Sebuah kamar berbaris rapi di antara kamar lainnya. Kamar berukuran kecil ini berisi dua buah ranjang yang berukuran kecil pula di kedua sisinya. Semua yang ada di dalamnya berwarna putih bersih. Mulai dari dinding, lantai, seprai, selimut, bantal. Kecuali meja kayu kecil dengan kursinya yang ditempatkan tepat di samping masing-masing ranjang. Tak ada lemari pakaian atau cermin apalagi meja rias. Karena penghuni di dalamnya tak perlu merias wajah. Pakaian yang dipakai tiap hari pun akan diantarkan setiap paginya oleh seorang wanita berpakaian serba putih dan berwajah bosan. Sang penghuni tak bisa memilih pakaian apa yang ingin dia kenakan. Pakaian mereka akan selalu sama setiap hari. Seprai dan sarung bantalnya akan diganti setiap dua hari sekali dengan ganti yang sama persis.
Kamar yang satu ini berbeda dari yang lainnya. Bukan karena isinya yang istimewa, isinya sama saja, tetapi penghuni kamarnya yang istimewa. Dikatakan istimewa karena penghuni yang satu ini mendapatkan pelayanan yang berbeda. Dua buah pil berwarna merah dan biru ditelannya tiga kali sehari. Setiap pukul 7 pagi, 1 siang, dan 7 malam. Sedangkan penghuni kamar lain hanya menelannya dua kali saja. Para wanita berpakaian serba putih akan mencari peliharaannya masing-masing dan meminta mereka menelan pil tersebut, sedikit memaksa kalau perlu. Sehabis makan pagi dan sebelum tidur. Khusus si penghuni istimewa, tambahan setelah makan siang.
Maya membuka matanya perlahan. Dia tersadar dari alam mimpinya kembali ke kehidupan nyatanya. Sebuah ruangan kecil berwarna serba putih. Dia bangun dan duduk disisi ranjangnya. Masih mengantuk dan pandangannya masih kabur. Ketika matanya sudah bisa melihat dengan jelas. Duduk seorang wanita cantik tepat di hadapannya. Si wanita cantik memandangi dirinya di ranjang satunya lagi. Teman sekamarnya. Teman sama gilanya. Daya.
Daya, wanita yang sama mudanya dengan Maya ini jelas terlihat sangat cantik dengan tubuhnya yang langsing dan kulitnya yang putih mulus. Kecuali potongan rambutnya yang pendek dan sorot matanya yang tajam yang menonjolkan kemaskulinannya. Berbeda sekali dengan Maya. Tubuhnya kurus, matanya sayu, wajahnya yang tidak cantik, kulitnya putih namun tak semulus Daya. Rambut panjang sebahunya yang membuat perbedaan antara Maya dan Daya sangat kentara. Namun satu yang pasti yang membuat mereka berdua sama, sama-sama tidak waras.
Daya, entah pengaruh gilanya atau memang memuja teman sekamarnya ini. Dia selalu melihat Maya seperti sedang memandangi sebuah berlian dengan keindahan kilaunya. Padahal sudah tujuh tahun mereka tinggal sekamar. Daya memang sangat mencintai Maya.
Suatu ketika saat makan siang. Seorang wanita gila yang sudah biasa membuat onar, tiba-tiba mendorong Maya sampai terjatuh. Menumpahkan makanan Maya tepat di mukanya. Maya menangis. Namun Daya tak akan membiarkan wanita sinting pembuat onar ini membuat Maya menangis. Daya balas mendorongnya sampai si wanita jatuh terlentang. Daya menjambak rambutnya, menggusurnya, membanting kepala si wanita ke tembok, mencekiknya tanpa ampun. Daya hanya bisa dihentikan oleh tiga orang perawat gemuk-gemuk yang berusaha susah payah untuk memisahkan Daya dari si wanita pembuat onar.
Namun itu kejadian dua tahun pertama mereka di rumah sakit jiwa ini. Setelah kejadian itu Daya lebih menahan emosinya. Dia tahu tindakannya itu malah memberatkan Maya karena membuat Maya dijauhi oleh pasien-pasien yang lain. Tingkah seperti itu pula yang akan membuatnya dikurung lebih lama di tempat sialan ini.
Sudah tujuh tahun lamanya mereka bersama dan lima tahun Daya telah berhasil memperbaiki kelakuannya. Namun orang-orang waras belum menganggap mereka cukup layak untuk dibebaskan dari rumah hunian orang-orang sinting ini.
***
Daya masih tetap memandangi Maya lama dan dalam. Namun Maya tak heran dan tak risih dengan kelakuan teman sekamarnya ini.
“Tahukah kamu kita memiliki mata yang sama, Maya? Mata kita sama-sama berwarna coklat dan besar.”
Maya tak menghiraukannya. Dia malah berulang-ulang kali menempelkan telapak kakinya bergantian di lantai dan mengangkatnya lagi karena tak tahan dingin. Hari masih pagi buta.
Sudah biasa Maya tidak mengacuhkan Daya. Namun Daya tetap gigih. Dia malah terus menanyai Maya. Pertanyaan yang sama yang dia utarakan tiap hari. Menanyakan alasan kenapa Maya ada di kamar ini bersamanya. Namun dia sebenarnya sekedar menguji karena Maya akan memberikan jawaban yang sama untuk pertanyaan ini.
“Aku tak ingat.”
Tiga kata itu yang akan dia ucapkan selalu. Daya hanya memberikan balasan senyuman misteriusnya atas jawaban Maya.
Jika Maya tak ingat kenapa dia berada di sini, Daya hafal betul kenapa dirinya berada di sini, divonis gila, dikurung sudah tujuh tahun lamanya. Walaupun tak diminta bercerita, Daya akan selalu mengulangnya lagi dan lagi setiap hari kepada Maya. Seolah Maya adalah nenek tua pikun yang akan lupa apa yang telah diceritakan kepadanya di hari kemarin.
Daya akan menghapus wajah cantiknya jika dia mulai bercerita tentang kisah tragisnya ini. Kisah favoritnya. Bagian hidupnya yang tak akan bisa dimusnahkan dengan mantra apapun oleh para ahli jiwa mana pun.
Hatinya tak membatu seperti ini dulu. Daya sama seperti anak gadis lainnya. Dia senang mengepang rambut panjangnya. Bermain boneka dengan kakak perpempuannya atau memberantaki rumah dengan peralatan masak-masakannya yang tak cukup dimasukan dalam satu karung besar.
Ibunya yang sangat sayang padanya selalu memanjakan. Sampai mereka harus berpisah, berpisah selamanya. Daya dan kakak perempuan satu-satunya tinggal bersama dengan sang ayah yang tiap hari membanting tulang untuk menafkahi keluarga. Tak ada cukup waktu untuk sang ayah mencari istri baru. Sang kakak pun yang berbeda tujuh tahun dengan adik perempunnya ini harus pergi meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi di kota lain yang begitu jauh dari rumahnya. Saat itu pula Daya harus tinggal berdua dengan ayahnya.
Namun lelaki tetap lelaki. Ayah yang dulunya begitu mencintai keluarga. Namun rayuan setan begitu menggoda. Luluhlah hatinya. Sang ayah melirik putri bungsunya yang begitu mempesona di usia belia kesepuluhnya. Sang ayah rupanya jatuh hati. Suatu malam dia mengajak putri bungsunya untuk tidur bersama. Hujan begitu lebat alasannya. Putrinya mau saja karena dia sangat takut gelegar petir. Rencana sang ayah berhasil. Hasratnya yang lima tahun lebih dia tahan sepeninggalan istrinya sudah tak terbendung lagi. Putrinya pun jadi mangsanya malam itu dan malam-malam berikutnya.
Bocah sepuluh tahun tak akan mempermasalahkan masalah keperawanan karena dia tak mengerti apa artinya. Dia tak mengerti apa yang telah diperbuat ayahnya. Dia pun tak kuasa menolak paksaan ayahnya. Hampir setiap malam selama empat tahun kebejatan ayahnya berlangsung. Kecuali jika sang kakak pulang ke rumah. Namun dia tak berani bercerita karena sang ayah mengancam menggorok lehernya.
Hidupnya tak seceria seperti dulu saat bersama ibunya. Dia lebih senang menyendiri berusaha menjauhkan diri dari teman-temannya. Dia tak bisa ikut bercerita tentang acara teve semalam bersama teman-temannya karena harus melayani ayahnya. Dia pun tak mungkin menjadikan rutinitas bersama ayahnya sebagai bahan cerita karena memang tak layak kejadian seperti itu didengar bocah seumurannya. Dia mengurung hati dan jiwanya dalam ruangan yang tak bisa dijamah orang lain. Dia diam tapi jiwanya terluka dan akan menggila jika akalnya tak kuat lagi menahannya. Empat tahun menderita sudah cukup untuk membuatnya gila.
Hingga suatu malam ketika kakaknya bermalam di rumah. Rumah sudah sunyi. Sang ayah tertidur lelap. Kakaknya lebih pulas lagi karena lelah baru tiba dari perjalanannya yang panjang. Namun gadis malang ini tak pernah tenang di setiap malamnya. Selalu terjaga, bersiaga. Malam ini otaknya telah membuat rencana. Pintu hatinya telah dia tutup. Tak akan ada belas kasihan lagi tersisa. Tak ada cinta untuk ayahnya malam ini. Bencinya sudah tak terbendung. Tangannya dengan erat dan pasti menggiring pisau yang akan menjadi alat pembunuh ayahnya menuju kamar sang ayah. Dia pun tak ragu menghujamkannya tepat di dada kiri sang ayah, tepat di jantungnya. Dia benar-benar memperhatikan saat guru biologinya menerangkan anatomi tubuh. Dari sana dia tahu pisau yang dihujamkannya di organ vital itu akan langsung membunuh sang ayah. Rencananya berhasil.
***
Di kamar kecil serba putih inilah si gadis malang itu berakhir. Bukan di penjara. Pengadilan memutuskan dia gila.
Daya masih bercerita dengan begitu membara. Sedangkan Maya sekuat tenaga menutup telinga sambil memejamkan mata. Walaupun telinga ditutup, suara Daya yang menggelegar penuh dendam tetap terdengar. Daya memang lebih sinting dari Maya. Cerita mengerikan yang merupakan siksaan bagi Maya adalah hiburan sehari-hari baginya. Daya senang membuat Maya ketakutan dengan ceritanya. Dia merasa puas membuat Maya merasakan apa yang dideritanya waktu itu.
Seusai bercerita Daya akan bertanya lagi kepada Maya.
“Sekarang giliranmu. Ayolah, ceritakan alasan mengapa kamu berada disini.”
“Aku tak ingat, aku tak mau cerita.”
Hari ini seharusnya menjadi hari yang paling bahagia untuk Maya. Tujuh tahun dikurung bersama si sinting Daya akhirnya dia akan dibebaskan. Namun Daya tak mau melewatkan ritual penyiksaan di pagi hari untuk Maya dengan ceritanya itu. Walaupun ini di hari kemerdekaannya.
Maya pun sudah mengenakan baju istimewa yang diberikan perawatnya tadi malam. Saudaranya yang memberikannya sebuah gaun sederhana bergambar bunga berwarna-warni memenuhi seluruh bagiannya. Untuk pertama kalinya, hidupnya terasa berwarna kembali. Setengah jam lagi hidupnya akan terbebas dari kumpulan orang-orang tak waras ini.
Ahli jiwanya sudah tak menganggapnya gila lagi, dia sudah sembuh. Namun bagaimana dengan Daya, teman sekamarnya ini. Dia tak perduli. Yang dia butuhkan adalah sabar menanti seseorang yang akan menjemputnya hari ini. Kebebasannya di depan mata.
***
Penjemput Maya berjalan ditemani seorang perawat yang terbiasa mengurus Maya. Mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju kamar Maya. Terakhir dia menjenguk Maya adalah setahun yang lalu. Bekerja di negeri lain membuatnya tak bisa menjenguk Maya setiap saat. Dia sudah sangat rindu sekali. Tak ada keraguan lagi dalam hatinya untuk membawa Maya hidup bersamanya. Sebelumnya dia sudah berbicara dengan dokter yang menangani Maya.
“Saya sangat menyayangi Maya, dokter. Namun saya hanya ingin memastikan apakah dia sudah benar-benar boleh dibawa pulang?”
“Anda tidak perlu khawatir. Tujuh tahun disini telah membuatnya kembali normal. Dan saya yakin Maya sudah sembuh sepenuhnya.”
***
Maya mendengar suara langkah dua pasang sepatu di lorong. Dia pun berharap mereka adalah penjemputnya. Benar saja, seseorang mengetuk pintu kamarnya lalu pintu dibuka. Seorang perawat tua yang wajahnya sudah dikenal baik oleh Maya dan Daya masuk ke dalam kamar. Tak ada pil merah dan biru kali ini.
“Maya saudaramu datang menjemput. Kamu sudah siap?”
Sebelum Maya menjawab, orang yang tadi berniat menunggu di luar saja masuk ke dalam. Maya langsung bangkit memeluknya. Daya mengamatinya. Ketertarikannya sama seperti saat dia memandangi Maya. Maya dan saudaranya duduk bersebelahan. Daya tak bergeming di posisi duduknya semula dihadapan mereka. Dia terus mengamati dua orang di depannya.
“Kamu terlihat semakin kurus, Maya. Tapi tenang Kakak akan memberimu makanan yang banyak dan enak sesampainya di rumah.”
Maya membalasnya dengan senyuman lebar. Senyuman paling lebarnya selama tujuh tahun terakhirnya. Dia berpaling melihat Daya. Daya tersenyum iri. Kakaknya menengok ke arah Daya. Daya tersenyum kembali, kali ini dengan tulus.
“Baiklah Maya. Ayo kita berangkat sekarang.”
Mereka bangkit berdiri. Perawat yang menunggu di depan pintu membukakan pintu lebih lebar.
“Maria, tunggu.” Tiba-tiba Maya berkata setengah berteriak.
Maya menoleh ke belakang, melihat Daya yang tetap duduk di ranjangnya. Daya memberikan senyum misteriusnya sekarang.
“Kita berangkat sekarang Maya?” tanya Maria heran.
“Ya.”
Maria dan Maya berjalan keluar pintu kamar.
Daya akhirnya bangkit berdiri. Dia berjalan mengikuti Maya dan Maria dari belakang, keluar dari kamar kecil serba putih ini. Si perawat menutup pintu kamar.
“Akhirnya anda tidak akan tidur sendirian lagi, Maya. Sekarang anda bisa tinggal bahagia bersama Kakak anda. Tak akan kesepian lagi. Kamar ini mungkin akan kosong untuk waktu yang cukup lama.”
Maya tak menanggapi perkataan si perawat tua. Dia hanya tersenyum.
Maya melihat Daya yang berdiri di sampingnya. Daya masih tetap tersenyum. Kebebasan itu akhirnya didapatkannya
Maria, Maya dan Daya berjalan menyusuri lorong panjang. Meninggalkan si perawat tua yang kesulitan mengunci kamar yang sekarang tak berpenghuni. Macet rupanya.
Perawat tua dan dokter bodoh itu tak akan pernah tahu.
Maya tak bisa pergi dari Daya walaupun dia ingin.
Karena Daya akan selalu bersama Maya.
Karena Daya tak akan pernah melepaskan Maya.
Karena Daya adalah belahan jiwa Maya.
Karena Daya adalah Maya.
by;potta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar