Nenek Mariam mengusap kulit wajahnya yang mengendur dan keriput. Kelopak matanya benar-benar terasa berat tapi ia tidak berhenti menangis.
Tidak seperti ketika ketenaran, kecantikan, kejayaan, kemewahan yang menyelimuti hari-harinya dulu, semua ini tidak jauh berbeda dengan penjara yang mengurung batinnya. Tembok ini terus dan terus berbicara mengungkit kenakalannya yang telah berbuah dan memaksa ia untuk menikmati hasilnya. Raut mukanya tidak pernah kelar dari masalah, seolah kejadian-kejadian masa lalu menjadi bayang-bayang hitam yang tidak akan pernah lepas meski malam menggiring matahari ke peraduannya. Meski sekuat tenaga dan pikiran ia mencoba berlari, tapi tetap saja ia terseok dan jatuh lagi. Waktu-waktu yang berlalu tidak pernah memberinya giliran untuk dirinya beristirahat, meski matanya tertutup tapi otaknya terus berpikir.
Sulaman-sulaman itu tidak juga mengikis bayangan dan penyesalan. Sekian kali ia mencoba membunuh dirinya tidak sedikitpun berhasil. Pernah suatu kali Nenek Mariam menyilet pergelangan tangannya, tapi ia segera ditemukan oleh orang yang kebetulan lewat di depan rumah. Pernah juga ia sengaja menabrakkan dirinya di jalan raya, lagi-lagi mati tidak kunjung menghapirinya, tapi justru ia mendapati kursi roda sialan yang menemani hari-hari kelabunya.
Ia memutar kursi rodanya kedepan dengan tangan yang gemetar tinggal kulit kering dan tulang.
“Cukup, cukup! Aku letih beri aku waktu untuk istirahat aku letih! Ya Tuhan mengapa kau tidak cabut nyawaku saja, atau kau ingin menyiksaku perlahan-lahan dengan semua ini?!” Nenek Mariam berteriak.
Setiap hari ia hidup sendiri di balik tembok beton ini. Tembok sialan. Itu julukan dari Nenek Mariam. Setiap hari juga tembok-tembok itu berbicara. Tembok berlumut, retak yang dulu adalah singgasananya. Tempat ia memadu kasih, bercinta dengan segelintir laki-laki langganannya. Merekalah yang membawa nenek Mariam pada kemewahan sesaat yang seiring waktu semakin bertambah usianya dan ia ditinggalkan.
Setiap hari di pagi dan sore ia hanya menerima sepiring nasi dengan lauk pauk alakadarnya yang dikirim pelayan-pelayan sinis dari luar pintu kamar lewat celah yang menganga di bawah pintu kamar.
“Mana hasil jerih payahku, dasar Anak-anak gila!” Ia menggedor-gedor pintu kamar. Padahal tidak ada satu pun orang yang akan mendengar, karena kamar itu terletak jauh dari ruang utama rumah. Satu-satunya yang menghubungkan tembok kamar ini dengan ruang-ruang indah itu hanyalah sebuah lorong gelap. “Dasar anak tidak tahu terima kasih! Kau enak-enakan di sana merasakan jerih payahku!” teriaknya lagi.
Wanto, anak sulungnya yang lahir dari lelaki yang pernah membuatnya hamil. Kemudian Wantini yang juga lahir dari lelaki yang tidak jelas asal-muasalnya, belum lagi anak ketiga dan yang keempat. Semuanya terlahir dari benih-benih lelaki binal dan tidak bertanggung jawab. Mereka sendiri, anak-anak Nenek Mariam menjadi penerus kuat usaha rumah bordir yang berada di balik lorong gelap ini.
“Tembok sialan!” Ia menangis. Ingin rasanya ia menghujam semua anak-anaknya dengan batu-batu hingga mereka terkapar di lantai dan ia bisa menginjak-injak mayatnya. “Aku tidak gila! Mengapa kalian mengurungku di sini?!”
Kamu memang gila, Mariam. Kata suara itu yang ia yakini berasal dari tembok berlumut. Kemudian tembok itu menghadirkan rekaman pergumulannya dengan lelaki-lelaki pelanggannya dulu. Nenek Mariam menutup mukanya dengan kedua tangan. Kemudian tayangan-tayangan bagaimana ia menari dengan gemulai dengan tubuh telanjang di antara kerumunan penjaja seks. Ada juga transaksi-transaksi jutaan rupiah yang memenuhi peti uangnya. Nenek Mariam membangun singgasananya khusus untuk tamu-tamu dengan kantong tebal, setebal keinginannya menjadi ratu yang kaya raya. Menjelang episode terakhir tembok itu menayangkan alur-alur sedih dimana masa kejayaannya mulai turun, saat anak terakhirnya lahir dan kesehatannya melorot karena penyakit mematikan itu berjamur dalam dirinya. Ia semakin tersiksa, kejayaanya diambil alih oleh anak tertuanya, lalu anak kedua hingga kini yang terakhir.
Nenek Mariam semakin terpuruk. Terakhir tembok itu tertawa, suaranya menggema hingga Nenek Mariam berteriak dan menutup telinganya kuat-kuat. Begitulah setiap harinya. Tembok-tembok itu terus menyiksa batin dan pikiran.
Nenek Mariam melempar piring nasi hingga pecah ke tembok. “Kau harus melakukan ini pada anak-anakku!” teriaknya pada tembok yang tidak akan pernah bergeming. Ia juga merobek tirai-tirai yang pernah menjadi selimut kemaksiatan. Setiap hari tangannya memukul-mukul tembok itu dengan palu. Ia ingin merubuhkan tembok ini. Meski tembok itu terlalu keras, Nenek Mariam tetap tidak menyerah.
Kau tahu, semakin kau bertindak aneh, semakin anak-anakmu berpikir bahwa kau gila! Hahaha… Tembok itu memutar lagi tayangan kejadian masa lalu. Nenek Mariam tidak perduli, masih dengan semangatnya ia terus berusaha menghancurkan tembok itu.
Setiap harinya di lorong gelap menggema suara pukulan tembok, hingga Nenek Mariam letih dan tertidur pulas di atas kursi rodanya dengan rambut putih dan panjang menjuntai ke tanah. Ia nyaris mirip kuntilanak. Doa-doanya setiap hari adalah kutukan-kutukan bagi anak-anaknya dan lelaki-lelaki binal. Juga permintaan kepada Tuhan agar hidupnya segera berakhir.
Ia terlalu letih, tembok berlumut dan keras itu tidak goyang sedikit pun. Nenek Mariam hanya berhasil membuat lubang-lubang kecil, padahal tangannya sudah habis dengan luka dan darah.
“Hei Orang-orang sinting! Untuk apa kalian membiarkan aku hidup kalau kalian mengurungku disini?! Bunuh saja aku, dasar Anak-anak biadab!”
Pelayan yang menuju ke arahnya tidak menunjukan perubahan sikap apapun, seolah tidak memiliki gendang telinga. Pelayan itu masih diam dengan muka dingin. Tangannya menyodorkan piring nasi lewat celah pintu. Sesaat kemudian ia berteriak kesakitan saat Nenek Mariam berhasil membuat sayatan di telapak tangannya secepat kilat.
Pelayan itu berteriak-teriak mencemooh Nenek Mariam. Ini yang ditunggu-tunggunya, pelayan itu membuka pintu kamar yang terbuat dari besi dengan gerendel besar. Tangannya bersimbah darah dan bergetar saat memilih kunci yang tepat.
Pelayan itu memukul-mukul tubuh Nenek Mariam tanpa ampun dengan nampan. Nenek Mariam berteriak kesakitan dan meracau. Semangat kebebasan membuat tangannya cekatan menembus perut pelayan wanita itu dengan pisau. Akhirnya si pelayan jatuh terkapar dengan mata melotot. Nenek Mariam terkekeh-kekeh. Ia menghirup dalam-dalam lorong gelap yang aromanya tidak asing lagi. Ia menyelipkan pisau itu ke dalam helaian kain di atas pangkuanannya. Lalu ia memutar kursi roda keluar kamar.
Ia lewati sepanjang lorong dengan penuh kehati-hatian. Terucap kata selamat tinggal untuk tembok sialan yang mengurungnya selama bertahun-tahun. Sekarang tembok itu membungkam mulutnya. Nenek Mariam menang.
Keluar rumah ini hanya akan menambah kehidupannya semakin terasa mati, karena manusia-manusia di sana menurutnya lebih biadab dari dirinya. Nenek Mariam memasuki dapur dengan perabot yang banyak. Dapur itu kosong, dan akan dijejali pelayan-pelayan pada siang hari saat tiba giliran bagi para pelacur dan pelanggan-pelanggan itu beristirahat. Nenek Mariam mengguyur tubuhnya dan seluruh lantai ini dengan minyak tanah hingga basah kuyup. Sedari dulu dapur ini tidak pernah sepi dari persediaan makanan dan bahan bakunya. Ia meraih korek gas dan menyembuyikan satu jerigen minyak tanah yang disimpan di balik helai tipis bajunya bersama pisau belati.
Ia memasuki ruangan tengah. Beberapa orang terperanjat ketakutan melihat Nenek Mariam yang tertawa terkekeh-kekeh. Rambutnya yang putih terseret di lantai. Sementara bau minyak tanah menyeruak keseluruh kamar-kamar.
“Teruskan saja,” kata Nenek Mariam. “Aku mau jalan-jalan dulu ya!”
Tidak terbayang sebelumnya kalau hasil jerih payahnya menjadi sedemikian indah seperti sekarang. Ruangan ini dipenuhi tirai-tirai indah dan besar. Bunga-bunga hidup dipajang disana-sini.
“Hei apa ini??!!! teriaknya. Ia tidak rela foto anaknya sebagai simbol kebesaran dan kejayaan rumah bordir ini terpajang di salah satu dinding ruangan. Ia merubuhkannya hanya dengan sedikit sentuhan, sehingga menimbulkan suara gaduh.
Seorang wanita dengan pakaian serba mini keluar dari kamar, diikuti dengan lelaki yang tidak lebih tinggi darinya. Ia terperanjat, karena mendapati ibunya berhasil keluar dari kamar di ujung lorong itu.
“Gila, bagaimana kau bisa keluar?!” teriak Wantini.
“Kau yang gila, dasar Anak tidak berbakti. Bilang pada Wanto, aku tidak rela potonya terpajang disitu, karena ini semua hasil jerih payahku bukan kalian. Kalian tidak lain hanya parasit dan anak-anak terkutuk!” Nenek Mariam menunjuk dinding itu dengan tangan gemetar. Tidak beberapa lama kemudian Wanto dan anak kedua Nenek Mariam datang. Mereka mengepung Nenek Mariam yang meronta-ronta hingga ia terjatuh dari kursi rodanya.
Jerigen minyak tanah itu tumpah dan membasahi lantai. Para wanita penghibur berteriak-teriak. Nenek Mariam tidak banyak berpikir, ia lebih senang bisa membunuh dirinya sekaligus memberanguskan rumah ini beserta nyawa anak-anaknya. Nenek Mariam menjentikan korek gas dan dengan cepat api menjalar hingga ke tirai-tirai yang menjuntai lebar. Semua terbakar tidak terkecuali. Api itu menari-nari indah sampai ke atas langit. Keinginan Nenek Mariam tercapai, akhirnya ia bisa mati dalam keadaan bebas bersama anak-anaknya, rumah, dan tembok berbicara.
by;winsufmaulana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar