetangga. Tentu saja dia yang lebih dikenal oleh tetangga.
“Katanya, “Ini buat Mba Rina sama Mba yang satunya. Kasihan Mba yang satunya kecapean’,” ujar Rina melanjutkan, sembari memperagakan gaya bicara si anak kecil.
“Wuah… perhatian sekali anak itu. Siapa namanya?”
“Mm.. I..Ijal, kalau tidak salah.”
Aku pikir betapa perhatiannya anak itu, bahkan pada orang yang tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Ataukah karena selama ini aku selalu mementingkan ego, dan mengedepankan individualisme sehingga Allah menegurku? Aku bukan penderita altruis. Penyakit orang yang gila kerja. Aku juga mahluk dwitunggal yang masih memiliki sisi sosial. Sisi yang membuatku tinggal dalam masyarakat, dan bukan hutan belantara. Karena itu kuputuskan untuk memperbaiki diri. Menggunakan hari ‘beres-beres rumah’ minggu ini untuk bersilaturahmi ke tetangga sekitar, dan tentu saja mengembalikan piring Bu Wiwi.
Hari Jumat, Ijal absen mengirimkan kue ke rumah. Syukurlah anak itu tidak terlalu baik, sehingga aku tidak kesulitan membalas budi. Hari Sabtu, Ijal maupun ibunya tidak mengambil piring di rumahku. Tak apalah. Memang seharusnya aku yang mengembalikan piring ke rumah mereka. Akan lebih baik jika piring tersebut kuisi dengan kue pula. Tapi dengan apa ya? Dengan pancake, roti bakar, pisang goreng, atau… ah terlalu repot! Lagi pula tidak enak rasanya jika yang kukirimkan pada mereka sama seperti apa yang mereka berikan padaku. Lalu kuputuskan untuk mengisi salah satu piring mereka dengan puding jeruk yang istimewa. Sedang piring yang lain cukup aku tumpuk saja di bawahnya.
Pada hari yang penuh dengan rencana, aku terjaga mulai dini hari. Bubuk puding yang telah kubeli segera kubuat dini hari pula. Agar siang nanti siap kukirimkan. Tetapi, hanya kelengangan yang kudapati ketika siang hari aku telah berada di depan rumah tetangga sebelah kananku. Aku jadi sangsi, apakah benar ini rumah Bu Wiwi? Sambil menatap rumah itu aku terus mengucapkan salam. Sampai-sampai tetangga sebelah Bu Wiwi keluar untuk memberitahukan bahwa Bu Wiwi beserta keluarga sedang berada di rumah sakit sejak dua hari yang lalu.
“Kemarin saya dan ibu-ibu PKK sempat menengok Ijal di rumah sakit. Kasihan anak itu, kecil-kecil sudah terkena kanker.”
Apa? Kanker? DEG! Aku hampir tidak percaya mendengar kabar itu. Penyakit yang selama ini mejadi momok kini bersarang di tubuh Ijal tanpa aku mengetahuinya? Bahkan Ijal masuk rumah sakit pun aku tidak tahu? Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Ah, bukan salah mereka. Kenapa aku tidak mencari tahu? Ya Allah, rasanya hati ini seperti disayat pisau sesal yang tajam. Apakah aku masih Kau beri kesempatan untuk mengucapkan terima kasih kepada Ijal? Anak yang memperhatikan orang yag tidak perhatian seperti aku ini. Ya Allah, berikan aku kesempatan untuk melihatnya tersenyum. Belum pernah aku berdoa setulus ini untuk orang lain, maka kabulkan ya Rabb.
Aku harus ke rumah sakit sebelum sesalku semakin dalam. Belum sempat kuberanjak dari tempatku berdiri, sebuah mobil Kijang berhenti di depanku. Ternyata mereka sudah kembali. Tetapi, wajah Bu Wiwi menyiratkan kesedihan yang mendalam. Matanya bengkak dan berkantung hitam, menandakan kurang tidur dan terlalu banyak menangis. Aku tidak tahu berapa malam ia menangis. Aku tidak mau memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang telah terjadi. Ingin rasanya menanyakan keadaan Ijal, tetapi aku takut mengganggu, takut menambah kesedihan, takut berlaku kurang sopan. Segala ketakutan dan keraguan ada padaku. Apalagi setelah Ijal dibawa keluar dari mobil. Diangkat oleh seorang ayah dengan kedua tangannya. Tubuh mungil itu, yang nampaknya sudah kaku terus menerus diciumi oleh ayahnya. Aku semakin membeku. Sambil terus memegangi piring-piring itu, aku mematung. Semakin mematung oleh keadaan dan situasi yang rasanya berjalan begitu cepat.
“Mba Nuri? Ayo masuk!” ajak Bu Wiwi ketika melihatku mematung di depan rumahnya.
Aku gagap, trenyuh oleh kebaikan dan ketabahan beliau meski anaknya baru saja meniggal.
“E…iii…i..ini, cu..cuma…mau mengembalikan piring.” Air mata bu Wiwi kembali meleleh setelah mendengar kata piring. “Maaf, Bu, kalau saya membuat ibu sedih.”
“Ah tidak, saya cuma ingat sama Ijal saja. Ini piring kesayangannya. Katanya piring ini bentuk dan warnanya mirip matahari di sore hari, waktu tenggelam. Tiap hari dia juga bilang apakah besok dia masih bisa lihat matahari sore?”
Ucapannya membuatku membatin, betapa berarti melihat matahari senja baginya. Sama berartinya dengan usianya yang begitu singkat. Pemandangan alam yang menjadi saksi kelelahanku, gejala alam yang begitu membosankan bagiku. CiptaanMu yang aku lupakan, yang tidak berhasil mengingatkanku untuk mensyukuri umur yang telah kau berikan padaku. Ya Allah, ampuni hambaMu yang telah kufur ini.
“Tiap hari Ijal cuma bisa berbaring. Kalau keadaannya agak baik, terkadang saya tinggal bekerja sebentar. Di rumah bersama pembantu. Terkadang saya kasihan melihatnya tidak bisa bermain bersama teman-temannya. Seandainya saya memiliki banyak uang untuk pengobatannya, tentu saya rela menjadi teman bermainnya setiap saat, dan tidak usah bekerja. Akhir-akhir ini dia minta dibuatkan kue-kue. Saya pikir untuk dia habiskan sendiri. Saya baru tahu, kalau kue-kue itu dia kirimkan untuk Mba. Pantas saja dia sering berkata, ‘Kasihan Mba Nuri ya, Ma, kalau sore jalannya lesu. Pasti kecapean kerja.’ Dasar anak kecil, pikiranya polos. Padahal dia lebih kasihan dengan beban penyakit itu,” lanjut Bu Wiwi berkisah sembari tersedu.
Tanpa suara, air mataku mengalir dengan derasnya. Meleleh bersama sesal-sesalku. Pada saat seperti ini, siapa yang tidak ingin memutar waktu? Tapi itu hal yang mustahil. Hanya perbaikan yang bisa mengobati kesalahanku. Siang itu, aku benar-benar merealisasikan rencanaku. Mengembalikan piring dan bersilaturahim dengan tetangga-tetangga, meski dengan bergaun duka.
by;kelopak biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar