Senin, 13 September 2010

karena istriku

Cerita seperti ini tidak melulu harus sedih, meski pada awalnya aku merasakan sebuah kepiluan karena istri tercinta telah meninggalkan aku dua tahun yang lalu. Ia menikah lagi dengan lelaki lain. Aku mengiyakan permintaannya. Kami bercerai setelah usia pernikahannya dengan lelaki Rusia itu memasuki sekitar dua tahun. Apalah arti sebuah surat cerai bagiku, hanya sebagai pernyataan saja. Aku justru lebih rela dia menikah dengan orang lain jika itu bisa membuatnya bahagia.

Istriku yang centil molek pilihan orang tuaku. Semua lelaki manapun tidak akan menyangka kalau sebenarnya dia sudah memiliki tiga orang anak. Dia wanita yang dengan segala pembawaannya terlalu menarik, memikat semua mata-mata yang haus akan pemuasan hasrat.

Wanita yang menjadi istriku dulu pintar bersolek, kata-katanya manis, nyaris pinggulnya tidak jauh dengan biola yang sering dimainkan para orkestra itu. Aku tersenyum-senyum mengingat wujud itu. Apalagi gaya jalan istriku, begitu aduhai! Dia menyukai sepatu berhak tinggi dengan baju setipis kulit bawang. Gerah, kilahnya jika aku mengkoreksi pakaian yang dipakai istriku itu. Tapi aku tahu jelas, bahwa gairah istriku masih besar, semua itu terbukti apalagi dengan usianya yang masih berusia 24 tahun. Bayangkan dua puluh empat tahun dengan tiga anak.

Ia rajin mengkomsumsi jamu kecantikan, ia ikut fitness, facial, dan pusat-pusat perawatan lainnya yang sudah barang tentu tidak sedikit menguras kantong. Itulah ia, istri yang mampu menyenangkan suami dan semua lelaki di daerah pemukiman tempat tinggalku, bahkan tetangga sebelah rumah pun.

Tetapi apa yang membuatku selalu tersenyum? Itu karena tingkat kepasrahanku yang tinggi karena sifat keras kepala istriku yang cantik yang semakin parah. Sudah puluhan kali, bahkan sampai mulutku berbusa istri kesayanganku itu tetap saja nakal. Ia tidak lagi mencuri-curi waktu untuk menelepon lelaki lain. Yang aku pertahankan waktu itu adalah hanya kebahagiaan anakku, karena ia masih membutuhkan seorang ibu.

Aku hanya bisa tersenyum, apalagi menerima anggapan orang lain, khususnya kaum ibu tetangga kanan kiri rumah yang suaminya sering main mata dengan istriku. Tidak ketinggalan orang tuaku yang menjadi kian cerewet ketika mengetahui tabiat menantunya. Semua sepakat dengan kata CERAI.

Rasa cemburu, ada tidak ya? Mungkin pada awalnya iya. Tapi beberapa tahun belakangan apalagi setelah istri cantikku itu menjadi-jadi, sepertinya rasa itu menjadi kebal. Seolah semua cemburu, kecewa, mental. Aku menganggap istriku bukan lagi sebagai seorang pendamping yang setia seperti yang pernah ia janjikan dulu, ya tepatnya sewaktu masa kejayaan diriku berada pada puncaknya.

Aku lelaki gagah. Tubuhku tegap dan tinggi. Sabar, murah senyum dan menerima apa adanya adalah tipicalku, meski salah satu dari sifat itu membuat kebanyakan orang jengkel. Pekerjaanku sebagai salah seorang karyawan di Freeport Indonesia membuat siapa saja yang melirikku tak akan pernah melewatkan kesempatan untuk menjual data diri untuk kemudian dilanjutkan dengan lamaran sebagai bonusnya. Begitu pula dengan mantan istriku. Apapun yang ia mau, terbeli. Rumah, mobil, perkakas dan lain sebagainya.

Tapi apa mau dikata, manusia tidak selamanya berada pada puncak kejayaan. Aku terlibat sebuah kasus penyelendupan yang cukup besar, meski sebenarnya aku adalah korban fitnah sahabatku sendiri, tapi tetap perusahaan yang memutuskan akhirnya aku dipecat.

Setelah kasus yang menimpa diriku waktu itu, aku seperti kehilangan arah, dan seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan yang semakin meningkat, harta yang dimiliki habis juga. Apalagi menyikapi istriku yang gemar sekali bergaya hidup mewah, sampai akhirnya rumah dan mobil mampir juga ke pegadaian yang tidak pernah akan aku tahu kapan bisa ditebus.

Suatu hari nasib baik aku raih juga, aku diterima bekerja disebuah perusahaan swasta berskala kecil, yang gajinya hanya mengandalkan upah minimum. Semua kembali aku rintis dari awal. aku memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah susun di lantai dua belas. Rumah dengan kepadatan dan keributan tingkat tinggi yang tidak lain seperti sebuah studio siaran radio setiap pagi, aku sendiri bingung. Bukan saja hanya istriku tapi juga istri-istri tetangga kanan kiri. Tidak aneh jika setiap pagi juga terdengar anak-anak mereka menangis karena ketakutan mendengar teriakan-teriakan orang tuanya, benturan panci alumunium dengan dinding atau kata-kata ancaman lain. Histeris! Semua itu terekam dalam benakku sampai saat ini.

Wanita cantik yang menjadi istriku juga begitu. Di saat aku memulai segalanya justru yang didapat hanya cacian, sindiran dan berbagai tektek bengek lain. Maklum, sejak dipecat dari tempat kerja terakhir semua kebiasaan istriku berkurang. Ia jarang facial, creambath, fitness dan perawatan-perawatan lain, meski gayanya masih sama saja seperti dulu. Ia marah besar jika satu jerawat muncul di salah satu kulit wajahnya, kukunya yang patah, kulitnya mengering atau pakaian-pakaiannya yang kusam padahal baru beberapa kali dipakai.

Semua itu sudah menjadi sarapanku setiap pagi. Sejak saat itu ia juga sering keluar rumah. Anak kami yang paling tua dan yang kedua meninggal di usia yang masih terlalu muda karena sakit. Entah mengapa, penyakit itu seperti penyakit turunan. Tiba-tiba badan mereka menjadi sangat lemah, panas, tidak mampu berbicara, kejang dan akhirnya berakhir dengan nafas di tenggorokan. Tinggal Rajid yang paling kecil yang sekarang berusia hampir genap empat tahun. Anak yang tinggal semata wayang ini benar-benar aku jaga dengan segenap hatiku, apalagi kasih sayang ibunya tidak lagi seperti dulu.

Aku berkaca pada malam yang berbintang, semua itu mengingatkanku kembali pada kejadian-kejadian disetiap detik hidupku. Aku melirik kearah Rajid yang tertidur di atas ayunan kain lusuh yang kedua ujungnya diikat pada besi yang melintang dan berkarat. Setiap pulang kerja, rasanya letih itu berkurang jika aku mendapati Rajid menyambutku dengan penuh hangat.

Sekarang aku tinggal bersama Ibu yang selalu menemaniku dalam keadaan apapun. Meski sudah cukup tua dengan garis-garis keras di wajahnya tapi ia tetap semangat menjaga Rajid yang kadang nakalnya bukan main. Ibuku adalah seorang janda tulus yang ditinggal mati suaminya beberapa tahun yang lalu.

Aku menatap anakku dengan senyuman, aku mengelus pipi dan membelai rambut Rajid yang tipis. Ia mirip dengan istriku. Tapi sama sekali tidak dengan sifatnya. Rajid sudah terbiasa sendiri. Ia mandiri. Setelah ditinggal ibunya dan ia sendiri jika berangkat kerja. Aku jadi ingat candaku yang riang bersama Rajid disuatu sore. Tiba-tiba ia menanyakan perihal ibunya yang sudah hampir setahun meninggalkan dirinya. Aku sendiri tidak pernah menyembunyikan apa yang terjadi, aku tidak ingin anakku berada dalam kebohongan yang aku ciptakan sendiri dan terhanyut dalam keinginan dan khayalan yang sewaktu-waktu seolah akan menjadi kenyataan. Aku menjawab jujur, meski itu semua itu terlalu kasar untuk diterima oleh anak seusianya, dan yang lebih mengejutkan adalah ketika Rajid menanggapi jawabanku waktu itu.

“Asyik, berarti Rajid punya ayah dua!” katanya sambil bertepuk tangan dengan riang. “Nek, Nek Rajid punya ayah dua. Jadi nanti Rajid bisa punya adik!” Rajid bersorak sorai di depan neneknya. Tidak jarang ibuku dengan senyuman dipaksakan menitikan air mata pilu menahan getir hidup dan kepolosan cucunya yang menyayat hati. Ia benar-benar tidak pernah tega melihat cucunya menerima semua ini.

Ibuku sering menganjurkanku untuk menikah lagi. Aku sendiri merasa belum saatnya, apakah aku trauma? Tidak! Kadang aku bertengkar pada diri sendiri. Sebagai lelaki aku memang tidak bisa sendiri. Ibuku sudah tua, ia tidak akan selamanya bisa mengurus keperluanku dan Rajid. Justru seharusnya dia sudah beristirahat seperti nenek-nenek lainnya yang setiap pagi menjemur dirinya dibawah hangat sinar matahari pagi, mendengarkan siaran radio dan menikmati secangkir teh tubruk ditemani cucu-cucunya yang riang bermain di taman. Semua itu tidak pernah dirasakannya sejak detik aku menikah dengan istriku hingga sekarang ini. Belum lagi hasratku sebagai lelaki, anakku yang membutuhkan sebuah sentuhan tangan seorang ibu dan akh… aku memacu pikiranku dan mencoba meraih ide itu hingga menjadi nyata. Tapi entah mengapa aku lagi-lagi mundur dan mundur.

Aku menatap langit dan kemudian pemandangan di bawahnya. Terakhir pandanganku jatuh pada Rajid. Tidurnya pulas. Apakah ia berpikir bahwa besok akan bertemu ibunya dengan membawa adik bayi? Aku menggamit telapak tangannya yang mungil kecil. Ibuku dengan sejuta lelah dan suara yang sebentar-sebentar meramaikan tidurnya bersandar pada bangku goyang tua tapi masih layak pakai. Ia mendengkur.

Aku tidak sanggup lagi menahan desakan hati, kemudian aku mengambil sebuah buku yang menjadi temanku selama ini dan mulai menuliskan lirik-lirik hidupku terhitung sejak tanggal terakhir.

Malam, adakah kau turut ambil suara, atau unjuk rasa? Aku bingung sampai kapan rasa sepi, malam-malamku dan di saat anak serta ibuku tertidur bertemankanmu juga cahaya-cahaya kecilmu yang berkilauan?

by;winsufmaulana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar