Senin, 06 September 2010

burung dalam sangkar

Tiga atau empat tahun yang lalu, aku masih bisa memandangi barisan panjang sawah yang indah. Aku masih berada di rumah terpencil yang dikelilingi oleh pematang-pematang hijau nan asri. Burung-burung pipit, segerombolan kodok, capung, jangkrik, belalang, bahkan kunang-kunang bukanlah mahkluk langka. Aku melihat mereka setiap hari. Dan aku masih di sisi orangtuaku, menyusahkan mereka hampir di setiap waktu.

Hampir setiap hari aku marah-marah sewaktu adik laki-lakiku membangunkanku waktu tidur siang. Setiap hari juga aku kesal seandainya ada tanda-tanda makhluk asing memasuki kamarku. Dan tidak jarang aku melarikan diri ke rumah teman seandainya tidak puas dengan pertengkaran kecil di dalam keluarga. Sering sekali keadaan terlihat lebih buruk dari apa yang sebenarnya. Banyak hal dari waktu itu masih tergambar jelas di benakku, terutama saat pertama kali melihat kesabaran ayah benar-benar habis.

Ayah menatapku dengan pandangan sangat tajam. Tidak ada kasih sayang, kehangatan, apalagi pengertian di dalam bola matanya itu. Itu membuatku takut. Ayah yang di hadapanku sekarang seperti bukan ayah yang aku kenal biasanya. Dengan jantung yang sudah mau melompat, tangan gemetaran serta pipiku yang tiba-tiba panas, aku menunduk pelan-pelan. Aku bersiap menghadapi hal terburuk sepanjang sejarah hidupku.

”SIAPA TADI ?” tanya ayah singkat. Aku masih menunduk, tidak bisa berkata apa-apa. Ada yang memborgol lidahku.

Ayah masih menatapku tanpa kedip, tak satu detik pun dia membiarkan aku lolos dari pandangan matanya. Hal itu tambah menciutkan nyaliku. Ibuku diam saja, adikku hanya membuang muka, tak peduli. Tidak ada dewi penyelamat, tidak ada malaikat, tidak ada dewi fortuna, bahkan mungkin Tuhan menginginkan aku menghadapi semua ini sendirian saja.

”Tadi Ayah memanggil cowok itu, tapi dia sudah pergi duluan. Tapi Ayah yakin sekali, Ayah kenal cowok itu. Siapa dia?”

“Dia temen,” jawabanku bodoh.

Wajah ayah semakin sangar. Pagi-pagi putrinya menghilang begitu saja, tanpa kabar dan alasan. Lalu tiba-tiba pulang lagi dan tidak sendirian, seorang cowok asing malah mengantarnya dengan sepeda motor. Melihat itu saja dia sudah kesal dengan setan yang tiba-tiba merasuki putrinya ini. Dia memperhatikan anak gadisnya dari ujung rambut sampai ujung jempol kaki. Entah menemukan keanehan atau tidak, wajahnya kelihatannya terluka.

”Di mana kenal dia?” tanya Ayah lagi.

”Temen yang kenalin. Dia dari desa sebelah kok.”

”Oh, pantas saja rasanya kenal. Dia anaknya Santika kan?” Spontan mukaku merah padam. Aku tidak tahu itu benar atau tidak, aku tidak kenal yang namanya Santika. Tapi Ayah yakin sekali.

”GA ADA COWOK LAIN APA!! KAMU ITU ORANG ’DESAK’ CARI COWOK YANG BERKASTA!” teriak Ayah. Suara Ayah mengelegar sampai di luar. Aku berdoa, semoga saja tidak ada orang yang lewat dan mendengarkan. ”LIHAT APA AKIBATNYA KAMU KENAL COWOK ITU! PERGI NGGA BILANG-BILANG. MAU SEPERTI TEMAN-TEMANMU YANG KERJAANNYA CUMA NYARI COWOK AJA!” Ayah menarik nafas sejenak. ”MIKIR SEDIKIT! AYAH MENYEKOLAHKANMU BIAR BISA BERPIKIR. PERCUMA KAMU SEKARANG JADI ANAK SMA KALAU OTAKMU MASIH TOLOL SEPERTI INI!” Ayah melemparkan seribu pisau yang tepat menusuk jantungku.

”INGATLAH HARGA DIRIMU. KALAU KAU SAMPAI MEMBUANG KASTAMU, SAMA SAJA SEPERTI KAU SUDAH MEMBUANG HARGA DIRIMU. KASTA ITU TIDAK BISA DIBELI DENGAN UANG! KAU AKAN LANGSUNG PUTUS HUBUNGAN DENGAN KELUARGA SAAT ITU JUGA. DAN AYAH TIDAK AKAN MAU PERDULI PADAMU LAGI!” teriaknya lagi. Ayah seakan tidak mau berhenti. Aku benar-benar kaget dan tercengang. Tiba-tiba semua di depanku menjadi kabur. Pipiku terasa basah. Melihat hal itu Ibu langsung mendekati Ayah dan menenangkannya.

Aku tahu Ayah hanya ingin meluruskan jalan pikiranku. Dia prihatin anaknya sudah melenceng jauh dari jalan pikiran seorang wanita berkasta. Harga diri, kebanggaan, dan leluhur, kata-kata itu harusnya melekat di benak anak perempuannya. Putus hubungan dari keluarga, direndahkan oleh keluarga besar, dua hal itu adalah hukuman seandainya melanggar prinsip kasta tadi, sama mengerikannya seperti neraka.

Aku sudah lupa apa yang terjadi selanjutnya. Sepertinya aku putus dengan cowok itu, tapi aku tidak ingat sama sekali kejadian selanjutnya seperti apa. Aku bahkan lupa bagaimana wajahnya. Mungkin kalau kami bertemu, aku tidak bisa mengingatnya lagi.

Tapi ledakan kemarahan Ayah dan bagaimana kecewanya dia masih melekat di ingatanku. Kenangan itu mengkutiku selama bertahun-tahun. Dia tertulis dengan tinta emas sehingga amat mencolok dan tak terlupakan.

”Udah lama?” kata seseorang tiba-tiba. Pertanyaan itu membuatku terhenyak dan membuyarkan lamunanku seketika. Aku segera menoleh ke arah asal suara itu. Ternyata seorang cowok sudah berdiri di sebelahku. Melihat aku tersenyum padanya, dia mengambil tempat duduk di depanku.

Aku memperhatikan ketika dia menarik kursi dan duduk di hadapanku. Kelihatannya dia agak kikuk karena aku pandangi. Tapi aku tidak peduli. Caranya membalas senyumanku membuatku terlena dan tidak ingin melepaskan pandanganku darinya. Jaket warna cream yang dia pakai mengingatkanku ketika kami pertama kali pergi keluar. Aku yang memilihkan untuknya, dan aku senang sekali dia selalu berusaha memakai itu setiap kami bertemu. Dia tidak terlalu tinggi dan juga biasa-biasa saja. Tapi begitu melihat cahaya lembut di balik kacamatanya, hatiku rasanya disiram oleh sesuatu yang tidak terlihat, hangat, dan menenangkan.

”Kenapa?” tanyanya setelah duduk. Aku hanya menggeleng, tapi masih memandanginya seperti orang terkena hipnotis.

”Nei, ayahmu bilang sesuatu kemarin?” tanyanya lagi. Kali ini dia kelihatan serius. Aku menggeleng lagi. Tidak ada yang terjadi setelah dia menemuiku kemarin. Memangnya apa yang dia harapkan?

Aku jadi teringat lagi dengan ajaran keras dari Ayah. Kasihan dia, anak perempuannya tidak pernah merubah tabiatnya. Cowok di hadapanku ini, memiliki nama yang sederhana. Hanya ada I Made di depan namanya. Tidak ada Ngakan, Ida Bagus, Dewa, Cokorda, maupun merk-merk kasta yang lainnya. Seseorang yang memiliki salah satu merk nama itu pernah mendekatiku, namun tetap saja hanya cowok di hadapanku ini yang bisa menyiramkan sesuatu yang hangat ke hatiku. Mungkin itulah yang mematahkan harapan Ayah sehingga dia tidak pernah bersikap baik pada Artha.

”Apa yang kalian bicarakan kemarin?” tanyaku penasaran. Ayah yang begitu dingin pada Artha, kemarin malah mengajaknya bicara berdua saja. Aku pun tidak diberi ijin untuk mendengarkan. Mungkin secercah harapan mulai timbul.

”Bukan hal penting kok,” jawabnya.

”Oh, ya sudah.” sahutku pura-pura cuek.

”Nei…”Tiba-tiba dia memanggilku dengan lembut.

”Ada apa?”

”Sudah dua tahun.”

”Dua tahun? Maksudnya?” Artha tidak biasanya seperti ini.

”Mungkin kita seharusnya sudah mengambil keputusan untuk selanjutnya. Ayahmu kelihatannya tidak setuju kalau aku meminangmu,” kata Artha lagi. Wajahnya terlihat pedih. Aku tidak heran sama sekali kalau Ayah tidak setuju.

”Kawin lari aja. Apa susahnya?” jawabku santai. Aku tahu ini tidak akan sama seperti pelarianku dulu, mungkin lebih buruk. Tapi kalau aku meninggalkannya hanya karena kasta, aku rasa akan lebih konyol.

”Tidak bisa begitu Nei! Restu orang tua adalah hal yang penting!”

”Lalu harus gimana? Aku ngga mungkin meninggalkanmu.” Baru kali ini dia bicara padaku dengan nada yang agak meninggi. Aku tidak percaya akan seperti ini. Beberapa saat kami berdua diam.

”Ayahmu sebenarnya sangat menyayangimu Nei, beliau tidak ingin kau jauh dari keluarga.” Artha bicara, tapi tidak menatapku sama sekali. ”Kalau kamu menikah denganku, kamu akan sulit pulang. Aku tidak mau memisahkanmu dari keluargamu. Aku tidak ingin kamu menderita karena aku.”

”AKU TIDAK AKAN MENDERITA!” kataku setengah berteriak. Aku tidak bisa menerimanya. Pipiku terasa panas. Dalam hati aku berteriak lebih keras. Kenapa harus ada kasta di dunia ini! Kenapa harus ada perbedaan seperti ini! Aku kesal menghadapi ketidakadilan. Bahkan Artha pun menyerah begitu saja.

”Sudah dua tahun Nei. Aku masih ditolak mentah-mentah oleh ayahmu. Mungkin seharusnya hal ini memang tidak usah kita pertahankan lagi. Kamu akan lebih bahagia dengan orang lain.” Kata-kata itu membuat air mataku langsung merebak. Tak bisa kuutarakan betapa hancurnya perasaanku sekarang. Aku seperti burung dalam sangkar yang jatuh cinta pada burung bebas di luar sana. Tak satu pun yang mau membukakan penjara ini untukku. Bahkan si burung yang berkata juga mencintaiku juga tidak bisa membebaskanku. Aku lebih menyedihkan dari burung yang patah sayapnya. Bisa terbang namun tak ada ruang untuk terbang.

by;o-cin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar