Katanya—menurut cerita yang turun temurun—dulu, semua orang di kampung ini tidak ada yang suka sampah. Muka mereka sudah pasti dibuang kalau lewat dekat-dekat tumpukan sampah. Hidung segera disumbat dengan sapu tangan atau dipencet dengan telunjuk dan ibu jari, agar bau busuk sampah tak menusuk. Ludah pun kadang muncrat sebagai ekspresi ketidaksukaan terhadap sampah. Pokoknya tidak ada sampah kecuali di tempat sampah. Sampah selalu dibakar setiap saat. Lingkungan kampung menjadi steril dari sampah.Pernah seorang ibu mendamprat anaknya gara-gara sang anak menumpuk bungkus rokok sebagi hiasan di rumahnya.
“Ya ampuuun…jorok sekali kamu!! Masak sampah ditumpuk di sini. Sampah…tempatnya ya di tempat sampah. Bukan di rumah kita. Cepat buang sampah-sampah ini ke tempat sampah. Jangan sampai rumah kita jadi tempat sampah!!” Si anak pun segera menuruti titah sang Ibu. Menempatkan sampah di tempat pembuangan sampah.
Konon juga, puluhan tahun sebelumnya lagi, kampung ini pernah diamuk banjir gara-gara sungai yang membelahnya meluap saat musim hujan. Beberapa gubuk hanyut dilahap air. Rumah-rumah tergenang air. Padi keemasan yang pernah menabur mimpi indah di imaji petani pun lenyap ditelan air bah. Berbagai penyakit seperti ditabur dari langit. Malaria dan disentri semakin menyukseskan program bencana alam. Ujung-ujungnya, bencana ini ternyata juga disebabkan sampah yang mengendap di dasar sungai. Membuatnya dangkal. Tak mampu menampung aliran air saat turun hujan dengan derasnya, meluber ke sekitaran sungai, menyuplai bencana bernamakan banjir.
Karena bencana ini, Pak Lurah ketika itu berinisiatif untuk mengadakan Gerakan Anti Sampah yang kemudian disingkat GAS. Berbagai cara dilakukan untuk memperlancar program ini. Dengan menempel tulisan-tulisan seruan di tempat strategis ‘SAMPAH MUSUH KITA’, ‘CINTA SAMPAH = CINTA BENCANA’, ‘AWAS!! SAMPAH!!!’, ‘KAWASAN BEBAS SAMPAH’ dan masih banyak tulisan senada yang biasa terlihat di tepi jalan dan sudut-sudut pasar kampung. Ada juga beberapa pemuda yang menyablon kaos mereka dengan tulisan-tersebut atau mencetaknya menjadi stiker yang bisa ditempel di depan pintu rumah-rumah penduduk. Penyuluhan dilaksanakan dengan gencar agar para penduduk tidak suka melihat sampah.
“Saudara-saudara…sampah itu sumber malapetaka. Sumber penyakit. Makanya, jangan biarkan sampah berkeliaran di depan mata kita. Enyahkan sampah!! Bakar sampah!! Bebaskan kampung kita dari sampah!!” kata seorang penyuluh yang khusus didatangkan dari Dinas Kebersiahan Lingkungan (DIKERLING) dari kota dengan muka berapi-api. Semua hadirin mendengarkan penyuluhan itu dengan seksama, sambil berikrar dalam hati ‘akan menjadikan kampung ini terbebas dari sampah.”
Konon juga, setelah itu kampungku benar-benar terbebas dari sampah. Penyakit yang diakibatkan sampah tak lagi menghantui kehidupan warga. Jalan-jalan menjadi bersih. Pemandangan menjadi asri. Suasana menjadi sejuk. Pertanian menjadi sukses. Semuanya menjadi lancar.
***
Tapi beberapa hari terakhir ini aku mulai resah dengan kampungku sendiri. Ada fenomena yang aneh tampak dari perilaku warganya. Sangat kontras dengan cerita yang konon dan katanya itu. Sampah kini memenuhi setiap pemandangan. Jalan-jalan. Rumah-rumah. Pasar. Kantor kelurahan juga.
Ibu-ibu tak lagi melarang anak-anaknya untuk tidak bermain-main sampah. Bahkan, ada beberapa ibu yang memomong anak kecilnya di tempat sampah. Membiarkannya mengunyah-ngunyah sampah lalu menelannya. Membiarkannya berguling-guling dan menyusup di atas tumpukan sampah. Seakan sampah itu telah menjelma ibunya, dan si kecil sedang menyusup di antara ketiak atau dua buah payudaranya. Anehnya lagi, tiba-tiba ibu-ibu itu ikut berguling-guling di atas sampah. Ada yang bergumam,
“Enaknya…menjadi sampah di zaman ini, aku ingin kelak anak-anakku kelak menjadi sampah.”
Bapak-bapak juga kerap kali mengajak anak-anaknya mengunjungi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah kota yang terletak di kampung sebelah. Ia bangga kalau anaknya dapat mengenal sampah kota. Lalu menyuruhnya untuk menjilatinya.
“Biar kamu dapat berkah,” katanya.
Aku bahkan sempat mengusap dada ketika melintas di depan sebuah gubuk seorang tetangga dan mendengar seorang bapak menasihati anaknya.
“Nak…!! Sekolah ya sekolah. Tapi harus banyak bergaul dengan sampah-sampah. Atau kalau perlu kamu harus menjelma sampah. Sebab belajar setinggi apapun, tak akan membuatmu sukses kalau tidak kenal baik dan akrab dengan sampah.” Ah…orang tua gila, pikirku. Pasti otaknya tak waras!! Sinting!!
Lebih terkejut lagi, ketika saat yang lain aku lewat belakang sebuah SD, kudengar Ibu Guru sedang berkata kepada anak didiknya, “Menjadi sampah adalah pangkal kesuksesan. Ayo bilang bersama-sama!!”
“Menjadi sampah adalah pangkal kesuksesan,” demikian murid-murid menirukan perkataan Ibu Gurunya.
Edan!! Pelajaran apa itu?!!
***
“Mas…bangun!!” Suara istriku yang lembut itu menyapa telingaku pagi ini. Suara lembut itu yang dulu selalu mengisi ruang telingaku saat usiaku menginjak dua puluhan.
Kutatap mukanya. Dia masih cantik, tak banyak berubah. Muka itu yang membuat aku dulu mabuk kepayang kepadanya. Mukanya sudah tampak segar, menyaingi kesegaran pagi ini.
“Mas…bangun dulu! Ada undangan dari Pak Lurah. Semua warga diminta berkumpul di balai kelurahan pagi ini.”
“Jam berapa?”
“Tujuh”
“Sekarang jam berapa?”
“Setengah tujuh lewat lima”
“Memangnya ada apa??”
“Entah!”
“Kok tumben ya?!”
“Gak tahu!!”
“Baiklah aku cuci muka dulu, tunggu sebentar!!”
Aku segera bergegas ke belakang. Mencuci muka dengan air yang mengalir. Wah…airnya mulai berwarna pekat dan berbau busuk. Pasti ini karena sampah-sampah yang dibuang warga ke sumur umum. Air di sini tidak segar lagi.
Selesai mencuci muka, aku keluar dan segera mengajak istriku berangkat.
Kami berjalan menyisiri jalan-jalan kampung yang mulai penuh dengan sampah-sampah. Kotor. Beberapa warga tampak berjalan beriring-iringan di depan dan belakangku. Sama-sama menuju balai kelurahan.
Tanpa terasa aku dan istriku sudah sampai di balai kelurahan. Kami pun segera memasukinya.
Suasana di dalam balai begitu riuh. Asap rokok menyembur dari mulut beberapa laki-laki, bergerombol di udara, sebelum kemudian menyebar, menipis dan memenuhi ruangan. Pengap pun semakin terasa.
“Jam berapa Bang?” tanyaku pada warga yang kebetulan duduk di sampingku.
Ia melirikku, lalu menatap arloji di tangannya.
“Delapan kurang tujuh.”
“Walaah…katanya jam tujuh.”
“Biasa, molor sedikit, kayak nggak tahu saja.”
Aku alihkan pandanganku ke depan. Pak Lurah telah berdiri di atas podium. Matanya menyapu seluruh ruangan. Mulut-mulut warga yang mulai tadi mengeluarkan suara gaduh, kini mulai terkunci.
“Saudara-saudara, warga kelurahan X yang saya hormati. Saya tahu, saudara sekalian banyak kesibukan di pagi ini. Tapi demi hal yang sangat penting, terpaksa saya mengumpulkan saudara sekalian di balai ini.” Pak Lurah berhenti sebentar, membetulkan kacamatanya.
“Ada apa ya Mas?” Kata istriku sambil melihatku.
“Mana kutahu.”
“Saudara sekalian, saya tahu saudara sekalian sangat cinta sampah. Saudara-saudara suka menjilati sampah. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya akan mengumumkan pengangkatan aparat kelurahan yang baru, yang semuanya adalah penjelmaan dari sampah-sampah. Jadi kantor kelurahan ini akan dipenuhi oleh sampah-sampah pilihan.”
“Bagus!! Pak Lurah,” teriak seorang pemuda di pojok belakang, sambil setengah berdiri malu-malu.
“Ya terimakasih!!”
“Itu yang kami harapkan.”
“Baiklah,” lanjut Pak Lurah, “untuk menyingkat waktu, langsung saja saya perkenalkan satu persatu. Bagi yang saya sebut namanya harap maju dan berdiri di depan saya.”
Pak Lurah diam. Tangannya meraba sakunya, mengeluarkan secarik kertas.
“Sekretaris Lurah Nak Bangkai, harap maju!”
Seorang laki-laki muda dengan muka bersih dan baju rapi maju ke depan Pak Lurah. Ia tersenyum. Tepuk tangan menggema.
“Saudara-saudara, Nak Bangkai ini alumni luar negeri. Jadi kalau masalah ilmu, dia itu jagonya. Kalau soal koneksi dan negoisasi, dia bisa rajanya. Semua pasti lancar!”
Tepuk tangan bergemuruh. Pemuda itu masih tersenyum.
“Selanjutnya Pak Buah Busuk sebagai Bendahara Lurah, Nasi Basi sebagai Pembantu Umum.”
Yang disebut namanya segera maju. Menebar senyum. Sama dengan sebelumnya.
“Demikian tadi aparat saya yang baru. Silahkan saudara sekalian mengucapkan selamat pada mereka!”
Aku dan istriku diam saja. Sementara warga yang lain merangsek maju. Tapi mereka bukannya mengucapkan selamat, tapi menjilat-jilat Pak Lurah dan aparat yang baru diperkenalkan itu. Menjilat-jilat kakinya. Tangannya. Pantatnya. Dengkulnya. Sekujur tubuhnya.
Aneh, tiba-tiba tubuh Pak Lurah menjadi tong sampah yang sangat kotor. Aparat-aparat barunya menjelma sesuai dengan namanya: Bangkai, Buah Busuk dan Nasi Basi. Orang-orang masih berebut giliran untuk menjilati orang-orang yang telah menjelma sampah itu. Satu-satu, mereka pun mulai berubah menjadi sampah juga. Daun busuk. Kardus busuk. Kayu lapuk. Tong bekas. Plastik bekas.
“Mas…aku takut!!”
“Edan!! Ayo kita pergi saja!!”
Aku dekap istriku yang mulai gemetaran. Bergegas membawanya ke luar balai.
“Siapa yang tak mau menjilati kami, akan kami hisap darahnya sampai mati.” Tiba-tiba terdengar suara tong sampah penjelmaan Pak Lurah menggelegar.
“Mas…bagaimana?”
“Jangan!! Jangan ikut-ikutan mereka.”
“Tapi, aku takut.”
“Biar kita mati, asal jangan menjilat sampah.”
“Mas…aku takuut!”
“Jangan ta…”
Belum sempat aku selesaikan kata-kataku, istriku sudah lepas dari dekapanku. Maju. Ikut merangsek ke depan. Berebut kesempatan menjilat sampah-sampah.
Dengan susah payah kulihat istriku berhasil melaksanakan niatnya. Menjilat sampah-sampah itu satu-satu, bergiliran. Ia kemudian melihat ke arahku. Tersenyum. Tapi, apa itu di balik senyumnya? Taring! Ya…ia bertaring.
“Kurang ajar!! Apa yang kau lakukan kepada istriku, Lurah tengik!! Kubunuh kau!!” aku berlari menyeruak ke depan. Akan kubasmi sampah-sampah itu.
Tiba-tiba aku terpental di atas lantai. Ada yang begitu keras menghalangi langkahku dan sekarang menindihku. Aku terlentang di atas lantai. Sebelum aku sadari semua yang terjadi, aku merasa ada yang menggigit pangkal leherku. Menghisap habis darahku. Lalu melepaskannya.
Kubuka mataku. Kulihat istriku yang sedang duduk di atas perutku. Tersenyum dengan darah masih menetes-netes dari mulutnya yang kini bertaring.
“Yun…Kau…??”
Semua gelap. Aku tak ingat apa-apa.
by;achmad darwis sutejo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar