Senin, 06 September 2010

munafik

Sepertinya aku mau muntah saja karena berlama-lama di gedung ini. Di sekelilingku terpampang lukisan-lukisan tak berbentuk dengan warna yang berbenturan. Kalau saja bukan karena harus menyusun laporan tentang pameran ini, sumpah mati aku takkan bertahan di sini. Laporan untuk kuserahkan pada Mas Atmodjo, pemred majalah anak-anak Unyil, sebagai berita tambahan. Lumayan, jumlah bayarannya cukup untuk biaya tukar tambah telepon selularku yang lama dengan keluaran baru yang kerennya naudu billah.

Kita kembali ke permasalahan pameran tadi. Lelah berkelilling sambil memiklkirkan apa yang patut ditulis, aku berhenti di hadapan sebuah lukisan. Aku perhatikan lukisan tersebut, sama saja dengan lukisan lain yang membuatku seperti mabuk perjalanan. Tergambar makhluk seperti seekor ayam, namun kakinya ada tiga. Belum lagi paruhnya berbentuk segi empat. Sayapnya lebih mirip dengan sayap kapal. Di sekeliling binatang malang menyedihkan itu berhambur bercak-bercak cat yang berantakan. Di tambah lagi dengan pewarnaan yang norak. Warna dasarnya coklat, namun isi gambar didominasi dengan warna terang seperti kuning, jingga, bahkan hijau muda. Lucunya, terselip beberapa bintang dan bunga -yang juga hampir tak berbentuk- di tepi lukisan. Semuanya terlindung dalam bingkai yang mewah. Sayang sekali bingkai itu harus dihuni oleh lukisan yang luar biasa aneh.

Namun ada satu hal yang membuat lukisan itu menjadi berharga, yaitu secarik kertas bertuliskan ‘Rabil Saidi’ di bawahnya. Itu adalah nama pencipta seluruh lukisan yang ada di pameran ini. Seorang pelukis kharismatik yang akhir-akhir ini sosoknya dipuja-puji oleh para kritikus dan penikmat seni lukis. Beliau juga banyak menulis buku tentang seni, khususnya seni lukis, baik tentang cara melukis, peran seni lukis, pengalaman-pengalamannya sebagai pelukis, atau sekedar kumpulan falsafahnya tentang seni lukis dan seni lainnya. Betapa saat ini ia menjadi tokoh yang berpengaruh bagi dunia seni dan sepertinya dia sudah layak disebut sebagai maestro.

Seperti dalam perbincangan dua orang yang berada di dekatku. Mereka sedang membahas lukisan yang ada di hadapan mereka.

“Lihatlah lukisan ini. Sekali lagi kita dapat melihat bukti kejeniusan bung Rabil. Makhluk persegi ini seakan menyiarkan adegan hati yang gundah gulana. Sebuah hati yang terputus, bersandar di pancang nisan. Cinta yang lelah dan menunggu ajal. Derita itu makin terlihat jelas dari anak panah yang melesat namun tidak mengarah pada hati itu. Oh Tuhan, mengapa cinta ini tak mati saja. Luar biasa. Lukisan ini seakan-akan hidup,” kata seorang pria berperawakan gendut dan botak. Di antara jari-jari tangan kirinya terselip pipa tembakau yang tak dinyalakannya. Ya, bukankah ini adalah ruangan Full AC?

“Benar, Tuan. Anda cukup jeli mengenai lukisan ini. Tapi yang membuat saya tertarik adalah awan mendung yang hanya menaungi hati itu. Sebuah perasaan di mana hanya ia sendiri yang memendam duka yang amat sangat dan tak membiarkan perasaan lainnya menikmati semua itu. Satu lagi, laut di bawahnya, menggambarkan meski berduka, perasaan itu dapat menaklukkan lautan kejahatan, makanya Bung itu memberi warna lautnya dengan merah. Sangat sulit membuat lukisan yang maknanya sedalam ini,” pria satunya lagi menimpali. Ia seperti seorang seniman, atau mungkin kritikus. Entah kenapa aku berpikiran seperti itu. mungkin karena pakaiannya yang unik ditambah topi ala Putu Wijaya melekat di atas kepalanya.

Bukan hanya mereka berdua, semua orang terkagum kagum melihat seluruh karya Raibil Saidi yang beraliran abstrak. Tapi, kenapa aku tidak? Ah, mungkin karena selera seniku yang rendah. Nilai kesenianku saat masih sekolah saja hampir selalu merah. Untung saja seni musikku lumayan. Meskipun bekerja di sebuah majalah anak-anak, aku tak pernah dituntut untuk mengeluarkan kemampuan seniku yang buruk seperti beberapa rekanku. Lagipula aku hanya wartawan khusus info yang berbau iptek. Sekarang aku hanya berstatus freelance untuk meliput pameran ini, dengan alasan yang telah kukatakan tadi.

Mataku tertuju pada keramaian di dekat pintu masuk. Sesosok pria tua yang wajahnya amat berwibawa, disambut oleh orang-orang sekitarnya. Ia adalah Rabil Saidi, pelukis jenius yang bertanggung jawab atas rasa mual yang kualami sejak masuk ruangan ini. Aku terkejut ketika matanya terpaku ke arahku yang sedang memegang bingkai lukisan di hadapanku (tadi aku mau menyelediki terbuat dari apa bingkai lux itu). Lebih terkejut lagi saat ia berjalan menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Tokoh yang selama ini hanya dapat kulihat di TV dan majalah-majalah.

“Selamat datang di alam imajinasiku di atas kanvas-kanvas ini, anak muda. Ceritakan, apa yang telah engkau rasakan?” Katanya penuh kharisma.

“Aku tidak bisa menceritakannya. Namun Bung harus tahu, aku merasakannya,” jawabku, sedikit munafik. Mungkin karena kharismanya itu. Anggap saja rasa yang kumaksud adalah manderita dan seperti mabuk perjalanan, hehehe…

“Aku setuju. Tidak semua rasa dapat diterjemahkan dalam kata-kata. Namun bila rasa itu menghinggapimu, kau harus menterjemahkannya, dengan cara apapun yang bisa membuatmu dan rasa itu puas.”

Ia meneruskan perjalanannya dengan diikuti beberapa orang. Yah, dia harus menikmati secara langsung kesuksesan pameran lukisannya. Sedangkan aku masih terpaku, seolah mengamini seluruh perkataan orang tentang kharisma Bung Rabil. Ia terlihat berbeda dibanding dengan gambarnya di media.

Lalu, apa yang harus kutulis di laporanku? Berkata sesuai dengan penilaianku bahwa lukisan Rabil Saidi tak lebih bagus dari lukisan buatan anak-anak? Wow, kalau itu kulakukan, aku harus menghadapi orang-orangnya Bung Rabil, kritikus seni, atau pemuja Bung Rabil yang dilihat dari segi manapun lebih kuat ribuan kali dari pihak yang mungkin mendukungku. Itupun kalau laporanku tidak ditolak oleh Mas Atmodjo, yang katanya juga pengagum falsafah-falsafah Bung Rabil. Biarlah kutulis pujian-pujian. Aku rela bila ada pembaca Unyil yang pernah melihat lukisan Bung Rabil mengatakan aku penipu dan munafik. Bukankah aku telah bersikap munafik sejak berbincang singkat dengan Bung Rabil tadi?

*****

Minggu pagi itu , beberapa minggu setelah pameran lukisan dulu, aku memasuki sebuah kedai kopi sambil memulihkan tenaga yang mengucur deras bersama keringat akibat kegiatan jogging yang baru saja selesai kulakukan. Kedai kopi Mantap ini telah lama menjadi kedai langgananku. Meski tidak terlalu mewah, tempatnya cukup bersih, strategis, nyaman, dengan pelayan-pelayan yang ramah. Satu lagi kopinya amat nikmat, kapanpun kita meminumnya.

Aku telah menduduki kursi dekat dinding kaca yang mengarah ke jalan, sebelum sebuah mobil mewah berhenti di depan kedai itu. Terkejutnya aku demi melihat Rabil Saidi, pelukis abstrak nan norak itu, keluar dari mobil tersebut hendak memasuki kedai kopi Mantap. Sesaat setelah ia melangkah masuk, tak sadar aku memanggilnya. Merasa seolah kami adalah sepasang sahabat.

“Bung Rabil, suatu kebetulan yang indah bisa bertemu Bung di tempat ini,” kataku.

Ia menoleh dan menghampiri tempat dudukku. Kini ia tanpa pengawal.

“Mungkin Bung sudah lupa. Saya adalah salah satu pengunjung pameran Bung yang sukses beberapa pekan lalu.”

Ia menyambut tangan saya yang terulur. Tampak mukanya berkerut seolah berusaha berusaha mengingat sesuatu.

“Maaf jika saya mengecewakan Anda. Saya…”

“Anggap saja Bung ingat. Nama saya Ardi Sasongko, wartawan majalah anak-anak. Bung juga ingin merasakan kenikmatan kopi di sini? Pasti Bung tak akan menyesal. Tidak keberatan bila saya traktir secangkir? Sungguh, tanpa maksud apapun,” ceracauku penuh semangat.

“Hai Ardi. Aku hanya terbangun tadi pagi dan seolah di otakku berteriak suara-suara imajinasi yang meminta keluar. Lalu aku berinisiatif untuk mencari inspirasi di tempat yang tepat dan aku menemukan kedai kopi ini. Mungkin inspirasi yang dimaksudkan takdir adalah kau, Anak muda,” katanya berwibawa.

Awalnya kupikir ia akan kehilangan kharismanya di balik kaos putih oblong dan celana pendek motif bunga serta sepasang sandal jepit. Ternyata tidak!

Dua gelas kopi telah tersaji di hadapan kemi. Aku sempat terpaku pada dua buku bertukiskan Khalil Gibran di tangnnya. Yang satu berjudul Sang Nabi, sedangkan yang lainnya seperti buku biografi atau essai tentang pujangga legendaris itu.

“Anda menyukai Khalil Gibran?” kataku membuka pembicaraan.

“Sangat suka. Dia adalah teladanku. Bukan hanya karyanya, namun kehidupannya sangat menarik. Kalau kau, apa kau menyukainya?”

“Yah, hanya sedikit tertarik,” jawabku santai

“Apa yang kau ketahui tentang beliau?”

“Eh, tidak terlalu banyak. Yang kutahu ia imigran asal Lebanon yang besar dan terkenal di Amerika. Seorang pujangga dan filsuf yang luar biasa. Salah satu mahakaryanya adalah Sang Nabi.” Aku menunjuk buku yang di tangan Bung Rabil. “Namun bakat melukisnya juga tak bisa dikatakan biasa, bahkan seimbang dengan bakat menulisnya.”

“Hahaha, kau mengetahui banyak, Nak. Sedikit orang sekarang yang menghargai, bahkan mengetahui bakat melukisnya. Aku memiliki tiga buah lukisan duplikatnya dan ratusan buku karyanya dan tentangnya.”

“Wah, Anda sungguh-sungguh pemujanya.”

‘Benar. Ada yang mengatakan aku ini mirip dengan Gibran. Aku memiliki kemampuan menyusun kata, tentu selain keahlian melukis di atas kanvas, dan aku bangga akan kenyataan itu, hahaha,” katanya angkuh. Entah kenapa kharismanya hilang seiring tawa angkuhnya, di dalam pandanganku. Tipe manusia yang paling kubenci

“Kalau saya boleh jujur, Gibran dengan Anda jauh berbeda.”

Gawat, aku keceplosan.

“Maksudmu?” Bung Rabil tua itu hanya bisa terkejut meresponi omonganku yang ngawur.

“Eh, maksudku kalau Gibran lebih dikenal dari segi kepenulisannya, Anda sebagai pelukis,” ujarku berdalih.

“Oh, itu sih tidak terlalu jauh.”

“Yah, menurutku kalian punya banyak kesamaan. Kalian sama-sama memahami rasa yang hinggap dan tahu memuaskannya dengan jalan menterjemahkan secara tepat. Banyak orang yang mengatakan seni itu adalah perasaan yang dihiperboliskan sampai indah. Padahal perasaan itu telah tersedia indah, tinggal mempublikasikannya secara jujur dan tanpa paksaan. Memang tak mudah, tetapi Gibran, eh, maksudku kalian, mampu berekspresi jujur seperti yang kukatakan itu. Ditambah lagi kalian memiliki kepekaan untuk meraba seluruh perasaan itu, lebih dari yang orang lain punya. Bukankah begitu, Bung?”

“Benar, kejujuran.” Hehe, kini tak ada lagi guratan kesombongan di wajahnya, apalagi tawa.

“Jauh dari kepura-puraan dan kemunafikan,” potongku mempertegas. Dan ia pun terdiam, seperti sedang merenung.

“Hhah, tak terasa aku telah tua. Sebentar lagi akan mati.” Kini ia malah mengeluh.

“Ya, kematian. Bukankah semua orang akan mati? Semoga kematian Anda seindah kematian yang dialami Gibran. Meski meninggal dalam keadaan yang mengharukan, ia tetap dihormati dunia sebagai sang maestro, bahkan sampai hamper seratus tahun kematiannya.”

Aroma sindiran itu semakin jelas. Aku yakin ia juga merasakan hal yang sama. Buktinya, tak lama kemudian ia minta diri dari hadapanku, tanpa wajah yang girang dan angkuh. Mungkin tanpa kharisma.

*****

Hari ini, dua bulan setelah perjumpaan konyol di kedai kopi Mantap, aku menghadiri pemakaman pelukis Rabil Saidi. Meski kedatanganku bukan atas nama majalah Unyil –sudah ada Bang Randy yang meliput- aku juga ingin menyaksikan kematian yang menyentakkan publik, khususnya dunia seni tanah air. Baru beberapa waktu yang lalu beliau masih dengan angkuhya wara-wiri di berbagai media massa bersama karya-karya maupun buah pikirannya.

Yah, beberapa waktu yang lalu, meski hanya dua kali berjumpa, terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak bisa dikatakan biasa antara aku dengan dia dan kharismanya. Kuakui, aku sangat merinding bila mengingat peristiwa-peristiwa tersebut sepanjang acara pemakaman. Apalagi peristiwa sindiran cantik dua bulan yang lalu. Wow, serasa otak ini makin membesar dan bersiap memecahkan kepalaku. Hah, ternyata kematiannya tak seagung kematian sang Gibran, walau ‘tak sengaja’ aku mengharapkannya di kedai kopi dulu. Sudahlah, aku tak mau kepalaku benar-benar pecah.

Memang semenjak peristiwa itu (ini terakhir kita mengungkitnya lagi), popularitas Bung Pelukis mulai menurun. Entah kenapa ia jarang muncul di depan publik. Karya-karyanya seolah tenggelam oleh karya-karya baru dengan tokoh baru lainnya. Ada informasi, ia jadi sering mengurung diri di kamarnya. Cat dan kuas tak pernah ia pegang hanya pena dan kertas.

Sebelum meninggalkan upacara pemakaman yang belum selesai itu, sekilas aku melihat tiga orang pria berdebat. Salah satunya adalah pria yang pernah memuji karya Rabil Saidi di pameran silam.

“Memangnya aku bodoh? Aku takkan membayar amat mahal untuk karya seperti itu,” kata pria tersebut.

“Tolonglah kami, Pak. Kami sangat butuh uang. Bukankah beberapa bulan yang lalu Bapak berkata akan membelinya, bahkan dengan harga yang jauh lebih tinggi?” kata lawan bicaranya yang didukung oleh pria yang lain.

“Itu dulu, saat ia masih dipuja. Sekarang, tak ada lagi yang menyukai karya-karyanya yang jelek itu. Untuk apa aku membelinya? Untuk menambah isi tong sampahku?” Pria yang pernah kuanggap seniman atau kritikus itu pergi.

Di sudut lain, ada kumpulan orang yang bergaya eksekutif berbicara setengah berbisik satu sama lain. Dan salah satunya, semoga Anda bisa menebaknya, adalah pria gendut dan botak yang kujumpai di pameran bersama ‘Putut Wijaya’ palsu dulu.

“Karya-karyanya membuatku mau muntah. Mulai dari makna, letak, pewarnaan, tak ada keselarasan. Hanya lukisan asal yang tak lebih bagus dari gambar anak lima tahun. Falsafah-falsafahnya hanya seperti nada sumbang yang keluar dari knalpot Vespa tua. Yang membuatnya dihormati hanya karena diucapkan dengan nada angkuh sok berwibawa. Dia tak bagus dalam hal apapun. Dan keindahan seni tak dapat terus ditipu. Kini ia mendapat karmanya. Orang-orang mulai sadar akan kepalsuan talentanya dan meninggalkan dia. Selain penyakit yang parah, ia juga harus menanggung utang-utang yang besar di akhir hidupnya. Lalu …” Demikian komentar pria gendut itu bernada memprovokasi.

Di atas motorku menuju rumah, aku tertawa dalam hati. Bukan karena meninggalnya Rabil Saidi. Atau karena ketakutanku pada hantunya setiap mengingat sindiranku pada sang maestro. Juga bukan karena penipuannya pada masyarakat dengan karya-karyanya yang tidak ada bagusnya. Tapi karena kuingat komentar Pak Mochtar Lubis tentang manusia Indonesia itu benar. Munafik! Ya, tak bisa disangkal bahwa kita hidup penuh dengan kemunafikan. Mulut tak seberani otak, tak sejujur hati. Bila dalam Injil orang munafik sering diperankan oleh para Farisi dan Ahli Taurat, maka di cerita ini pemerannya banyak. Ada dua pria di pameran, para pemuja karya Raibil Saidi, dan tentu Raibil sendiri. Namun sialnya, aku juga termasuk.

by;remiel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar