Gi, pulang. Bapak mau bicara.
Hanya itu isi surat yang kuterima tadi pagi. Aku tak habis pikir mengapa Bapak tidak menelepon saja. Nomor ponsel dan nomor telepon Ibu kost-ku sudah ada di tangan Bapak.
Namun begitulah Bapakku. Ia mengirim surat dengan kertas dan amplop kelas atas serta prangko kilat namun isinya hanya lima kata itu saja. Meski surat itu tanpa tanda tangannya, aku bisa mengenali tulisan Bapak yang khas. Tulisannya miring bersambung dan banyak hiasan di huruf G dan B besar. Benar-benar surat yang simpel namun juga mengusik hatiku. Apa gerangan yang mau dibicarakan?
Ini agak sulit karena aku sedang mengemban tugas sebagai pembicara seminar yang akan dilaksanakan besok di kampus. Terbersit niatku untuk menunda kepulangan sampai tanggung jawabku itu selesai. Namun rasa penasaran yang sangat menyelimuti otakku sedemikian rupa. Tumben sekali Bapak berkomunikasi dengan cara seperti ini belum lagi isi pesannya yang benar-benar menyita perhatianku sepanjang hari ini.
Apa yang akan dibicarakan Bapak? Tentang pernikahankah? Karena aku sudah termasuk telat untuk menikah dan begitu gencarnya Orangtua beserta adik-adikku membujukku untuk mencari belahan jiwa. Aku memutuskan untuk lanjut ke S2 jadi tidak ada waktu untuk menikah. Umurku 28 tahun dan aku memang kurang laku di mata kaum hawa walau banyak orang bilang wajahku termasuk lumayan. Tapi aku tetap merasa kurang, aku memang tidak pandai bersyukur. Yang paling kesal adalah adikku si Nuning. Dia sudah kebelet nikah namun tidak sampai hati melangkah mendahuluiku, jadilah ia menganggur di rumah. Kuliahnya sudah selesai dan belum punya pekerjaan. Aku merasa bersalah juga tapi aku akan menikah setelah selesai kuliah.
Atau mungkin tentang warisan? Mungkin Bapak sedang sakit keras baru-baru ini dan merasa akan meninggalkan dunia fana ini sehingga merasa perlu membicarakan warisan hartanya yang melimpah. Ataukah Bapak jatuh miskin di luar sepengetahuanku lalu akan menyuruhku berhenti kuliah? Tapi toh meski selama ini ongkos kuliah ditransfer Bapak, aku merasa bisa terus sekolah dengan upah kerja part time atau dengan belajar lebih rajin agar dapat beasiswa. Aku bukan anak-anak yang mau menjadi benalu bagi Bapak. Yang terakhir ini agak kuragukan karena Bapak orang sukses dan terhormat.
Akhirnya aku lelah berpikir yang tidak-tidak dan memutuskan mengepak koper sore ini lalu berangkat nanti malam. Kuhubungi teman-teman sesama panitia dan mereka semua pengertian.
“Tidak masalah, aku penggantinya. Hati-hati nanti di jalan,” begitu kata salah satu temanku yang menjabat sebagai wakil ketua panitia.
Setelah mengurus tiket yang agak bermasalah, akhirnya aku kembali terbang ke kota kelahiranku, Jogja. Meski sulit, aku berusaha menyingkirkan semua pikiran-pikiran aneh tentang apa yang akan dibicarakan Bapak.
Keluargaku kaget melihatku pulang, kecuali Bapak. Rupanya beliau tidak memberitahu yang lain bahwa aku disuruhnya pulang. Tak apa, toh mereka semua senang aku pulang. Kulihat Bapak hanya diam saja menyambut kepulanganku. Wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang berpikir keras tentang suatu hal dan bayang-bayang keraguan muncul timbul tenggelam.
Bapakku orang terhormat, bertitel kyai, punya banyak koneksi, kaya raya, dan disegani siapa pun yang mengenalnya. Semenjak aku diasuhnya sedari kecil, aku mengenalnya sebagai orang yang sangat taat beribadah dan selalu membangunkanku saat sepertiga malam untuk salat tahajud yang kemudian menjadi rutinitasku dalam keseharian. Ia bisa
diasumsikan sebagaimana orang-orang melihat seorang manusia yang sempurna akhlak dan materi. Hampir-hampir orang lain berani bertaruh manusia macam itu bakal masuk surga. Di dunia sebagai orang baik dan rezeki dicukupi, apalagi di akhirat. Pendek kata, ia dianggap sukses di dunia dan akhirat.
Ia pendakwah yang gigih. Banyak majelis-majelis mengharap kedatangannya untuk sekadar memberikan sambutan atau ceramah pendek. Saking dihormatinya, ia dimintai ‘doa’ oleh orang-orang yang datang dari luar kota. Bapakku tidak bisa menerima dan menganggap hal itu syirik. Ia bilang ia bukan dukun yang bisa dimintai hal-hal seperti
itu. Aku setuju saja. Ia mengusir dengan halus tamu-tamunya saat itu.
Bapak sangat pendiam. ‘Diam itu emas’ rupanya benar-benar menjadi prinsip hidupnya. Bapak hanya bicara bila benar-benar perlu jadi kebanyakan mulutnya hanya digunakan untuk tersenyum menanggapi perkataan orang lain. Begitu bangga dan bersyukurnya aku mempunyai Bapak seperti beliau.
Karena setiba di rumah Bapak hanya diam saja, aku agak heran juga, jadi kutunggu dengan tidur yang lelap hingga tiba-tiba ia membangunkanku sepertiga malam untuk salat tahajud. Akhirnya kami shalat berjamaah sekidmat mungkin.
Setelahnya Bapak menyalakan rokoknya dan mengepulkan keras-keras. Ia mengajakku bicara empat mata berhadap-hadapan. Darinya mengalir nasihat-nasihat kehidupan juga kisah-kisah para nabi. Ia berbicara panjang lebar dan tak ada hentinya kecuali mungkin aku menyelanya. Aku jadi jenuh dengan perkataannya yang panjang lebar dan tak biasa.
Aku disuruhnya pulang hanya untuk mendengar celotehan yang sudah sering kudengar di masa kecil. Dengan agak kurang sopan aku menyela.
“Pak, sebenarnya apa yang mau dibicarakan sampai saya harus pulang?”
Bapak mengisap rokoknya dalam-dalam, seolah itu hisapan yang terakhir. Aku tidak mengeluh kali ini meski aku benci sekali asap rokok.
“Apakah kamu percaya sama Bapak?” tanyanya.
“Yah,” jawabku ragu, tidak mengerti apa maksud Bapak bertanya begitu.
“Bapak tidak percaya kamu percaya sama Bapak”
Aku jadi bingung, “Saya percaya Bapak.”
Bapak terdiam agak lama dan menciptakan keheningan yang janggal di antara kami. Bapak hanya menatap kosong ke langit-langit rumah, membiarkan rokoknya memendek digerogoti ulat api di ujung. Hanya asap rokoknya yang bergerak kesana kemari di antara kami, seolah berusaha memancing komunikasi kami berdua. Lalu ia berkata tiba-tiba, tegas.
“Bapak yakin kamu anak shaleh dan selalu ingat bahwa Tuhan itu ada.” Ia terbatuk karena asap rokoknya sendiri lalu melanjutkan, “Dua hari yang lalu Bapak bermimpi bertemu Tuhan.”
Aku tersontak kaget. Pantatku jadi sakit karena terlompat. Mana mungkin? Pasti Bapak mengada-ngada. Mengalami mimpi bertemu Rasulullah saja sudah merupakan karunia luar biasa dan diperuntukkan hanya kepada hamba-hamba Allah yang tertentu, apalagi bertemu Tuhan. Apa wujudnya? Aku tak boleh bertanya demikian. Aku tidak percaya sedikit pun tapi aku diam saja.
“Terus?” tanyaku.
“Seperti halnya Nabi Ibrahim, Tuhan menyuruh Bapak menyembelih anak Bapak sendiri,” ujar Bapak tanpa ekspresi, memandang langit-langit.
Untuk kedua kalinya aku terlonjak, “Astagfirullah! Apa nggak salah dengar?”
Bapak mengangkat tangannya agar aku jangan menyela.
“Pasti Tuhan sedang menguji keikhlasan Bapak dalam beribadah. Tuhan menguji sejauh mana Bapak bisa bersabar atas apa yang Tuhan minta. Bapak tidak bisa mengelak. Selama ini Bapak hidup tanpa hambatan yang berarti. Harta banyak, kedudukan terhormat, keluarga sejahtera. Rupanya tidak cukup hanya dibalas dengan ibadah dan rasa syukur kepada Tuhan. Bapak harus memenuhinya.”
“Tapi Pak… bagaimana mungkin? Itu kan cuma mimpi,” kataku spontan.
“Kamu percaya sama Bapak?” tanyanya.
“Eh..ya..” Agak menyesal kukatakan ini.
“Begitulah Tuhan menyampaikan kepadaku.”
“Tapi bagaimana Bapak yakin Bapak mimpi begitu? Mungkin hanya halusinasi—”
“Bukan, bukan halusinasi. Ini benar-benar mimpi. Maksudnya mimpi yang nyata.”
“Saya kira mimpi itu ada tiga. Mimpi dari Allah, mimpi dari setan, dan mimpi biasa. Yang terakhir semacam tidur lelap karena kekenyangan. Tapi saya tidak tahu apakah Bapak bisa menentukan mimpi itu dari Tuhan atau dari setan.”
Bapak tersinggung, ia mengencerkan tenggorokannya sambi berpaling dariku.
“Le, Bapak yakin sekali mimpi ini dari Tuhan. Dari Allah. Seolah-olah malaikat Jibril masuk ke dalam mimpi Bapak lalu mengajak Bapak ke depan arsy Tuhan di langit ke tujuh. Maha Besar. Perjalanan yang panjang. Melelahkan tapi asyik. Mau kuceritakan?”
Aku menggeleng lemah. Ini sudah kelewat batas. Tapi aku kaget hal-hal yang merusak aqidah seperti ini menyentuh Bapak. Aku takut tiba-tiba ia mengaku-ngaku diutus sebagai Nabi. Bisa jadi ia akan punya pengikut seperti halnya Ahmadiyah. Ini bisa menjadi aib keluarga dan aku bakal malu berat. Aku harus menyadarkan Bapak, apapun caranya.
“Bapak yakin kalau Bapak disuruh nyembelih anak sendiri?” tanyaku takut-takut.
Bapak mengangguk takzim.
“Sebenarnya bisa saja Bapak memilih satu di antara adik-adikmu tapi adikmu perempuan semua. Bapak orangnya tidak tega melukai mahluk Tuhan yang namanya perempuan. Hanya kamu sendiri yang laki-laki. Lagipula kamulah yang Bapak rasa paling bisa menerima tugas ini dengan lapang dada. ”
Lapang dada! Ah, aku masih ingin hidup seribu tahun lagi. Kuraba dadaku. Rasanya sesak dan perutku mulas sekali.
“Tapi Pak…. Untuk apa Tuhan meminta hal seperti itu kepada mahluk ciptaan-Nya? Ini menyalahi Asma’ul Husna. Allah Maha Berdiri Sendiri. Allah tidak butuh sesuatu pada mahluknya. Manusialah yang selalu butuh Allah untuk bisa hidup meski mereka tidak pernah menyadarinya. Dan Bapak sendiri, aku juga—semua—hanya manusia biasa.”
Bapak tertawa terkekeh-kekeh mendengar perkataanku. Aku merasa akan kalah. Dikepulkannya asap rokok menjadi lingkaran-lingkaran asap yang menawan. Perhatianku teralih namun sekejap kembali pada tempatnya.
“Lalu bagaimana dengan Nabi Ibrahim? Mengapa Tuhan meminta hal seperti itu kepada Nabi-Nya? Itulah Ibadah. Perintah Allah. Dan Bapak pun menerima hal yang serupa.”
Telingaku serasa terkulai.
“Tapi Bapak bukan Nabi. Muhammad adalah Nabi terakhir,” kataku tegas.
Bapak memperlihatkan mimik tersinggung lagi. Aku jadi malu di hadapannya, sedikit nyengir mau minta maaf.
“Memang. Bapak bukan Nabi tapi hanya manusia biasa yang dikaruniai hidayah-Nya sehingga bisa seperti sekarang.”
“Tapi mengapa Tuhan memberikan tugas itu kepada Bapak kalau Bapak manusia biasa, bukannya Nabi atau bahkan orang saleh?”
“Kamu menilai Bapak bukan orang saleh?” tanya Bapakku agak keras lalu kemudian ia jadi salah tingkah begitu juga aku.
“Apa kamu percaya selama ini Bapak beribadah bukan atas dasar riya? Tidak untuk menarik perhatian orang lain supaya jatuh hormat pada Bapak?” tanya Bapak.
“Ya… tentu. Bapak orang saleh,” kataku mengalah.
“Begitulah,” kata Bapak seraya mematikan rokoknya yang sudah pendek sekali, “Bapak mau melakukan tugas itu malam ini.”
Jantungku berdegup dan bisa kurasakan wajahku memucat meski aku tidak bisa melihatnya.
“Tunggu dulu! Bapak jangan bikin sensasi,” kataku marah.
“Ini bukan sensasi. Ini misi Tuhan, dari Allah,” Bapak ikut marah
Hilang sudah rasa hormatku pada Bapak. Rupanya sikap takabur sudah menggerogoti otak kanan Bapak sehingga penuh dengan khayalan seperti ini.
“No…no…no… Aku masih ingin hidup,” elakku.
“Ah, Tole… Kamu tidak akan mati. Bukankah Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang? Allah akan menggantikan dirimu dengan seekor kambing gemuk yang nanti kita jadikan gulai untuk dimakan sekeluarga.”
“Kalau begitu beli saja kambing lalu sembelih, itu sama saja.”
“Uh oh, tentu saja berbeda. Keikhlasanku diuji ketika detik-detik terakhir aku memutuskan urat-uratmumu. Saat pisau yang tajam bersentuhan dengan kulit lehermu. Kalau kambing sih, Bapak tidak punya kendala. Tinggal tebas, masak, makan. Itulah bedanya. Aku akan diuji apakah aku sanggup menyembelih anakku sendiri atas dasar perintah Tuhan. ”
“Aku tidak ikhlas, Pak. Dalam kisah Nabi Ibrahim, putranya Ismail ikhlas untuk disembelih. Sedangkan aku tidak ikhlas. Berarti acara sembelihan Bapak jadi tidak afdhal dong. Lebih baik sudahi saja, jangan dilakukan. Saya mau tidur dulu, Pak.”
Bapak menahanku.
“Ha..ha…ha… Yang diuji itu Bapakmu ini, bukan kamu. Entah kamu ikhlas atau tidak Bapak peduli apa? Tuhan tidak menitipkan pesan apa pun untuk kamu. Bapak cuma minta kesediaanmu untuk Bapak sembelih.”
“Oh… saya tidak bersedia,” kataku gemetar.
“Bapak memaksa, Tole.”
“Saya tidak mau.”
“Harus. Kamu harus—.”
“Tidak mau. Sadar, Pak, sadar…”
“Dengar dulu—.”
“Cukup!”
“Ini ibadah.”
“Salah, ini pembunuhan.”
“Kamu jangan ngeyel.”
“Wah, bukan gitu Pak. Saya cuma…”
“Tapi Bapak harus melaksakannya”
“Pak…”
“Malam ini.”
“Tidak! Saya tidak mau. Ini edan.”
“Kita bakal dapat pahala, lho.”
“Bapak sudah keblinger!”
“Meski dengan kekerasan, kali ini.”
“Aduh, jangan Pak! Gila!”
Akhirnya sambil tersenyum tulus Bapak mengeluarkan pisau besar semacam parang dari balik sarungnya. Pisau itu sudah terasah tajam dan mengkilap menyilaukan mataku. Bapak berdiri, mengucapkan basmalah, dan bersiap-siap memegang leherku. Aku hampir lengah.
“Sini kamu.”
“Tiidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!!”
Tapi itu sudah berlalu satu tahun yang lalu. Keluarga dan tetanggaku menyelamatkanku tepat pada waktunya. Akhirnya Bapak dideportasi dari rumah dan diungsikan ke Rumah Sakit Jiwa. Aku sudah diwisuda, bekerja, menikah dan kini tinggal bersama ibuku yang kecewa berat Bapak jadi gila. Nuning juga sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya. Untuk beberapa waktu, keluargaku menjadi bahan gunjingan di masyarakat. Meski demikian orang-orang yang dulu mengenal Bapak masih menaruh hormat pada keluargaku.
Aku membayar mahal seorang psikiater profesional untuk mengawasinya namun laporan setiap bulannya tidak banyak mengalami kemajuan. Kata si psikiater, Bapak bersikap seperti orang normal bahkan kelewat saleh. Setiap sepertiga malam ia selalu shalat sampai subuh. Bapak masih selalu berpuasa Senin Kamis dan masih melantunkan ayat Al Quran dengan fasih. Juga mendakwahi setiap pasien di sana, mengajak-ajak dalam kebajikan, yang tentu saja takkan berhasil. Si psikiater curiga itu hanya akal-akalan agar dia dinyatakan sembuh namun niat untuk membunuhku masih ada.
Aku jadi bimbang sendiri. Aku ragu jika Bapak tidak gila, menduga-duga mungkin mimpi itu benar dari Tuhan dan aku memang harus disembelihnya. Apakah ini berarti aku mengabaikan Tuhan? Jika Bapak memang benar bermimpi demikian dan mimpi itu memang dari Tuhan maka aku orang yang berdosa. Aku menjadi merasa bersalah pada Bapak.
Sejenak timbul niat untuk memulangkan Bapak karena mungkin Bapak memang tidak gila. Tapi pastinya Ibu dan adik-adikku tidak akan menerimanya lagi. Mungkin trauma mengingat-ingat bagaimana Bapak mengejarku di jalanan dengan pisau besar terasah tajam dan mengkilat sambil bertakbir. Aku juga ragu mimpi Bapak tidak relevan untuk zaman sekarang.
Lalu bagaimana dengan Ismail putra Ibrahim? Mengapa ia tidak ragu bahwa mimpi ayahnya dari Tuhan? Mengapa ia mau menerimanya begitu saja? Karena ia punya iman yang kuat. Ia percaya bahwa Tuhan itu ada. Ia percaya ayahnya selalu beribadah dengan ikhlas kepada Tuhan. Ia percaya mimpi ayahnya itu tidak salah. Ia percaya bukan karena ia bodoh tapi karena imannya yang terang benderang. Sungguh aku merasa menjadi manusia paling berdosa dan tak punya iman sama sekali. Dan hal penting kedua ialah ia ikhlas untuk disembelih.
Bagaimanapun juga, orang-orang zaman sekarang takkan bisa menerima. Siapapun itu.
Yang jelas, aku bukan Ismail.
by;piko aguno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar