Kamis, 30 September 2010

a fish called wanda

Hobinya memancing ikan. Bahkan tidak hanya sekedar hobi tapi sudah menjadi dunianya. Tak bakal ia mau lewatkan barang seharipun untuk tidak memancing. Seluruh tubuhnya akan merasakan sakit yang tak bisa terdeteksi secara fisik bila ia tak pergi memancing. Kalau sudah begitu kejadiannya maka seluruh obat di apotek takkan bisa menyembuhkannya, kecuali; pergi memancing. Sebuah dunia yang sudah melekat dalam dirinya.
Entah sejak kapan ia mulai menggemari hal itu, tak ada yang tahu pasti. Bahkan ia pun tidak. Almarhum ayahnya pun tak suka memancing, begitu juga dengan kakak-kakaknya. Bagi mereka, memancing itu pekerjaan yang tak ada gunanya dan menghabiskan waktu tidak dengan melakukan hal yang produktif. Kalau dilihat dari sudut ini berarti hobi memancingnya bukanlah bakat genetik.
O iya, hampir aku lupa. Tokoh utama yang aku ceritakan ini adalah seorang pemancing ikan yang bernama Boy. Namanya serupa denganku, tapi ia bukan diriku. Karena untukku, memancing itu melelahkan tanpa melakukan apa-apa. Dan itu menyiksa. Tapi tidak demikian dengan si Boy pemancing ini, baginya memancing itu melatih mental dan menguji strategi. Seperti catur, namun bidak-bidaknya adalah diri si pemancing itu sendiri. Bahkan, dalam kalimat filosofis, Tuhan itu Maha Pemancing sedangkan manusia adalah umpan sekaligus ikan itu sendiri. Kalau sudah berbicara seperti itu biasanya aku hanya manggut-manggut mencoba memahami walau aku sendiri tak pernah mengerti makna kata-katanya.

Ngomong-ngomong soal kata-kata, si Boy ini memiliki gudang kata yang tak terbatas. Cobalah sekali waktu kau temani ia memancing, maka tak kan terasa waktu yang ada karena sepanjang waktu mulutnya akan terus meluncurkan kalimat apa saja untuk menjadi bahan pembicaraan. Ia menguasai topik apapun, dari yang remeh sampai yang aneh, dari yang lokal sampai yang global. Semuanya akan ia kupas habis-habisan sampai kita merasa topik itu sudah tuntas dan ia akan melanjutkan dengan topik yang baru.
Dulu ia pernah menikahi seorang gadis yang terpikat dengan kata-katanya. Tapi baru tiga bulan mereka sudah bercerai, karena istrinya merasa ia dimadu dan istri sejatinya adalah memancing. Bagi Boy, ini hal yang paling sulit aku mengerti, lebih baik bercerai dengan istri daripada bercerai dengan diri sendiri. Aneh.

Sampai suatu hari aku merasakan hal yang paling aneh dari seluruh keanehannya. Ia berjalan dengan kepala menunduk dan mulut terkatup. Bagiku ini sangat aneh. Ia sedang sedih. Padahal ketika dulu ayahnya meninggalpun ia tidak sedih (itu yang terlihat), atau ketika bercerai pun ia tidak sedih karena obat bagi kesedihannya adalah hanya memancing. Tapi kali ini ia benar-benar sedih, sapaanku pun tak dijawabnya. Ia terus melangkah tanpa suara. Benar-benar aneh.
Aku penasaran. Kutanyakan pada teman-teman memancingnya, mereka tak tahu. Tapi ada seorang bocah yang menunjukkan danau tempat Boy biasa memancing kini telah berubah menjadi proyek pertokoan kelas atas. Tapi itu kan cuma sebuah danau, toh ia masih bisa memancing di laut. Namun para nelayan mengabarkan bahwa laut telah tercemar limbah minyak dan radioaktif, akibatnya semua ikan pada mati dan semua nelayan ganti profesi.

Ooooh, jadi itulah penyebab kesedihannya, aku tahu sekarang. Aku pun segera pergi menyusul Boy ke rumahnya untuk mengusir duka hatinya. Telah terbayangkan olehku untuk mengajaknya mencari lokasi pemancingan dimanapun tempatnya. Karena diamnya ia menghilangkan keseimbangan dunia. Wuah, sepertinya aku sudah jauh terpengaruhi oleh pikiran-pikirannya. Tapi, jujur saja, aku kesepian kalau ia tak bersuara.

Sesampai di rumahnya aku terkejut. Ini lebih aneh dari hal yang paling aneh dari segala keanehan dirinya. Dalam sehari ini aku sudah dikejutkan dua kali olehnya. Aku melihat Boy sedang memancing, di televisi. Ini bukan berarti gambarnya ada di dalam televisi dan sedang memancing, tetapi ia duduk di depan televisi yang bagian atasnya ia lepas dan memasukkan pancingannya ke dalam kotak televisi yang masih menyala. Ini benar-benar sangat aneh.
“Tadi aku coba menghibur diri, dengan menonton televisi. Tapi isinya hanya berita-berita modernisasi yang membuat peradaban mati. Laut tercemar merkuri, ikan-ikan mati, sawah dibeli, proyek jadi tradisi. Aku keki. Paras jelita si penyiar yang menyelamatkanku dari sakit hati. Tapi lama kelamaan wajah Wanda, si penyiar itu, meluntur dan berubah menjadi ikan. TV-ku menjadi akuarium dengan ikan-ikan di dalamnya. Ya sudah, aku nemancing di sini saja. Kau mau ikutan?”
Absurd, sungguh absurd dan tawarannya tak kuhiraukan karena kini di mataku bayangan dirinya pelan-pelan meluntur dan kami tiba-tiba merasa menjadi ikan-ikan di sebuah akuarium yang maha besar.

by;bomb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar