Menurut sebuah buku yang kubaca, kita harus pandai memvisualisasikan segala sesuatu yang kita inginkan. Semakin jelas gambaran tersebut, semakin besar kemungkinan untuk mencapai apa yang kita inginkan. Misalnya, jika akan berpidato di hadapan orang banyak, sejak jauh hari visualisasikan saat kita melakukan hal tersebut. Bayangkan apa pakaian yang kita kenakan, bagaimana penampilan kita, apa isi pidato yang disampaikan, kemana mata kita memandang, gerakan tubuh kita, siapa saja orang yang hadir, pakaian yang mereka kenakan, ekspresi wajah mereka, apa yang kira-kira ditanyakan pada sesi tanya jawab, hingga detail kecil lainnya. Gambarkan dengan sangat rinci dalam pikiran bahwa kita mampu memberikan pidato dengan sangat baik
Semakin jelas visualisasi itu terbentuk, kita akan terbiasa dengan kondisi itu. Pikiran akan menerima seolah-olah hal tersebut adalah pengalaman yang sebenarnya. Seakan-akan kita sudah melaksanakannya. Ketika tiba saat untuk berpidato, kita akan merasa sangat siap untuk melaksanakannya karena sudah terbiasa berlatih secara mental. Kegugupan-kegugupan dapat diminimalisir dan tidak ada masalah lagi. Singkat kata, hasilnya akan sangat baik.
Berangkat dari pendapat pakar cybernatics dari buku yang kubaca itu (itupun tidak kubaca hingga habis, hanya bab-bab awal saja) dan wejangan dari teman diskusiku, yaitu seorang atlit anggar profesional yang sangat mendukung teori tersebut -dia adalah perempuan yang bila berbicara terdengar cerdas dan berpengetahuan luas (sering membaca Intisari, Reader’s Digest dan buku apapun), diselingi hembusan-hembusan nafas panjang seakan ketika berbicara pun, dia sedang bermeditasi- maka aku pun terdorong melakukan hal serupa untuk kehidupan cintaku. Oh, kehidupan cintaku yang merana, kering, kerontang. Ya, di usiaku yang sudah seperempat abad ini, aku belum benar-benar merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya pada lawan jenis (maksudku cinta yang benar-benar menjeratku dan membuatku merasa senang karena terjerat tentunya).
Aku tidak pernah berpacaran. Aku memang sangat pemalu dalam membina hubungan romantis dengan lawan jenis. Atau lebih tepatnya, aku sering bersikap memalukan dalam menghadapi seseorang yang kusukai. Dulu aku juga merasa bahwa ritual berpacaran seperti bertemu di malam minggu atau saling menelpon hingga berjam-jam akan menyita waktu. Ketimbang merasa tidak nyaman, kupikir kutunda saja masalah cinta-cintaan ini sampai benar-benar menemukan seorang lelaki yang tampaknya adalah jodohku. Di samping itu, aku terinspirasi dengan kisah ibuku yang hanya berpacaran sekali dengan lelaki yang lalu menikahi Ibu, yaitu Ayah. Jadi keputuskan untuk bersabar menunggu jodohku datang.
Tapi tentu layaknya perempuan normal, ada rasa cinta yang bersemi pada diri mudaku. Sewaktu aku duduk di kelas 1 SMA, seorang kakak kelasku yang juga teman SMP kakakku, mengenalkanku dengan temannya yang ketua OSIS. Ternyata teman seniorku itu, menaruh hati padaku. Cukup rajin dia meneleponku. Pada awalnya aku ketakutan setengah mati seperti anak perawan mau dikawinkan dengan Datuk Maringgih. Pernah, jam 4 pagi aku terbangun memikirkan bahwa hidupku akan terganggu dengan kehadirannya. Kupikir dia yang sudah duduk di kelas 3 SMA terlalu dewasa untukku. Sama sekali bukan lelaki yang akan membuatku tertarik pada pandangan pertama, kedua, ketiga, keempat. Entahlah… kurasa kalau teman-teman tidak bolak balik menggodaku, menyemangatiku, menyebut nama lelaki itu dan memujinya, tak akan suka aku padanya.
Tapi ya, selayaknya kisah gadis yang luluh akan perhatian seorang lelaki, takluklah aku. Bukan pada figur ketua OSIS itu, tapi pada rasa suka itu sendiri. Rasa terbuai pada bayangan bahwa ada lelaki yang akhirnya benar-benar berminat mengenalku. Romansa cinta mengintaiku dan membuatku kerap tersenyum.
Pada suatu hari, di telepon dia mengatakan ingin menemuiku esok hari, sepulang sekolah karena ada yang ingin disampaikannya. Sahabatku sangat yakin dia mau menyatakan rasa sukanya, menembakku… Ya Allah, aku sangat cemas. Walaupun namanya mulai menggetarkan hatiku, namun bukan berarti aku ingin berpacaran dengannya. Pada hari itu, aku langsung bergegas pulang. Seingatku, dari lapangan sekolah kupandangi dia ada di balkon lantai empat sekolahku. Entah apa yang ada di pikirannya. Kami tidak pernah membahas hal itu dan aku pun bersyukur bahwa tidak berlangsung insiden ”penembakan” yang benar-benar bisa membuatku pingsan itu. Kami tetap memiliki hubungan yang baik sebagai teman. Selulusnya dari SMA, dia diterima di Undip dan pindah ke Semarang. Aku sempat merasa kehilangan. Dia berpesan untuk mengiriminya surat tapi tidak pernah kulakukan.
Suatu saat ketika aku dan adikku bercakap-cakap, adikku mengatakan bahwa seniorku itu tampaknya lelaki yang baik. Ya, Seringkali ketika dia meneleponku, aku sedang mandi, sehingga agaknya dia menyempatkan diri untuk berbasa basi dengan adikku. Dia memang tampak bersedia untuk mengenal keluargaku. Kakak dan adikku menjadi topik yang pernah dibicarakannya. Adikku heran kenapa aku tidak membalas rasa sukanya. Saat itu, kurasa aku masih terlalu remaja untuk menyadari pesonanya. Mungkin saja bila aku bertemu dengan lelaki seperti itu kini, perasaanku akan bergetar. Seiring waktu, barulah aku menyadari kenapa orang-orang di sekitarku menyukainya. Dia adalah laki-laki yang karismatik, tegas, dan bisa memimpin. Kenapa aku baru menyadarinya?
Itu adalah kisah cinta pertamaku dibangku SMA. Kisah yang lain adalah rasa suka diam-diam dalam hati dan rasa terpesonaku pada seorang laki-laki muda periang, yang pernah kulihat tertawa dibawah sinar matahari yang membuat wajah kecokelatannya tampak bersinar (apa aku terlalu berlebihan?). Untuk lelaki yang terakhir ini, kurasa akan selalu ada rasa kagum dariku. Mungkin ini bukan cinta. Bila memikirkannya, aku sadar bahwa dunia bisa tertawa karena laki-laki seperti ini.
Dia baik hati namun terkadang menyebalkan, cerdas, menarik, membuat orang lain tertawa: jenaka! Ketika bernostalgia dengan sahabat lamaku, aku baru menyadari bahwa lelaki ini pernah sangat menyukai seorang teman perempuanku di SMP. Teman perempuanku itu memang sangat menarik. Mungkin bukan gadis tercantik namun dia punya pesona kewanitaan yang sulit diabaikan, cerdas, santun, sangat manis. Katakan saja dia memiliki 3B: brain, beauty, dan behavior. Tidak mengherankan laki-laki yang kusukai pernah jatuh suka pada gadis itu. Selama di SMA, aku tidak pernah benar-benar menunjukkan sikap bahwa aku menyukai teman lelakiku itu, namun bila dia peka, pastilah dia pernah menangkap gerak-gerik konyolku yang jelas-jelas suka padanya.
Itu semua adalah masa lalu. Kini, aku sudah pada tahap benar–benar membutuhkan teman hidup. Seseorang yang menjadi tempatku berbagi suka dan duka hingga akhir hidupku. Tekadku sudah bulat untuk cepat menemukannya atau justru menjemputnya. Kembali ke masalah visualisasi yang kubicarakan diawal tadi, tak kunjungnya aku menemukan cinta, kebingunganku untuk menemukan jodohku, mendorongku untuk memvisualisasikan laki-laki idamanku. Dengan membuat visualisasi yang mendalam, aku seperti mengirim doa kepada-Nya agar lelaki inilah yang akan diturunkan-Nya entah dari langit bagian mana untukku. Dan akan lebih mudah bagiku untuk mencari lelaki yang tepat karena dia sudah tergambar jelas dibenakku. Bagaimana, ide yang baik bukan? Tidak ada ruginya bila kuwujudkan ide ini. Dan ide ini sungguh membuat hatiku hangat…
Harus dari mana kumulai deskripsiku tentang lelaki ini? Hmm… mungkin dari fisiknya dulu.. Kenapa aku jadi bersemangat begini? Ya, dia lebih tinggi dariku. Tingginya tak kurang dari 170 cm, mungkin 175 sampai 180 cm. Badannya tidak kurus namun juga tidak gemuk. Dia memiliki figur yang ramping. Dia suka berolah raga joging, renang, dan bela diri (mungkin aikido, karate, taekwondo, atau capoeira). Kulitnya terang dan bersih, mungkin tampak sedikit kecokelatan karena dia menyukai kegiatan outdoor. Ketika SMA dia adalah seorang pecinta alam yang senang mendaki gunung, namun kini karena sudah bekerja maka ia mengurangi hobinya tersebut. Tetapi bila liburan tiba, dia masih senang menjelajahi berbagai tempat sebagai backpacker. Dia memiliki rambut ikal lembut, yang akan berterbangan ringan bila diterpa angin, rahang yang kuat, serta tatapan mata yang tajam dan dalam, mungkin sedikit sipit menunjukkan karakter dari darah Jepangnya.
Ya, dia adalah seorang Indonesia yang memiliki darah Jepang karena kakeknya menikah dengan perempuan Jepang. Seringkali bila kupandangi, wajahnya tampak seperti tokoh dalam komik Jepang. Untuk yang satu ini, aku memiliki alasan khusus. Ketika remaja, aku terperangkap dalam pesona komik Jepang, yang membuatku memiliki bayangan romantis mengenai Jepang dan masyarakatnya. Lepas dari kebenaran gambaranku tentang Jepang, aku jatuh cinta pada negara itu. Aku pun jatuh cinta pada karakter-karakter pria tokoh utama dalam berbagai komik Jepang. Dan tentunya, lelaki yang kuimpikan ini pun juga mencintai budaya Jepang. Kami menjadi teman diskusi yang seru mengenai komik Jepang dan hal-hal yang terkait negara Jepang.
Masih berhubungan dengan asal usul, lelaki impianku itu juga memiliki darah Minang. Apa aku terdengar seperti sangat sukuisme? Oooh, jangan menganggapku seperti itu. Hanya saja kedua orangtuaku sangat mendambakan menantu yang berasal dari suku yang sama dengan mereka. Setiap kuprotes hal itu, ibu mengatakan memiliki pasangan hidup dari suku yang sama akan mempermudah interaksi dalam rumah tangga. Aku menerima hal ini dengan setengah hati. Kalau semua orang meyakini hal itu, tentu tidak ada keragaman di dunia. Tidak akan ada percampuran yang melahirkan karakter-karakter eksotik. Terlebih lagi, perbedaan bisa saling mengisi, bukan? Tapi untuk menyenangkan hati orangtuaku, tak masalah bila kuwujudkan keinginana mereka dalam sebuah gambaran ideal. Dalam kenyataannya kesamaan suku bukanlah prioritas utamaku.
Kembali pada gambaran lelaki tadi, dia cukup memahami bahasa Jepang. Oleh karena neneknya ingin dia tetap mempertahankan identitas Jepangnya, maka neneknya rajin mengajarinya berbahasa Jepang dan mereka sering bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Dia juga memiliki hasrat yang besar terhadap bahasa Inggris karena semenjak kecil dia senang menonton film CHiPs yang dibintangi Erik Estrada, yang membuatnya terkesan dengan kata-kata asing yang didengarnya. Inggris adalah bahasa yang sangat dikuasainya. Ketika berbahasa Inggris, dia terdengar seperti seorang native speaker.
Lelaki ini mencintai fotografi dan banyak mengajariku mengenai makna foto. Dia seseorang yang artistik. Dia ingin merekam rasa yang muncul dan senang menghentikan moment kehidupan di sekelilingnya dengan menekan shutter kamera. Dia adalah lelaki yang cerdas, berwawasan luas, dan mencintai ilmu alam. Hmmm… sebenarnya apa pun minatnya, selama itu adalah minat yang baik, bukanlah suatu masalah bagiku. Sebaiknya aku segera beralih pada hal yang lebih penting, yaitu karakternya.
Dia memiliki perangai yang keras, namun dibalik itu ada kelembutan hati yang terbentuk karena pola asuh bundanya. Ayahnya membentuk dia menjadi lelaki tegas dan kharismatik. Dia sungguh mencintai orangtuanya dengan tulus, yang ditunjukkannya lewat tindakan. Dia memiliki jiwa kepemimpinan alami. Dihargai dan dihormati oleh orang-orang disekitarnya. Dia bisa membuat gadis-gadis jatuh cinta dengan kharismanya namun dia sangat menjaga integritas dirinya dengan tidak mengobral cinta. Dia bisa membuat orang-orang disekitarnya tersenyum, tergelak dalam tawa karena candanya namun ia tidak berlebihan. Dia adalah seorang muslim yang taat, selalu berusaha menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tentunya, dia melaksanakan shalat shubuhnya dengan baik.
Wow… laki-laki yang luar biasa. Dimana aku bisa menemukannya? Satu hal yang jelas, laki-laki ini jatuh cinta padaku dan aku pun jatuh cinta padanya. Lalu Allah Yang Maha Pengasih menyatukan kami dalam ikatan pernikahan yang suci dan indah. Dia menganugrahkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah pada kami dan mengkaruniai kami dengan anak-anak yang soleh dan solehah.
Tiada manusia yang sempurna. Tidak mungkin dipungkiri. Aku mengantisipasi hal ini. Jika dapat memilih kekurangannya maka kekurangan lelaki ini adalah dia tidak romantis. Tidak ada rayuan-rayuan manis yang dia tujukan padaku. Tetapi, aku selalu merasakan bahwa dia mencintaiku. Itu sesuatu yang tidak kuragukan dan aku pun mencintainya dengan setulus hati. Terkadang aku akan memandangnya dengan remuk karena mengharapkan ada sedikit romantisme diantara kami namun dia tidak memahaminya. Akan tetapi, dalam setiap sentuhan kecilnya, aku dapat merasakan ketulusan cintanya, kasih sayangnya. Seperti ketika kakiku lecet karena berlari menggunakan sepatu keds yang sudah rusak, tiba-tiba ada sepasang sepatu lari yang dia belikan untukku. Atau ketika aku berulang tahun, dia bangun sangat pagi untuk menyiapkan sarapan berupa nasi goreng ikan asin yang terlalu banyak ikan asinnya. Dia bukanlah lelaki yang senang membawa rangkaian mawar untukku namun dia selalu membuatku melihat indah mawar dari perilakunya.
Bersamanya duniaku selalu penuh warna. Tidak membosankan. Kami bersinergi untuk membuat hidup kami masing-masing menjadi lebih indah. Walaupun begitu, aku tidak ingin bergantung kepadanya dan demikian pula dirinya. Kami saling melengkapi. Kami adalah dua individu yang terpisah namun dipersatukan olehnya dalam ikatan suci yang InsyaAllah kami pertahankan di dunia dan bila Ia perkenankan akan terus berlanjut di dalam keindahan kekal milik-Nya.
Walaupun saat ini aku sedang menyatukan kepingan hatiku karena perasaan yang tidak berbalas, setidaknya gambaran lelaki impianku ini mampu membuatku tersenyum. Aku tahu ini adalah impian. Pada akhirnya aku hanya meminta kepada Dia yang Maha Mengetahui agar memberikanku jodoh yang menurut-Nya adalah yang terbaik. Karena Dia lah penciptaku, yang paling memahamiku.
by;air
Tidak ada komentar:
Posting Komentar