Bagaimana bisa aku tidak mencintai batangan-batangan nikotin kalau hanya merekalah teman paling setia di dunia ini, yang menemaniku saat sedih, senang, tertawa, menangis, bernyanyi, berdansa, berteriak, marah, bahkan putus asa. Menemaniku sebelum makan, saat makan, sesudah makan, sebelum menutup mata mengakhiri hari bahkan kembali membuka mata mengawali hari. Dengan setia menemaniku di atas kloset tanpa cerewet, diam ikut merenung bahkan turut menyumbang inspirasi tersembunyi dalam bilik sepi. Adakah yang lebih setia dari itu?
Bagaimana bisa aku menyangkal rasa setia mereka dan tidak turut berpartisipasi dalam mentolerasi kesetiaan bersama, kalau hanya mereka saja yang tak pernah mengeluh dengan segala ketidakteraturanku dalam hidup dan menjadi saksi bisu setiap detil rasaku, yang bahkan tak pernah ada yang tahu persis seperti apa yang mereka tahu. Batangan putih yang silih berganti dihisap, hilang tenggelam dalam asap, tak pernah sedikitpun marah dan terluka saat dijadikan pelarian tumpahan kekecewaan namun kemudian rela ditinggalkan dengan sia-sia dalam asbak, bergumul dalam sampah, dan dibuang entah kemana.
Malam ini, batangan putih itu juga yang menjadi saksi di saat semua sahabat lari, hilang, pergi, meninggalkan aku sebatang kara dengan segala permasalahan pribadi yang mereka bilang aku yang mulai sendiri. Di kamar aku membodoh. Dengan underwear berwarna merah darah, dengan tanktop berwarna hitam, gelap, pekat, suram, sesuram hatiku. Menatap cermin besar tertantang di dinding sisi kiri tempat tidurku. Duduk dengan kaki bertopang. Sikap menantang. Aku mencumbu batangan itu dengan penuh haru, seakan ingin menumpahkan unek-unekku, segala dukaku, kecewaku, kekesalanku, amarahku, lukaku, juga kebodohanku. Batangan nikotin menemaniku. Mereka setia di sini. Berusaha menambal luka hatiku dengan menyetubuhi paru-paru pemberi energi penenang, yang entah bagaimana prosesnya memang membuat tenang. Mereka menemaniku menari bersama iringan musik Kitaro-Matsuri. Dentangan kakiku mengikuti genderang instrumen Jepang. Rambutku tersibak. Kakiku menghentak. Tubuhku hanyut dalam instrumen. Dalam asap. Dalam parau hatiku yang meringis. Dalam tangis yang tak ingin aku akui. Dalam musik yang membuatku menari. Menari dalam sepi. Menari untuk lari. Bersama nikotinku.
Jangan salahkan aku, kalau Mama, Papa, calon suami, sahabat -sahabat baik, teman sekedar teman hingga selingkuhan mengatakan aku merokok seperti kereta api uap, mengepul, pul, pul, pul…, tanpa henti. Kamu sudah tahu alasannya, kan? Memang nikotin bangsat yang tak pernah protes kukata-katai bangsat ini sudah menjadi bagian oksigen laknat yang menjadi udara penyokong kehidupanku mengisi ruang paru. Mereka juga entah bagaimana menjadi sumber tenaga ketika aku lupa makan, bahkan memang terkadang aku tak butuh makan, cukup mereka saja.
Sekarang, katakan! Adakah sesuatu yang lebih setia dari pada itu di dunia penuh kepalsuan, perselingkuhan dan pengkhianatan seperti ini? Tidak. Adakah yang lebih bisa mengerti perasaanku dalam sepi, frustasi, atau bahagia melambung tinggi dari pada para batangan nikotin tersebut? Tidak. Bahkan ibu kandungku sendiri tidak bisa mengerti bagaimana perasaanku ketika aku menyepi dalam ruang kamarku sendiri, ditemani makhluk setia yang tak mengerti berbahasa. Ibuku hanya kecewa dalam tumpahan rasa lewat ucap yang seakan penuh logika yang tak ingin kupercaya, tak ingin kudengar dan menyudutkanku seakan menjadi anak durhaka. Ah!
Aku tanya lagi, apa seorang calon suami setia bisa mengerti betapa kecewanya aku saat setiap saat harus berhadapan dengan sikap hambar dan punggung bisu yang membelakangiku saat aku di sampingnya? Tidak. Dia sudah tertidur saat aku diam sendiri, mengumpat, dan memaki dalam hati sambil meringis iba membutuhkan dekapan hangat yang kuat. Lagi, cuma mereka, para nikotinku, cinta sejatiku, yang tahu bahwa aku wanita yang juga butuh belaian sayang, genggaman tangan erat, pelukan kuat walau tak ingin sejauh itu berharap sesi bercinta yang dahsyat dengan orang yang belum tentu tepat, belum tentu terikat kontrak lahir batin denganku atas nama sah, suami.
Ini lagi yang perlu kamu tahu, nikotin-nikotinku tak pernah mengatakan aku munafik hanya karena aku butuh belaian seorang calon suami, berbaring hangat di sisinya dalam sebuah dekapan dengan iringan piano Jim Brickman tanpa menginginkan sesi bercinta. Nikotin-nikotinku tahu bahwa aku seranjang dengan calon suamiku, bahkan tidur dengannya. Tapi, nikotin-nikotinku juga tahu bahwa aku dan calon suamiku tidur sesungguhnya tidur. Bahkan tidurnya calon suamiku benar-benar tidur. Tidurnya meniduri kasur dengan membalikkan punggung, memamerkan kulit indah tanpa atasan yang tak bercela, licin, mulus, tak berjerawat, dan sangat terawat. Nikotin-nikotinku sungguh tahu bahwa aku sangat terluka. Entahlah, apa mungkin ini perasaanku yang tak mau tau saja karena bisa jadi calon suami terkasih menghindari berjuta rasa yang tak mampu ditahan oleh syarafnya saat aku tidur di sisinya dengan tanktop tipis sehingga ia menjustifikasi untuk berbalik dan memberiku punggungnya saja? Tapi, bangsat! Itu jahanam penghancur perasaan. Aku seakan seonggok kotoran tak berharga. Nikotin-nikotinku sungguh mengerti, bahwa aku butuh tangannya saja memelukku kuat dalam dadanya yang hangat. Hanya pelukan. Aku hanya butuh pelukan, itu saja. Karena nikotin-nikotinku cukup tahu bahwa aku tak sebegitu butuh bercinta dengan manusia. Nikotin-nikotinku mengerti, bahwa saat ini, aku cukup puas bercinta dengan mereka saja.
Dan, lagi, ketika frustasi ini seakan membuatku mulai gila. Para sahabat tak ada. Mungkin sebagian dari mereka yang tahu hanya mengiba, dan sebagian yang tak tahu sedang asyik tertawa-tawa. Entah dengan siapa. Entah dengan pacar mereka atau teman sekedar teman yang tak mau mereka akui selingkuhan. Dan, apa sahabat-sahabat manusiaku disini? Malam ini? Tidak. Apa sahabat-sahabat manusiaku bisa selalu ada di dekatku setiap saat setiap waktu? Ketika frustasi menghantui atas tekanan, rasa marah hingga kecewa pada hal-hal yang terjadi denganku setiap saat? Tidak. Seperti malam ini, saat hujan di luar turun merintikki bumi, saat secangkir kopi panas mendifusi kehangatan kesekujur tubuh, para sahabat mungkin tengah sibuk bersembunyi di balik selimut mereka masing-masing, sendiri, atau bersama pasangan mereka, bercinta, mencinta, dicinta. Taik! Mereka bahkan tidak setiap saat selalu tahu kapanpun ‘bangsatnya’ perasaanku berantakan tiba-tiba. Saat seperti malam ini, ketika aku meratapi diri atas kebodohanku sendiri memanipulatif hubungan disfungsi dengan seseorang yang lebih dikenal dengan sebutan trend ’selingkuhan’ di jaman-jaman belakangan. Konflik hati ini tak mungkin pernah dimengerti oleh para sahabat yang terus menerus menyudutkanku dengan rong-rongan perasaan bersalah mengkhianati seorang calon suami setia yang telah menyediakan rumah indah. Dan, lagi, hanya nikotin yang mengerti.
Dalam setarik nafas saja, membaur dalam paru-paru, mereka sudah tahu kenapa aku seperti itu. Kenapa aku memilih menjalani sesuatu yang mempertaruhkan hubunganku yang sangat stabil dengan calon suamiku tercinta yang tak pernah bermasalah. Setidaknya tak pernah bermasalah baginya, tapi bagiku. Mereka, para nikotinku tahu, bahwa aku jenuh. Bukan jenuh karena memaksakan cintaku. Tapi, jenuh karena degradasi perasaan yang tak pernah di update seperti Antivir yang mungkin rutin sebulan sekali memperbaiki diri. Ketika aku mendominasi hubungan dan saat harus selalu menjadi si pembuka cerita hingga si pengurut kaki yang terlalu banyak bicara, aku mulai merasa aku bercakap terlalu banyak, untuk diriku sendiri dan tidak begitu ditanggapi. Tidak ada respons yang jangankan bisa di cerna di terima pun tak ada. Oh, bagaimana bisa dikatakan timbal balik hubungan, ketika hanya aku, lagi, yang begitu dominan, padahal aku perempuan.
Dan, nikotinku tahu. Aku begitu butuh pengakuan perempuan dalam posisi ini. Pernyataan seorang ‘perempuan’ yang selalu kuhindar karena konotasi sempit, tapi kucari malam ini. Aku sebagai perempuan. Perempuan yang juga sesekali ingin disentuh ketika aku ingin disentuh. Perempuan yang sesekali ingin merasakan rasa sayang ketika aku ingin merasa disayang. Perempuan yang butuh timbal balik rasa lewat canda ketika aku butuh merasa dicanda. Calon suamiku tak tahu. Atau aku rasa ia malas untuk tahu. Pecundangnya aku. Hanya nikotinku saja yang mengerti itu. Sebatang benda berwarna putih penghasil asap pengkerat paru. Nistanya aku.
Hanya mereka yang tahu bahwa aku perempuan yang banyak bicara, hanya pada orang yang bisa diajak bicara. Aku perempuan yang bisa dekat hanya pada mereka yang bisa kudekat. Aku perempuan yang bercerita hanya pada mereka yang bisa kuajak bercerita. Dan, aku perempuan yang memberi hangat pada mereka yang bisa kuberi hangat. Lantas mereka juga tidak mengata-ngatai aku seorang munafik, lagi, seperti para sahabat. Karena aku mengenal, berteman, teman lebih dari sekedar teman dengan seorang teman yang lebih dari sekedar teman yang teman. Nikotinku tahu, bahwa dia memiliku sesuatu yang aku butuh. Tapi, terkadang apa yang aku butuh dan ia butuhkan itu menakutkanku. Nikotinku tahu, aku tak berselingkuh, seperti kata para sahabat. Nikotinku tahu bahwa aku tahu dimana aku harus bernyanyi dengan laguku, menari dengan musikku. Dan, mereka tahu persis bahwa ini juga musik lain yang aku dengarkan, aku resapi, aku jalankan, membuatku menari dalam satu waktu sesaat, seperti Kitaro yang berlanjut menjadi S.E.N.S, Clanad, Indra Lesmana, Ryuichi Sakamoto, hingga Kenny G.
Adakah lagi yang bisa lebih setia dari itu? Katakan, ayo katakan! Nikotinku tidak membuatku mabuk, seperti Adonis, Balalaika ataupun Vermounth. Nikotinku masih menempatkan akal sehatku di atas kepala. Nikotinku tidak membuaiku dalam tawa palsu seperti selinting ganja. Dan, nikotinku tak pernah menghipnotisku dengan goyangan tanpa henti seperti para ecstasy. Nikotinku menemaniku tanpa pamrih, setidaknya untuk malam ini, untuk hari ini. Adakah lagi yang bisa lebih setia dari pada itu. Ayo katakan!
Adakah kemudian seorang selingkuhan mengerti betapa rapuhnya perasaanku atas sikap pembodohannya dan pembodohanku? Tidak. Dia tak bodoh. Aku yang bodoh. Dan aku merasa dibodoh bodohi oleh perasaan bodoh yang bodoh. Apa yang kurang sempurna dari seorang calon suami setia yang tak banyak bicara, tak banyak bercerita, tak banyak bercakap, tak banyak bertanya, tak banyak maunya, sehingga tak bicara, tak bercerita, tak bercakap-cakap, tak bertanya, dan tak tau maunya. Apakah yang kurang sehingga aku harus memburu-buru perasaan kasih sayang pada orang lain yang baru kukenal. Hinanya aku. Hinanya kamu membuat aku seperti itu. Tapi, aku lebih hina. Jalang!
Ya, apa yang kurang dari selingkuhan yang punya ketertarikan yang sama? Sama-sama menghargai seni, sama-sama bisa timbal balik dalam diskusi, sama-sama bisa bercerita, diajak bicara, hingga bercinta. Gila! Siapa yang gila? Apa aku gila? Lantas siapa yang membuatku gila? Dia. Dia, siapa dia? Dia saja. Dia yang menurutku saja dia. Entah dia yang dia atau dia yang dia lagi. Dia, saja. Yang pasti itu dia.
Dan malam ini aku masih di sini, lelah menari, keringat membasahi diri. Nikotinku masih setia bersamaku di sini. Menemaniku hangat dalam malam penat yang dirintiki hujan. Hujan sialan yang membasahi tubuhku dan menyelimuti dingin yang menggumpal darahku, menjadi gatal pembiang alergi ketika aku berlari dalam kecepatan tinggi di atas sebuah kuda besi. Saat hatiku hancur menerima kenyataan pembodohan perasaan yang aku sadari, tak ia sadari, atau tak ingin ia sadari.
Nikotinku di sini. Calon suamiku, tidak. Nikotinku di sini, sahabat-sahabat baik, tidak. Nikotinku di sini. Selingkuhanku tidak. Nikotinku di sini. Masih setia menemani. Katakan ayo katakan lagi! Adakah yang lebih setia dari pada mereka nikotin nikotinku?
by;rien al anshari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar