Kamis, 30 September 2010

mimpi tak tergapai

Nampaknya Warmin masih saja memendam mimpinya. Cita-cita kecilnya hanya menjadi angan belaka. Angan masa lalu yang tak akan pernah digapainya. Dambaannya menjadi seorang polisi, kini tertutup rapat. Tak akan pernah terbuka kembali kesempatan itu baginya. Kalaupun dapat terjadi, seragam kejujuran itu tak layak dipakainya. Tercoreng kelakuan sekarang yang akan dikenangnya mendatang. Dia hanya dapat melihat polisi yang melintas di hadapannya. Bukan dalam mimpi, angan, dan cita-citanya. Dia hanya mampu menyaksikan perilaku dan kehebatan seorang polisi di depannya. Bukan di dalam dirinya.

Warmin mungkin tak seberuntung remaja-remaja yang lain seusianya. Sejak kecil, dia sudah terbiasa menghirup udara kotor dan debu-debu jalanan. Ibunda tercinta tak diketahui di mana rimbanya. Ayahnya entah kemana. Jangankan menatap wajah, nama ayahnya pun dia tidak tahu.

Memang dia dikenal sebagai anak haram, tak diketahui asal-usul mengenai siapa ayahnya. Bahkan sang ibu yang diduga tengah hamil di luar nikah, diusir oleh warga di kampung asalnya. Sang ibu tak pernah menceritakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ayahanda Warmin. Paling menyedihkan lagi, ketika usianya genap lima tahun, dia ditinggal pergi ibunya entah kemana.

***

Kehidupan yang terus berputar, membuat Warmin dipaksa menelan banyak pelajaran tentang hidup bertahan dan bertahan hidup. Hidup bertahan di bumi yang selalu mengucilkan, menyepelekan, dan menghina keberadaannya. Bertahan hidup dari rasa haus dan lapar, kesusahan, kegetiran, dan keputus-asaan. Guna menyambung nafas hidup, dia memanfaatkan kemampuan yang dimiliki agar dapat menghasilkan uang. Berbeda dengan anak lain seusianya, yang hanya tinggal menunggu orang tuanya memberikan uang. Dia tak pernah mengeluhkan nasibnya. Dia terus menatap ke langit yang biru. Berharap dapat menemukan wajah ayah dan mendengar panggilan ibunya.

Dalam khayalannya, dia berimajinasai kalau sang ayah adalah orang yang hebat, berbadan besar, dan sukses, sehingga terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan lupa kepada Warmin. Mungkin juga dia pernah menerima uang hasil bernyanyi di lampu merah dari ayahnya. Atau bisa jadi, sang ayah adalah salah satu orang yang mobilnya pernah didatangi saat dia mengamen. Ah, itu hanya buaian angannya saja. Kalau memang dia punya naluri sebagai seorang ayah, dia pasti berusaha menemui Warmin kecil yang sehari-hari kulitnya terpanggang matahari. Paling tidak, dia berusaha mencari keberadaan anaknya.

Dia juga membayangkan, kalau ibu tercinta pergi merantau ke negeri seberang dan akan kembali membawa uang berlimpah serta mainan yang banyak untuknya. Bahkan, dengan lugunya, dia berangan-angan telah memiliki seorang adik perempuan kecil yang cantik dan manis. Sungguh malang Warmin kecil. Dia tidak sadar kalau sang ibu telah pergi jauh meninggalkannya. Mungkin karena malu dengan keadaan sang anak yang dicap sebagai anak haram. Atau mungkin, dia tidak tahan dengan kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang dihadapinya. Suatu saat nanti, Warmin pasti akan mengerti tentang semua ini.

***

Warmin kecil identik dengan kepolosan, suara sumbang, kecrekan dari tutup botol, lusuh, dan bau. Dia mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang polisi. Baginya, polisi itu merupakan orang yang baik dan suka menolong orang yang membutuhkan. Suatu ketika, dia pernah menyaksikan sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas, di tempat biasa dia mengais nafkah dengan mengamen. Dengan tatapan penuh harapan, dia memperhatikan seorang polantas yang sedang mengatur laju lalu lintas yang mengular tempo itu. Sementara, rekan si polantas yang dilihatnya itu, sedang mengevakuasi sang korban yang tergeletak di bahu jalan. Apalagi, di suatu waktu dia juga pernah menyaksikan episode kejar-kejaran antara beberapa polisi dan satu kawanan perampok di tengah kota. Seperti adegan di film, bisiknya. Sejak itulah, terbersit di hatinya untuk menjadi seorang polisi yang berani, mampu mengayomi masyarakat dan menolong sesama. Namun, dia sadar sepenuhnya bila hal itu hanya menjadi angan-angan belaka.
Sejak kecil dia belum pernah merasakan duduk di bangku sekolah. Dia hanya tahu cara menghitung uang hasil mengamen walaupun materi dasar di sekolah belum dia dapatkan. Dia juga tahu cara menyanyikan sebuah lirik lagu saat mengamen. Padahal, bidang studi Bahasa Indonesia dan Kesenian, dia belum pernah pelajari sebelumnya. Bahkan, dia tahu bagaimana cara beribadah kepada Sang Pencipta. Entah dari mana dan siapa yang mengajarinya.
Memang dia tidak seberuntung anak-anak seusianya. Dia pun berandai-andai sambil memperbandingkan dirinya dengan anak-anak lain seusianya. Seandainya dia memiliki kesempatan mengecap pendidikan, mungkin dia akan lebih rajin dibanding yang lain. Toh, mereka hanya menghambur-hamburkan uang orang tua saja, pikirnya. Padahal belum tentu mereka belajar dengan sungguh-sungguh.
Begitu kuat dan besar niatnya untuk mewujudkan mimpi serta cita-citanya. Namun, dia tersadar dari khayalan dan andai-andainya. Sengatan panas sang mentari membangunkannya dari lamunan masa depan. Semilir angin yang membelai wajahnya seakan mengajak untuk kembali menjual sisa-sisa suara yang masih ada. Begitulah kebiasaan kawan kecil, Warmin. Menjajakan dan menawarkan suara sumbangnya sekadar untuk memperpanjang nafas hidup. Keadaan tanpa orang tua tak menghambat langkah getirnya. Kesendirian jadi teman abadi. Siangnya merupakan belantara kota yang menjanjikan ketakutan dan kejahatan. Malamnya beratap bintang-bintang, di atas tanah pembaringan berselimut angin malam, yang menawarkan kesakitan bagi eskimo kecil, Warmin.

***

Warmin kecil kini bertambah usia. Tanpa terasa, dia mulai beranjak dewasa. Dia bukan lagi seorang Warmin kecil yang identik dengan suara sumbang, kepolosan, lusuh dan bau. Dia berubah menjadi seorang remaja dengan perawakan tinggi besar, kulit hitam legam, rambut cepak, dan wajah yang kelihatan melebihi umur sesungguhnya. Selayak penampilan seorang polisi umumnya. Mungkin gejolak cita yang mendorong semangatnya melatih jasmani dan menjaga kebugaran tubuh sehingga serupa dengan penampilan khas polisi secara umum.
Namun, sejak semula nasib telah menuliskan bahwa dia tidak seberuntung remaja lain seusianya sekarang ini. Dia masih ditemani kesetiaan jalan kota yang penuh debu, polusi, kemacetan, keonaran, dan bertumpuknya sampah-sampah kota. Menginjak remaja, dia masih belum juga dapat merasakan arti penting pendidikan bagi kehidupannya. Tak seorang pun memandang iba kepadanya. Justru pandangan buruk dan pikiran penuh curiga yang selalu disunggingkan oleh orang-orang melalui senyum sinis mereka.
Tak kenal maka tak sayang. Mungkin pepatah itu cocok menggambarkannya. Bagi sebagian orang di sekitar emperan toko, tempat Warmin beristirahat, mereka mengenalnya sebagai sosok yang baik, suka menolong dan tidak pernah mengeluh. Di tempat itulah dia menemukan figur ayah, ibu, kakak, adik, serta saudara-saudaranya. Di sana pula dia berkeinginan besar menggapai mimpi dan harapannya untuk menjadi seorang polisi. Setiap malam yang terlewat, sesering itu juga mimpinya sebagai seorang polisi menghinggapi pembaringan. Meski terkadang kerinduan terhadap sang ayah dan ibu tercinta turut memeriahkan bunga tidurnya.
Besar kerinduan dan harapan akan cita-cita, kini menghiasi segenap hati dan pikirannya. Tetapi, nampaknya kedua hal itu hanya menjadi sebuah angan-angan panjang di dalam kehidupannya. Hampir sepuluh tahun, seluruh pikiran dan perasaannya tertumpah pada hal-hal tersebut. Demi mengobati rasa penasaran menjadi seorang polisi, dia membeli sepasang seragam polisi dari seorang kenalannya. Kebetulan, seragam yang dibelinya memang terlihat cocok dan sesuai dengan ukuran badannya. Begitu dia mengenakan seragam itu, dia nampak seperti seorang polisi sungguhan. Kawan penjual seragam polisi itu pun amat menyayangkan nasib Warmin yang harus pasrah pada keadaannya yang tidak dapat menyambangi cita-cita sebagaimana orang lain.

Bagaimana dengan kerinduannya kepada ayah dan ibu tercinta? Mungkin hanya mimpi-mimpi sebagai pelepas rasa kangen terhadap kehadiran sosok ayah baginya. Maklum, semenjak hadir di tengah dunia ini, belum sekali pun dia bertemu apalagi melihat ayahnya. Sementara itu, sisa-sisa kenangan bersama sang ibu yang masih diingatnya, merupakan obat bagi kesedihan dan kerinduan mendalam pada ibunda tersayang. Hatinya selalu bertanya-tanya. Apakah ayah dan ibunya masih hidup? Apa mereka merasakan hal yang sama seperti dia rasakan? Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar tak sanggup dijawabnya. Mungkin hanya sebuah keajaiban yang dapat mempertemukan dia dengan kedua orang tuanya itu.

***

Suatu hari, dicobanya seragam polisi yang sudah dibeli dari seorang kenalan beberapa waktu lalu. Dia mengenakannya dengan sangat bangga dan percaya diri. Seragam itu begitu cocok dikenakannya. Hanya satu kekurangannya waktu itu. Dia tak mempunyai senjata api, seperti kebanyakan polisi umumnya. Tak peduli. Dia tetap berjalan dan berkeliling dengan seragam kebanggaan masa kecilnya. Banyak orang-orang terdekat yang takjub dan penasaran melihat gaya dan penampilannya. Ada yang terkagum-kagum. Ada pula yang bertanya-tanya. Sejak kapan dia menjadi seorang polisi. Dia tak menggubris. Langkahnya semakin pasti menuju tempat dia mencari nafkah. Gairahnya merasakan kenyataan mimpi yang memaksa begitu kuat menghinggapi pikirannya. Sekadar merasakan cita-cita sejenak, pikirnya.
Belum terlalu jauh Warmin melangkah dengan seragam cita-citanya, dia menyaksikan dari kejauhan sebuah keramaian di pertigaan lampu merah, tempat biasa dia mengamen. Tanpa berpikir lama, dia segera berlari mendekati kerumunan orang-orang yang membentuk pusaran itu. Dilihatnya seorang pencuri yang tertangkap basah hendak mencuri sebuah ponsel milik seorang wanita di tempat itu. Lelaki setengah abad itu tak berdaya melawan gempuran amarah orang-orang yang memukulinya. Layaknya seorang polisi yang sedang bertugas, Warmin segera melerai pengadilan massa itu. Dengan suara sedikit berwibawa dan tegas dia menghentikan perseteruan tak berimbang itu.
Kemudian, lelaki setengah abad yang telah bermandi darah itu, dibawanya menepi ke sebuah warung rokok dekat lampu merah. Kala itu, Warmin benar-benar bertindak sebagai petugas hukum. Dia menginterogasi si pencuri itu dengan sangat mendetail, meski bahasanya agak sedikit prokem. Maklum dia belum merasakan pendidikan formal, sehingga tidak begitu memahami bahasa resmi.
Mencoba bermaksud baik, Warmin membawa lelaki tersebut ke kantor polisi terdekat, agar proses hukum lebih lanjut ditangani oleh pihak yang berwajib. Namun, maksud baik itu justru berbuah pahit baginya. Bagaimana tidak, Warmin yang masih mengenakan seragam polisi itu, malahan dianggap telah menyalahi aturan yang ada. Dia dicurigai sebagai oknum polisi gadungan yang selama ini sering meresahkan masyarakat. Bagi polisi sendiri, ini sesuai dengan pepatah sambil menyelam minum air. Sembari menginterogasi si pencuri, aparat berwenang di kantor polisi malah mendapatkan seorang calon penghuni tahanan baru, Warmin. Dia tak dapat berbuat banyak, meski berkali-kali telah menjelaskan masalah seragam yang dikenakannya, tetap saja hukuman kurungan menantinya di depan mata.
Sungguh malang nasib Warmin. Niat baiknya ternyata tidak sebanding dengan apa yang didapat. Sambil menyesali hari terburuknya, dia tertunduk melangkah menuju ruang tahanan. Bersama tahanan lain, dia terpaksa menghirup udara pengap di balik jeruji besi. Meskipun begitu, dia masih tetap berharap dapat mengenakan seragam itu lagi. Seragam kebanggaan masa lalu sekaligus seragam yang telah menyeretnya ke lembaga permasyarakatan. Di sudut ruang kamar 13 itu, dia hanya bisa memendam mimpi masa lalunya tanpa mampu menggapainya.


by;roy manu leveran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar