Senin, 13 September 2010

manusia terasing

Kemarin aku menunggumu pada sebuah toko buku langgananmu, Wilokoman. Tapi kau tak datang. Hanya bayanganmu yang tampak samar, yang kelihatan dalam imajinasiku. Kau terlihat sedang menuju ke arahku.
Tahukah kau Wilokoman? Kemarin aku dipermalukan lagi. Aku tahu mereka tidak sedang mennghinaku. Mereka sekadar bertanya seperti apa rasanya menjadi orang Indo. Pikir mereka, aku bangga menjadi orang keturunan Eropa. Mereka tak tahu Wilokoman, jika kelahiranku tidak diharapkan oleh ayahku terlebih-lebih ibuku. Bahkan sampai sekarang aku masih tak tahu seperti apa rupa ayahku –orang yang paling berperan dalam kelahiranku setelah ibuku-, darimana dan dimana sekarang.
Wilokoman, jika masih ada yang bertanya tentang siapa yang paling aku benci, jawabanku tetap sama, ayahku! Mungkin bukan ayah, seorang ayah tak mungkin membiarkan anaknya dipermalukan. Seorang ayah tidak mungkin tidak mencintai anaknya. Sementara dia? Jangankan mencintai, menyapa pun tidak.
Wilokoman, ibuku juga sama dengan ayahku, dia hanya sedikit lebih baik dengan menitipkan aku pada seseorang sebelum dia pergi. Sampai sekarang masih seperti bayangan dalam kegelapan.

Wilokoman, mungkin aku salah satu orang yang begitu membenci akta kelahiran yang bagiku tak berguna sama sekali, sebab aku toh tidak tahu siapa orang tuaku. Untuk apa akte kelahiran jika ternyata itupun palsu.

Wilokoman, aku takut. Takut mewarisi kebejatan ayahku, takut mewarisi sifat mudah putus asanya ibuku. Itulah sebanya aku tidak pernah dekat dengan perempuan yang pasti akan membawaku pada posisi seperti ayahku, itulah sebanya aku menjadi tidak suka tantangan.
Tentu kau masih ingat Wilokoman, hal yang paling aku inginkan terjadi ialah aku bisa bertemu dengan mereka, sekadar menampar dan meludahi mereka atas kepengecutan ini. Ingin aku menyiksa mereka dengan air mata dan kata-kata mereka sendiri. Dan mungkin Tuhan tidak suka atau bahkan tidak setuju dengan keinginanku hingga dia tidak mempertemukanku dengan mereka.
Mungkin kabar baik, mungkin kabar buruk Wilokoman. Ayahku ternyata sudah menjadi orang terpandang di negerinya (aku pun tak tahu kenapa aku begitu percaya dengan kabar itu), ibuku pun sama, sekarang sudah menjadi orang terpandang di tempatnya dia bekerja (entah dimana tempat kerjanya). Tapi sudahlah, kabar baik atau burukpun semuanya tak berpengaruh padaku.
Tapi kau jangan menganggapku sedang menyesali diriku dengan keadaanku yang sekarang, Wilokoman. Meskipun aku sekarang tidak lebih baik dengan ketika pertama kali aku bertemu denganmu. Aneh bukan? Aku pun sering berpikir seperti itu. Orang tuaku yang sekarang, yang sedikit lebih baik daripada orang tua kandungku pun sering aku tidak pahami jalan pikirannya. Kau tahu kenapa? Aku dipaksa memilih dua hal yang saling bertentangan (tentang apa pilihannya akan aku katakan pada kesempatan yang lain). Dan itu harus! Aku harus memilih. Sebab jika aku tidak memilih maka aku tidak akan memiliki salah satu dari keduanya. Bukan cinta atau hal-hal remeh lainnya. Tapi ini soal masa depan yang aku pasti akan melaluinya, Wilokoman. Apabila aku salah memilih, aku akan mencelakakan diriku sendiri dan harga diri anak cucuku.
Maka aku harus mengerahkan seluruh potensi otakku yang luar biasa ini, sebab daya finansialku sekarang ini sangat terbatas. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali merasa bersalah kepada Tuhan yang telah memberikan potensi otak sedemikian besar tapi tak bisa aku gunakan secara maksimal. Aku juga tak berani sesumbar mengakui kelemahanku dengan mengharap Tuhan mengambil semua yang telah diberikannya. Aku tak bisa membayangkan jika Tuhan benar-benar mengabulkan permintaanku. Maka aku tahan saja keinginan seperti itu meskipun aku tahu, Tuhan tahu apa yang ada dalam hatiku. Tapi biarlah, setidaknya niat itu tetap berstatus sebagai niat. Bukan hasrat.

Wilokoman, kebimbangan adalah makanan sehari-hari setelah nasi dan sebangsanya. Aku tak bisa menolak, bahkan aku harus belajar menerimanya dengan senang hati. Sebab setelah aku mencoba melupakannya, justru yang ada hanya kebimbangan-kebimbangan itu.
Apakah aku memang ditakdirkan untuk bimbang sedemikian rupa sehingga aku tak bisa melakukan apapun yang sekiranya bisa membuat sebuah kepuasan yang tak bisa diukur dengan apapun? Atau itu karena ulah masa laluku yang suka memanfaatkan sesuatu yang seharusnya aku tak melakukannya? Aku tak tahu, sebab sekali lagi kebimbangan itu yang dengan senang hati tinggal di otakku yang seperti tak berguna.
Aku tak menyangka jika orang tua (angkat)ku dengan bangga melepaskan aku dengan tanpa modal apapun. Melepaskan aku layaknya seorang yang telah siap dengan segala kemungkinan orang dewasa. Jika mereka melepaskan aku begitu saja dengan tanpa aturan-aturan mungkin aku akan terima, tapi aturan yang mereka berikan sangat bertentangan dengan apa yang mereka putuskan terhadapku. Pada saat tertentu mungkin aku memang marah dengan hal semacam itu, tapi pada saat yang lain aku terpaksa tertawa. Getir…
Dan jika aku ingin meninggalkan semua aturan itu aku harus meninggalkan rumah dengan segala isinya. Aku harus hidup bohemian, Wilokoman. Mungkin inilah harga yang harus dibayar untuk sebuah kebebasan. Sebuah kebebasan yang entah seperti apa dan menurut siapa lagi setelah aku. Kebebasan ini lebih seperti kebebasan orang yang kalah.

Wilokoman, jangan hanya salahkan aku jika ternyata kau tak bisa menemui aku lagi, salahkan juga orang yang telah membuat aku menjadi seperti ini. Mungkin aku akan pergi, mencari orang tua yang seperti dalam imajinasiku, orang tua yang tak pernah menuntut apapun, orang tua yang tidak pernah menganggap anaknya lebih bodoh darinya, orang tua yang seperti sahabat.

Mungkin aku akan pergi ke lorong sempit yang kumuh. Aku yakin, orang tua yang seperti dalam pikiranku ada disana, meskipun aku akan sedikit kecewa. Kecewa Wilokoman, sebab mereka membiarkan aku seperti ini bukan karena mereka memahami pilihanku, tapi karena mereka tak sempat memperhatikan anak-anaknya, Wilokoman. Bagaimana tidak? Jika mereka tak bekerja sehari saja, itu sama artinya mereka tidak makan sehari. Tapi biarlah, itu lebih baik daripada aku hidup dalam penjara mereka yang baik hati.

Wilokoman, dengan bekal wajah yang sedikit berbeda dengan kalian kebanyakan, aku berharap bisa melampiaskan dendamku pada dunia. Sebuah pelampiasan yang mungkin tidak wajar jika disebut sebagai pelampiasan dendam. Tapi inilah caraku melampiaskan dendam. Mungkin kau sedikit tahu tentang diriku, aku tidak suka sesuatu yang standar. Mungkin jika kau melihat caraku melampiaskan dendamku, (jika kelak kita diberi kesempatan bertemu lagi) kau akan tahu betapa aku sangat membenci profesi kedua orang tua kandungku yang semoga kebencian itu aku lakukan dengan penuh kesadaran.

Wilokoman!

Wilokoman!

Jika kelak aku mati, dan kau menyaksikan kematianku, maka jangan sebut aku sebagai penghianat, sekalipun orang di dunia ini menyebutku demikian. Dengan kecerdasanmu yang sekarang saja Kau pasti akan mengerti mengapa aku melakukannya. Pun jangan kau katakan bahwa aku seorang pahlawan kepada orang-orang jika kau tak ingin sepertiku. Negeri ini tak pernah menghormati pilihan, hingga jika aku mati pun aku tak bisa memilih menjadi pahlawan atau pemberontak (mereka memaknai pemberontakan secara serampangan, maka jika tentara atau siapa saja berkata tentang pemberontak, jangan mudah percaya) atau biasa saja, karena itulah watak manusia pengecut yang hendak merasa kalah. Tapi jangan kau katakana bahwa semua yang aku katakan adalah sebuah ancaman, yang aku katakan adalah janji.
Wilokoman, Tuhan kita sama (dalam hal ini kita lebih banyak kesamaan), maka doakan aku semoga tetap dapat menatapnya. Bukan hanya dengan mataku, tapi seluruh inderaku. Agar kematianku sedikit mulia di mata-Nya.

by;wastatama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar