Kamis, 30 September 2010

bulan untuk kekasih

Maya yang kukasihi,

kutulis surat ini pagi segera setelah mataku terbuka. Semalam memang melelahkan. Semoga Tuhan berkenan atas apa yang telah aku lakukan. Kupastikan kau melihat bulan saat kau buka amplop surat ini. Sentuhlah dia. Rasakan hangatnya.

Maya yang kudambakan,

kuharap kau mau mendengarkan sedikit kisah-kisahku. Kupikir aku terlalu mengabaikanmu. Aku berani bertaruh kau merasa kesepian di saat ini, saat kujauh darimu. Itulah yang selalu memenuhi kepalaku. Lembaran-lembaran kata-kata yang saban waktu kukirim padamu tak akan cukup menghapus rindumu. Begitu juga diriku, tak cukup puas hanya membaca kata-kata balasan yang kau tulis.

Jadilah aku merenung semalam dan bulan menemaniku. Aku di sana sendiri namun aku tidak merasa sendiri. Aku tahu jawabannya, bulanlah yang membuat rasa sepi menghilang sirna. Kuputuskan untuk mengirimkan sebuah bulan khusus untukmu agar rasa sepi yang ada di hatimu ditepisnya. Namun bukankah bulan bisa dilihat setiap orang, bahkan yang ada di pelosok negeri sana? Mungkin saja tadi malam kau melihat bulan. Masalahnya adalah tidak setiap malam bulan akan hadir untukmu. Ada kalanya ia tertutup mega-mega mendung atau memang bukan tanggalnya untuk bersinar dan kutakut hatimu kembali terkoyak rindu di saat-saat itu. Karena bulan macam ini tidak dijual di toko-toko bahkan mall, maka aku harus mengambil sendiri dari tempatnya.

Saat itu bulan masih berbentuk sepotong. Kutunggu ia merangkak ke barat dan berbentuk bulat sempurna sampai tengah malam. Bagaimana cara aku mengambil bulan? Itu teramat sangat sulit, juga mudah. Malam itu aku menaiki atap rumahku lalu menjulurkan tanganku. Ternyata tidak semudah itu, ini masih kurang. Aku harus berada di tempat yang lebih tinggi dari ini. Akhirnya kupanjat pohon kelapa yang paling tinggi di kampungku. Angin semilir malam menusuk dingin namun itu tak cukup kuat menggoyahkan niatku. Tetapi dalam ketinggian itu pun tetap tak tersentuh, bahkan dengan galah super panjang yang turut kubawa memanjat.

Maya penyejukku,

aku tak menyerah. Kukeluarkan sepeda ontel-ku dan mengayuhnya ke kota. Di sana ada gedung bank swasta yang berdiri kokoh. Tingginya sekitar sepuluh kali pohon kelapa tertinggi di kampungku. Mungkin cukup. Setelah membayar administrasi gelap kepada satpam yang sedang berjaga agar aku bisa masuk, aku menggenjot otot menaiki tangga yang berputar-putar—lift tidak bisa dipakai di luar jam kerja. Angin di atas sana jauh lebih dingin, lebih keras, dan lebih banyak polusi, aku tetap tak gentar.

Yang kulihat adalah, tidak ada bedanya aku berdiri di atas gedung itu atau pun aku berdiri di tanah lapang yang lebih rendah dari lantai rumahku, bulan itu tetap sangat tinggi. Aku tidak melihat adanya perubahan.

Akhirnya aku pulang dengan peluh keringat dingin. Apakah aku menyerah? Atas nama cinta tentu saja tidak. Kalau ya, ceritanya hanya sampai di sini.

Sesampai di rumah kubuka ensiklopediaku yang paling tebal, mencari daftar menara-menara paling tinggi di dunia. Eiffel menarik perhatianku. Bukankah dulu kita berdua pernah merencanakan untuk berbulan madu di tempat-tempat fantastis di dunia? Menara megah ini adalah salah satunya, ingat? Memang, menara ini tidak lebih tinggi dibanding gedung pencakar langit yang terkenal lainnya namun pastinya berkali-kali lipat lebih tinggi dari pada gedung bank tadi. Kupikir itu sudah cukup

Saat itu juga aku memesan tiket penerbangan namun teller maskapainya bilang tidak ada pesawat lepas landas selarut ini. Akhirnya aku menyewa secara pribadi sebuah pesawat kecil canggih beserta pilotnya. Kami lepas landas.

Pesawat sewaan ini punya sistem anti radar. Jadi, masa bodoh dengan peraturan penerbangan Eropa yang bilang pesawat Indonesia tidak boleh terbang di atasnya. Aku akan aman-aman saja. Terlintas dalam benakku untuk membuka pintu pesawat lalu mengambil bulan. Namun si pilot bilang hal itu berbahaya. Kuurungkan niatku.

Ternyata pesawat ini sangat nyaman. Yang menyenangkan adalah pilotnya sangat supel. Ia membuat perjalanan itu tidak membosankan. Ia tanya untuk apa aku ke Paris. Kubilang ingin ke Louvre, museum seni termegah di dunia. Ternyata ia pernah ke sana dan menawarkan diri untuk menemaniku. Aku menolak.

Maya yang baik,

pendek kata, kami mendarat secara ilegal di areal pertanian di luar kota. Aku menyewa sedan tua dari seorang petani bule gemuk yang tinggal di sana, bahasa Indonesianya payah. Sedan ini sulit digunakan, kemudinya ada di sebelah kiri. Meski sulit, aku sampai di Paris, kota yang mengagumkan. Tidak ada sampah, apalagi pemulung. Menara itu bisa dilihat dari sudut mana pun di kota ini, begitu juga dengan bulan kuning terang di langit. Aku berlari di sepanjang jalan menuju menara itu, tak peduli bule-bule yang tinggi itu memelototiku.

Menara Eiffel menjulang tinggi, jauh lebih mengagumkan dari pada kota Paris tempatnya bercokol. Aku tak sabar mengajakmu ke sini. Aku menatap ke atas berusaha melihat puncaknya namun hanya tampak kehitaman bercampur dengan langit. Pasti di atas sana banyak kabut. Aku berlari menuju loket tempat mendaftar untuk bisa naik ke atas. Ternyata sudah tutup. Kuutarakan maksudku pada seorang pria yang berdiri di dekat loket itu tetapi ia tak mengerti bahasa Indonesia. Lalu kupakai bahasa Inggrisku yang berantakan. Orang itu masih geleng-geleng. Karena kesal aku menggunakan bahasa Jawa, akhirnya orang itu mengomel dengan bahasanya sendiri dan beranjak pergi.

Bukan diriku jika berputus asa sesampai di sini. Berbekal keahlian memanjat kelapa di kampung, aku memanjat menara megah ini. Besi-besi yang membentuk menara ini sangat dingin, membuat telapak tanganku mati rasa. Semua menjadi dingin. Hanya rasa cinta kepadamu-lah yang membuat tubuhku tetap terasa hangat. Bulan masih di sana. Tergantung angkuh, tapi aku pasti akan merenggutnya.

Maya yang sayangi,

alhasil, sampailah aku di atas sana. Agak susah bernafas di sini. Yang membuatku terkejut adalah bulan masih sama tingginya seperti sebelum aku memanjat menara ini. Seketika tubuhku lemas total. Aku berbaring di sana. Tak ada tenaga lagi untuk maksud ini. Aku sudah putus asa.

Waktu itu aku meminta maaf padamu karena tak bisa mencarikan penghilang sepi untukmu. Meminta maaf betapa bodohnya aku mengambil bulan hanya untuk kepentingan cintaku sendiri. Aku sampai menangis. Angin malam dengan cepat menghapus air mataku, seolah bilang lelaki tidak boleh menangis.

Aku tersentak kaget ketika ponselku bergetar keras. Ternyata dari si pilot, menanyakan kabarku. Dia tanya bagaimana lukisan-lukisan di Louvre. Kubilang kalau aku belum ke sana, Louvre sudah tutup.

“Bagaimana di atas sana?” tanyanya

Aku tersentak lagi. Bagaimana dia tahu? Dia bilang dia mengikutiku. Dia ada di bawah. Aku merangkak ke pinggir dan menoleh ke bawah. Tentu saja aku tidak bisa melihatnya sebagaimana aku tidak bisa melihat puncak menara ketika di bawah.

“Mau ambil bulan, eh?” tanyanya lagi.

Aku tersentak untuk ketiga kalinya. Rupanya ia serba tahu.

Maya yang kucintai,

tidak menyesal aku menyewa pilot macam dia, sangat profesional. Dia banyak menasehatiku. Ternyata mengambil bulan dari langit sama mudahnya mengambil ponsel dari kantung celanaku sendiri. Seharusnya aku bisa mengambil bulan dari jendela kamarku, bukan di sini. Aku masih berbaring di sana menghadap langit, mendengarkan si pilot.

Aku mengulurkan tangan ke atas. Kuhilangkan segala emosi negatif, kukeluarkan segala hasrat cintaku padamu, kemauan, ambisi, bahkan khayalanku. Akhirnya tanganku menyentuh bulan. Rasa hangat menguasai tanganku, menjalar ke seluruh tubuh. Membuat senyum tersungging di wajahku. Kubiarkan diriku menyerap sinar kebahagian bulan. Semua begitu indah.

Tiba-tiba si pilot berteriak dari ponselku.

“Saya ditangkap polisi. Go on without me!”

Aku terkejut bukan main. Kami orang ilegal di sini, penyelundup, pelanggar peraturan penerbangan, dan pencuri bulan milik masyarakat dunia. Ada satu peleton DCPJ—Direction Cepurtale Police Judiciaire—FBI-nya Prancis, menunggu di bawah sana. Bisa kudengar suara sirine bersaut-sautan. Kurenggut dan genggam bulan. Rupanya ia sangat fleksibel, berubah ukuran semau penyentuhnya. Waktu itu ia seukuran bola kasti—kalau kau mau, tekan bulan itu sampai sebesar kelereng. Setelah memastikan bulan aman dalam kantungku. Aku bergegas menuruni besi-besi yang tak lagi dingin untukku. Lewat keberuntungan satu banding seribu aku berhasil menghampiri sedanku dan meluncur pergi diikuti para polisi profesional di belakangku. Aku bermain kejar-kejaran bak dalam film Hollywood. Semua terasa mimpi dan berjalan begitu cepat.

Maya yang cantik,

tak usah kuceritakan bagaimana mobil-mobil polisi Prancis itu dibuat meledak oleh orang Indonesia macam aku. Yang jelas aku selamat tanpa cacat, berhasil lepas landas pulang ke negeriku. Lalu kembali ke rumahku, ke kamarku.

Aku duduk menggigil dan kelelahan, kemudian kukeluarkan bola bulan dari kantungku. Seketika aku teringat si pilot. Aku meminta maaf sebesar-besarnya karena tidak menyelamatkannya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuannya.

Maya yang kurindukan,

dari semua yang kualami semalaman. Aku jadi tahu, perasaan cintalah kekuatan yang paling kuat yang ada di dunia. Dengan cinta semuanya jadi mungkin. Cinta menimbulkan emosi positif lain yang berperan besar mengendalikan tindakan kita yang selalu berhasil. Dalam hal ini, dirimulah yang membuatku bisa melakukan apa saja. Dirimulah yang mengendalikanku. Dirimulah cinta itu—bagi diriku. Terserah orang lain bilang gombal, ini kata hatiku sungguhan.

Maya kekasihku,

semoga bulan ini cukup untuk menghapuskan sepi dan rindumu hingga kita kembali bersua—mungkin tahun depan. Bila aku tiada lebih dulu dariku, kenanglah bulan itu sebagai diriku. Kalau kau mau—aku akan bersedih—kau bisa kembalikan bulan itu kembali pada tempatnya agar bisa dilihat milyaran manusia di bumi. Mungkin pula kau ambil kembali kalau kau bisa, dengan cinta tentunya. Satu hal lagi, kita tidak akan berbulan madu di Paris, pastinya aku sudah jadi buronan.



by;piko aguno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar