Senin, 13 September 2010

setiamu termakan waktu

Kubuka jendela kamarku pagi itu, dapat kulihat jelas di kejauhan, di atas bukit, sebatang pohon Akasia yang mulai berguguran. Teringat aku pada Calista, teman sepermainanku saat kecil. Kami sering berlarian mengelilingi pohon itu, bermain menjadi pesawat dengan tangan terbentang, melompat, bercerita, bercanda. Hhh, tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Saat itu kulihat bola mata bulat Calista memerah, sepertinya habis menangis.

“Kamu kenapa, Ta?” tanyaku.

“Besok aku mau pindah ke Kalimantan,” kata Calista lalu kembali menangis.

Kurapatkan Calista dalam rangkulan tangan persahabatanku, lalu kubiarkannya menangis sepuas hatinya. Terus terang aku juga ingin menangis, tapi aku ini seorang pria, pantang untuk mengeluarkan airmata, begitu kata egoku.

“Aku sayang kamu, Ka. Aku nggak mau pisah dari kamu.”

Lalu kuambil sebuah paku dari rumah dan kuukir namamu dan namaku di batang pohon Akasia yang selama ini menyaksikan kita, mendengarkan kita, dan menemani kita.

“Dengan begini kita akan jadi sahabat selamanya,” kataku. Kulihat Calista tak mengerti, dia mengernyitkan alisnya.

“Persahabatan kita kekal, sekekal tulisan yang kutoreh di sini, yang nggak pernah akan hilang meski panas, hujan, dan badai menerpanya,” kataku. Calista memelukku.

“Aku janji akan kembali. Tunggu aku di sini tepat di ultahku yang ke-dua puluh, lalu setelah itu kita menikah,” katanya bahagia.

“Menikah?” tanyaku. Calista mengangguk.

“Seandainya saja anak umur sepuluh tahun boleh pacaran, aku mau jadi pacar kamu,” katanya membuatku tertawa. “Janji ya kamu akan setia menungguku?” katanya penuh harap.

“Bagaimana kalo kamu sendiri yang mengingkarinya?” tanyaku.

“Aku nggak akan ingkar, Ka. Aku akan setia padamu.” Kuhela nafasku panjang lalu tersenyum.

“Aku akan menunggumu, Ta, sampai kapanpun,” kataku.

Namun kamu tak kunjung tiba, ultahmu ke dua puluh sudah terjadi lima tahun yang lalu.
Kutunggu kamu dari subuh hingga tengah malam, sampai hari ini tepat di usiamu yang kedua puluh lima, tapi kamu masih tak muncul juga.
Kemana kamu? Kemana janji setiamu? Kenapa waktu seakan melahap habis rasa rindumu? Kenapa waktu memakan setiamu hingga tak tersisa? Berjuta pertanyaan memenuhi isi kepalaku, menjalar kehatiku dan meramunya menjadi sebuah kekecewaan.

Kudekati pohon Akasia itu, kusentuh tulisan nama kita yang masih ada disana. Walau kini nampak sedikit mengecil seolah mengkerut tapi masih bisa terbaca. Setelah kukenang sesaat, aku putuskan untuk kembali ke rumah. Namun siapa itu?
Kulihat ada seorang wanita dan seorang pria berjalan menjauh dari rumahku. Apakah itu kamu, Lista? Tapi kenapa kamu malah pergi? Bukannya menemui aku disini?!? Dan pria itu? Siapa dia? Kenapa dia memeluk pinggangmu? Aku berlari mengejar mereka namun terlambat, tubuh mereka telah menghilang di antara debu jalanan. Kulangkahkan kakiku gontai kembali ke rumah, kulihat secarik kertas putih tergeletak di teras di atas seikat bunga mawar merah, segera kuambil kertas itu dan kubaca.

Buat Raka yang selalu kusayang,

Surat ini adalah surat ke 15 yang kukirimkan di setiap ulang tahunku untukmu, karena aku berharap kamu akan membaca salah satunya. Karena itu isinya masih sama dari tahun ke tahun.

Raka, aku tak pernah pergi. Aku tak jadi berangkat ke Kalimantan. Aku masih tinggal beberapa meter dari rumah kamu dan pohon Akasia. Pohon yang bertuliskan nama kita, aku tak pernah lupa. Pertemuan di ulang tahunku yang ke-dua puluh aku pun tak lupa. Hanya saja, kamu yang tak pernah ada di sana.

Maaf, mungkin aku tak setia. Kini aku telah menikah, Ka. Tapi, itu semua karena kau telah tiada.

Kenapa kau panjat pohon Akasia itu, Ka? Hanya untuk melihat kepergiankukah? Apakah itu alasanmu? Apakah aku salah bila selalu menyalahkan diriku karena jatuhmu dari pohon yang tinggi itu? Aku nggak kan berhenti memikirkan kamu, Ka. Selamanya kamu akan jadi sahabatku, sekekal tulisan di pohon Akasia.

Aku tercengang membacanya, tanganku lemas seketika hingga surat yang kubawa terbang terbawa hawa.

Tak mungkin aku telah mati karena aku masih di sini, di rumah ini, di dekat pohon Akasia. Mataku menatap pohon yang angkuh berdiri di tengah bukit, pohon Akasia itu. Bukan?!?
Itu bukan pohon Akasia. Itu…

Kuusap mataku beberapa kali tak percaya. Aku berlari mendekati pohon itu, kupastikan penglihatanku yang mungkin keliru, tapi tetap saja ini bukan pohon Akasia. Ini pohon Kamboja, dan tulisan itu…

Aku pun mencarinya. Masih ada meskipun sedikit mengecil dan mengkerut, tapi itu bukan tulisanku, itu tulisan Calista. Kenapa aku baru menyadarinya? Lalu rumahku? Bagaimana dengan rumahku?

Kulihat jauh ke kaki bukit tempat rumahku berada, namun tak kutemukan, selain ratusan batu nisan tertancap beku di tanah, diantaranya adalah milikku dengan seikat bunga mawar merah di atasnya.


by;onik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar