Kamis, 30 September 2010

mbah mantan

Tubuhnya tegap, gaya bicara spontan dengan logat yang khas, tatapan mata tajam, dan setiap kata yang terlontar adalah wejangan yang harus didengar. Ucapannya adalah gambaran nyata kepempinan yang benar-benar nyata, merakyat dan benar-benar tahu bagaimana keadaan rakyatnya. Meski usia renta tampak menggerogoti tubuhnya yang mulai berkulit keriput, tapi kewibawaannya tetap menjadi suatu kesejukan di mata masyarakat yang telah lelah hidup dalam kesulitan dan ketertinggalan yang turun temurun, termegap-megap dalam memperbaiki nasibnya.

Keadaan “dalem-nya” hampir sama dengan “griya-griya” rakyat. Sederhana, beralas tanah, berdinding bata, dan boleh dibilang tak pantas untuk seorang pemimpin seperti beliau. Mungkin beliau berpikir, untuk apa memiliki tempat tinggal istana, sementara rakyat hidup dalam gubuk bambu penuh derita, seperti lirik lagu dangdut itu.

Rakyat mencintainya, mengaguminya, menghormatinya sebagai pemimpin yang sangat tahu betul keadaan masyarakatnya. Mengaku tak pandai tulis menulis, apalagi baca membaca, tapi kepemimpinannya adalah membaca tulisan rakyat berupa catatan tuntutan untuk mengarungi kehidupan, bermasyarakat, bebangsa dan bernegara, berpendidikan dan berbirokrasi. Ya, berbirokrasi. Sebuah tempat tanpa birokrasi ibarat mobil tanpa sopir. Birokrasi untuk daerah desa adalah lurah, kepala desa. Beberapa periode memimpin dan sekarang terhenti karena aturan, aturan bahwa kepemimpinan hanya dapat dipertahankan untuk satu periode, dan kemudian dapat diplih kembali untuk satu periode lagi, dan kemudian memberikan kesempatan kepada pemimpin yang lain untuk memimpin, yang lebih muda semangat dan pengabdiaannya. Itu artinya bahwa dalam negara yang berdemokrasi, kepemimpinan adalah amanah, tidak absolut seperti raja, walau pemimpin di mataku adalah raja yang bila berjalan di depannya kita harus menunduk sebagai tanda hormat, bukan menghamba. Sebab manusia hanya boleh menghamba kepada Sang Pencipta. Bukan kepada raja.

Masih terngiang ditelingaku kata-kata saat terakhir kali berjumpa dengan beliau. Mbah Mantan mereka menyebutnya karena beliau kini adalah mantan lurah. Beliau mengatakan bahwa seorang pemimpin itu tidak boleh makan nasi goreng, tidak boleh terlihat menjemur pakaiannya sendiri, dan tidak boleh memanjat pohon kelapa. Kenapa begitu?

Pertama, seorang pemimpin tidak boleh makan nasi goreng atau nasi putih yang kemudian digoreng dengan minyak. Nasi yang kemudian digoreng ibarat nasi sisa yang kemudian diolah kembali agar enak disantap. Kalau pemimpin sudah makan nasi sisa berarti keadaan rakyat diibaratkan sedang kesulitan bahan pangan, hingga pemimpin pun terpaksa makan makanan sisa. Kalau pemimpin saja makan makanan sisa, lalu rakyat makan apa?

Kedua, seorang pemimpin tidak boleh terlihat menjemur pakaiannya sendiri. Bila pemimpin menjemur pakaiannya sendiri, berarti pemimpin itu masih mengurusi dirinya sendiri hingga pada masalah sepele, menjemur pakaian. Kalau pemimpin masih mengurusi dirinya sendiri, kapan pemimpin mengurusi rakyat?

Ketiga, pemimpin yang memanjat pohon kelapa diibaratkan bahwa pemimpin tersebut baru bisa menyelesaikan masalah dalam negerinya sendiri setelah mendapat bantuan orang-orang atasnya. Perlu campur tangan “wong nduwuran” baru bisa menyelesaikan masalah.

Itulah ketiga hal yang beliau sampaikan sebelum beberapa hari kemudian beliau wafat setelah kecelakaan yang dialaminya. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Umur manusia adalah kehendak-Nya. Orang yang di pagi hari terlihat segar bugar, entah dinyana sore atau malamnya, telah berpulang ke haribaan-Nya.

Aku tersadar dari lamunanku di tempat takziah ini, saat makin banyak orang yang hadir untuk menghormati jenazah. Jenazah pemimpin yang banyak orang kehilangan karena kepergiannya.

Kembali aku simak perbincangan beberapa orang. Bahwa Mbah Mantan beberapa hari yang lalu melakukan kerja bakti bersama mereka, membangun jalan yang di-cor di kiri dan kanannya. Bahwa beliau “ngendika”, segera selesaikan pembangunan jalan ini, siapa tahu besok atau lusa ada ambulan yang lewat. Mereka semula menganggap gurauan beliau hanyalah gurauan semata, seperti biasanya karena beliau memang orang yang bisa membawa suasana, terutama karena beliau adalah orang yang berprinsip: kalau pemimpin terlihat susah, bagaimana dengan rakyatnya. Itu sebabnya kata beliau bahwa betapapun “Kometnya” (pusingnya) seorang pemimpin, di mata rakyat harus terlihat wibawa.

Semoga kepemimpinan Mbah Mantan dalam membangun desa, menjadi amal ibadah beliau sebagai bekal di alam baka. Alam yang pasti setiap manusia pasti akan ada di sana, entah kapan waktunya. Bahwa saat ini kita akan merindukan sosok pemimpin yang melekat di mata rakyatnya. Bahwa sekarang saatnya kita meneruskan perjuangannya. Selamat jalan Mbah Mantan…


by;dedeawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar