Senin, 13 September 2010

dua alam

Bersosialisasi dengan manusia lain dalam kehidupan sehari hari adalah hal yang lumrah dan nyata, namun bersosialisasi dengan manusia yang hidup jaman ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu atau dengan mahluk jenis lain di dunia tidak kasat mata?

Entah darimana aku harus memulainya. Keinginan berbagi cerita, namun kekhawatiran dianggap tidak waras sangat mengganggu perasaan ini. Tapi akhirnya aku menemukan teman dekat yang kukenal sejak tahun 1980 an yang mau mendengarkan ceritaku ini. Sebut saja namaku JAKATRI (Jalmo Kleyang Kabur Kanginan), dalam bahasa Jawa berarti kurang lebih manusia yang hidupnya bagaikan daun kering yang terbang terbawa angin. Aku ingin berbagi cerita tentang perjalanan hidupku di dua alam.

Usiaku saat ini 40 tahun lebih, hidup ini kujalani mengalir bagaikan air. Aku percaya manusia hanyalah wayang yang sekedar meramaikan cerita kehidupan. Mulai aku masih kecil kehidupan dunia lain sangatlah dominan dalam menjalani hidup ini, kadang aku tidak mudah membedakan alam gaib dengan alam nyata.

Dari 10 bersaudara hanya aku seorang yang hidup, entah kutukan apa yang menimpa kedua orangtuaku sampai bapakku ikhlas menjadi gantinya asalkan ada anak bapakku yang bisa hidup sebagai penerus garis keturunan. Ke-ikhlasan almarhum Bapak ini kudengar dari almarhum ibuku. Usiaku 2 tahun pada saat Bapak meninggal, Ibu merantau ke Jakarta. Bahkan sekedar mendapatkan gambaran wajah Bapak aku tidak bisa. Aku hidup bersama kakekku Mbah Tarja yang hanya kuli di pasar dan juru kunci (kuncen) sebuah makam. O ya, di belakang rumahku ada sebuah makam yang kata orang desa sangat menyeramkan, yang pada malam tertentu seperti ada api besar yang berasal dari makam keramat disana, tapi jika semakin didekati api semakin menghilang. Menurut kakekku disana ada sebuah makam tua yang menjadi salah satu guru para wali di Pulau Jawa, aku salah satu keturunan beliau.

Sekitar tahun 1960 an Mbah Tarja menanami pohon Jati di sekeliling makam, kurang lebih 100 batang pohon. Tiap malam Mbah Tarja mengajakku ke makam untuk menyirami tanaman pohon Jati yang masih kecil tersebut. Berbekal kaleng cat bekas aku harus mengambil air ke sungai yang berjarak 300 ratus meter dengan ditemani dua ekor macan. Aku tidak tahu kalau macan itu bukanlah hewan piaraan biasa, yang aku tahu setiap malam hewan ini dengan setia menemaniku ke sungai, kadang aku naik kepunggungnya. Demikian setiap malam dari jam 12 malam sampai azan subuh aku harus menyirami pohon-pohon Jati tanaman Mbah selama kurang lebih 5 tahun.

Sampai pada usiaku yang ke 9 perjalanan hidupku berganti, sekolahku terhenti sampai kelas 2 SD. Waktu itu aku sedang bermain di stasiun kereta, datang kepadaku seorang tua.

”Nak, kamu mau ikut aku ke Jakarta?”

Aku hanya menganggukkan kepala, berharap bisa bertemu ibuku yang katanya ada di Jakarta. Dengan digendong di punggung orangtua tadi aku disuruh menutup mata dan tidak boleh membuka mata sebelum sampai di Jakarta. Kurang lebih 5 menit kemudian aku disuruh membuka mata, aku telah ada di pantai dengan beberapa perahu dan kapal, kata Kakek adalah pelabuhan Tanjung Priok. Kakek tadi menyuruhku menunggu sementara dia bekerja memindahkan barang dari perahu ke mobil truk. Barang yang dipindahkan adalah tumpukan buah duren. Sambil bercanda Kakek tadi melemparkan buah duren kedalam bak truk dengan menyundulnya seolah bola.

”Nak, ayo kita makan dulu, kakek sudah punya uang nih.”

Sambil makan kakek tadi berkata, ”Nak, kamu mau menemaniku hidup di gunung? Kalau mau nanti aku turunkan semua ilmuku kepadamu.”

Entah bagaimana aku lupa dengan keinginan untuk bertemu dengan ibuku. Sejak saat itu aku hidup bersama Kakek yang bernama Syekh M di puncak gunung di daerah Banten dalam sebuah goa . Untuk mencapai goa tadi perjalanan sangat sulit melewati hutan lebat, kadang bertemu binatang buas seperti harimau, ular. Jika malam hari penerangan hanya dengan upet yaitu bara api dari lilitan kulit-kulit kayu atau serabut kelapa. Kami hanya berdua tanpa ada manusia lain didaerah itu. Ilmu agama, pengobatan tradisional dan segala macam ilmu kadigdayan aku pelajari dari Syekh M. Dalam pelajaran agama, alhamdulillah lumayan, walaupun sekolahku hanya kelas 2 SD namun Syekh M. sangat sabar membimbingku memahami Al Qur’an sampai detail. Kalau boleh sombong aku tahu berapa titik dan koma yang ada dalam Al Qur’an. Pengetahuan Kejawen juga kupelajari dari hal-hal bagaimana bertani supaya tidak salah musim dan panen maksimal, kapan waktunya menebang pohon untuk dijadikan papan agar papan tidak mudah lapuk dan sebagainya. Ujian atau laku yang harus dijalani dalam mempelajari dan menyerap ilmu kadigdayan sungguh tidak mudah. Kadang terbersit pertanyaan untuk apa semua ini kupelajari? Namun Syekh M selalu membesarkan hatiku dengan wejangan-wejangannya yang menyejukkan hati. Dengan berpuasa dengan bermacam-macam cara berpuasa dan laku tirakat ziarah ke makam para Wali di Pulau Jawa dengan berjalan kaki berbulan-bulan lamanya. Ada laku tirakat yang aku hampir tidak kuat, yaitu selama 13 hari berdiri menatap langsung matahari dari terbit hingga terbenam tanpa istirahat dan harus selalu terjaga tidak boleh tidur tanpa makan hanya diberi beberapa tetes air saat Maghrib. Rasanya waktu itu bola mataku membesar seperti akan meledak saja. Peristiwa demi peristiwa yang gaib, bertemu dangan mahluk seperti naga mahluk seram lain dalam Lord of The Ring. Yang kutahu mereka juga memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dan mengerikan.

Sedikit sekali yang bisa kuceritakan tentang Syek M. Beliau tiga bersaudara berasal dari Jawa Tengah, tidak berkeluarga , tertua tinggal di Banyuwangi, kedua di Yogyakarta dan bungsu adalah Syekh M di Banten. Usia beliau tidak tahu persis, namun beliau pernah bercerita pada saat G.Krakatau meletus kalau tidak salah tahun 1883 usianya sudah lanjut.

Sekitar usia 16 tahun aku minta ijin kepada Syekh M untuk pulang ke kampungku untuk mengunjungi Mbah Tarja, namun ternyata mbah Tarja telah meninggal dunia. Akhirnya aku berangkat ke Jakarta mencari alamat ibuku. Di Jakarta aku terdampar dalam kerasnya kehidupan ibukota . Dalam usia yang masih labil dengan pengalaman hidup yang sangat minim aku dengan mudah dipengaruhi orang-orang bergajulan yang banyak kutemui di pasar-pasar Induk Kramat jati dan perilaku pun berubah seratus delapan puluh derajat. Dengan menaklukkan jagoan-jagoan pasar Ibukota akhirnya aku cukup ditakuti dengan menyandang nama Prem Joni Kalong. Uang dan perhiasan dengan mudah kudapat dari setoran preman-preman yang kutaklukkan. Mabok adalah urusan sehari-hari, merampok orang kaya menjadi pekerjaan yang menghasilkan lebih banyak uang. Ilmu agama dan pendidikan budi pekerti dari Syek M sudah terlupakan, sampai pada suatu hari Tuhan memberi peringatan keras kepadaku. Dalam aksi perampokan Bank aku ditembak dengan peluru emas di dadaku dan dikaki, sampai sekarang peluru itu masih bersarang di sana. Dengan susah payah aku berhasil melarikan diri dan menceburkan diri ke sungai, beruntung aku bisa bersembunyi dalam gorong-gorong besar selama 3 hari. Rasa sakit dan lapar membuatku teringat kepada guruku Syekh M, samar-samar dalam keadaan setengah sadar, aku merasa guruku hadir. Aku bersyukur kepada Tuhan, guruku masih mau memaafkan segala sepak terjangku yang sungguh tercela. Guruku dengan marah berkata, ”Kalau dalam waktu 4 hari lagi kamu masih hidup kamu baru akan kuobati.” Setelah itu aku pingsan, hari ketujuh aku mulai sadar, beberapa butir peluru di kaki sudah diambil, namun peluru yang di dada ternyata menyentuh jantung, sehingga guru tidak berani mengambilnya.

Mulai saat itu aku kapok dan tobat, tak mau lagi aku menemui teman-teman premanku. Kembali aku hidup di gunung yang sepi namun penuh dengan kedamaian. Waktu berjalan terasa sangat lambat. Hari berganti hari, tahun berganti tahun berlalu, adik seperguruanku bertambah 6 orang yang berasal dari beberapa wilayah Nusantara. Tahun 1994 ibuku meninggal dunia padahal baru 2 atau 3 tahun aku berkumpul dengan beliau, dan hari-hari sepi kembali menerpaku.

Pada suatu malam di tahun 1995 kami bertujuh seperti biasa berkumpul mengelilingi Syekh M. Ada perasaan aneh yang menggelora dalam dada kami bertujuh saat beliau dengan perlahan berkata, ”JAKATRI, tanda tanda itu sudah datang meskipun berat sepeninggalku nanti tanggung jawab tempat ini dan adik-adikmu ada pada pundakmu. Kalian tidak usah bersedih karena hidup dan kehidupan sudah ada yang mengatur, kita hanya sekedar menjalaninya.”

“Khusus JAKATRI, nanti kamu pergi ke kakakku di Yogya, beliau yang akan melanjutkan menggemblengmu, dan aku nanti masih terus membimbingmu. O ya besok kalian persiapkan tempat peristirahatanku depan goa. Nah sekarang aku mau istirahat dan kalian sebaiknya juga istirahat.”

Malam itu terasa panjang dan lebih lengang dari malam malam sebelumnya, dan sekali ini aku akan kehilangan orang yang sangat dekat serta menyayangiku. Rasa tercabut jiwa dari raga ini melihat kenyataan hidup yang ada, menyadari akan ditinggal pergi Syek M yang telah bersama-sama selama berpuluh puluh tahun.

Pagi harinya Syekh M berpulang ke Rakhmatulloh tanpa menderita suatu penyakit apapun dan dimakamkan di depan goa sesuai dengan wasiat beliau. Pada saat pemakaman ada kejadian yang cukup aneh yaitu hewan-hewan sekitar hutan ada rombongan monyet, kijang, burung, bahkan harimau berbaris seperti menghormati acara prosesi pemakaman Syekh M. Mungkin ini karena Syekh M. tidak mau mengganggu atau membunuh hewan-hewan itu kecuali hewan yang datang minta untuk dibunuh, istilah beliau minta disempurnakan untuk mendapat derajat yang lebih tinggi.

Singkat cerita setelah semua ilmu Syekh M. tuntas kupelajari, aku digembleng oleh kakak kedua dari Syekh M. di Yogya dan kakak sulung beliau di Banyuwangi. Beberapa tahun kemudian setelah menurunkan semua ilmu beliau yang di Yogya dan di Banyuwangi pun wafat hampir bersamaan waktunya.

Anehnya walaupun Syekh M. secara fisik sudah wafat, namun seringkali beliau hadir mengajari adik-adik seperguruan secara langsung. Kadang kala kami pun lupa jika beliau sudah tiada, karena beliau kadang masih bercanda dengan kami. Sejak saat itu aku beranggapan bahwa beliau hidup kembali. Melalui beliau aku diperkenalkan dengan dua eyang guru yaitu guru dari Syekh M. Eyang-eyang ini tidak mau memberi tahu namanya, yang pertama katanya beliau adalah manusia nomor lima, sampai sekarang aku tidak tahu maksudnya karena Eyang ini galak luar biasa dan tinggi badan beliau juga luar biasa mungkin sekitar 3 meter lebih, karena aku yang tingginya 170 cm saja hanya setinggi lutut beliau. Temanku menjulukinya Eyang Janggrung artinya Tinggi atau Jangkung.

Seperti sudah kukatakan di awal cerita ini, sungguh sulit diterima nalar kejadian-kejadian yang kualami dalam perjalanan hidup ini, sehingga aku maklum jika orang mengatakan aku tidak waras. Bersama Eyang Janggrung aku digembleng di alam gaib. Aku mengalami mati suri, mungkin di-mati suri-kan selama 3 tahun. Bersama beliau aku mendapat pelajaran seperti melewati ruang dan waktu, bagaimana bumi ini masih jarang pohon dan makhluknya, dan pengalaman alam akhirat sana yang sebaiknya tidak kuceritakan lebih lanjut supaya tidak menjadi fitnah. Aku benar-benar diberikan contoh jika kita berbuat tidak baik bagaimana akibatnya nanti, terutama perbuatan menduakan Tuhan dan fitnah seperti bergunjing , Insya Allah tak akan aku perbuat lagi. Audzubillah. Masih terngiang dalam ingatanku rasa sakit tiada batas di alam yang satu dan rasa nyaman dan indah tiada batas pula dialam yang lainnya. Kalimat yang terucap dari Eyang adalah :”Nak, sungguh beruntung engkau mendapat Karunia-Nya. Bersujud mohon ampun dan bersyukurlah dirimu dihadapan-Nya karena ini bukan mimpi bukan halusinasi.”

Eyang guru yang kedua tidak kalah galaknya dari Eyang Janggrung. Temanku yang menulis cerita ini memberi sebutan Eyang Pengruwat Jagat, karena bersama beliau aku mendapat tugas yang sangat berat, dimana ada bencana alam aku dan Eyang selalu berada disana, berusaha mengurangi dampak atau mencegah terjadinya bencana. Aku berharap niat ikhlasku dalam menjalani takdir ini mendapatkan Ridho-Nya dan tetap dalam Bimbingan-Nya walaupun seringkali aku merasakan sakit yang luar biasa karena harus mengalami muntah darah, patah tulang bahkan jantungku sempat bocor ketika harus membelokkan badai di daerah Jawa Tengah. Hanya dengan pertolongan-Nya aku bisa kembali sehat. Ketika bencana tsunami, waktu itu menurut Eyang ada tujuh titik di Nusantara ini yang akan terkena bencana itu. Dari tujuh titik itu salah satunya memang harus terjadi. Takdir, manusia hanya berupaya dengan do’a namun Tuhan jua yang menentukan. Entahlah mungkin dengan cara seperti inikah salah satu cara kerja Tuhan? Pernah kutanyakan kepada Eyang kenapa banyak bencana alam di negeri ini? Beliau dengan arif menjawab :”Nak, ini semua Kehendak-Nya karena Tuhan adalah Yang Maha ber-Kehendak.”

Dengan lirih Eyang melanjutkan, ”Kamu, aku tidak berhak menghakimi dengan mengatakan semua bencana ini karena manusia sudah banyak dosa, yang pasti semua ini sudah menjadi Kehendak-Nya”. Yah, manusia hanya bagaikan wayang, semoga kita semua tetap bisa ikhlas menjalani hidup dan kehidupan ini.


by;sang geniro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar