Kamis, 30 September 2010

siluman air

Barja namanya. Seorang penjual kayu bakar, beristrikan Marti dan dua orang anaknya yang masih ingusan. Tiga orang ini yang menyandarkan hidupnya pada lelaki itu. Namun tidak seperti kebanyakan rumah tangga yang lain, kehidupan mereka relatif akur. Marti menerima apa yang dihasilkan suaminya itu untuk kebutuhan sehari-hari. Hanya saja, kedua anaknya tidak mengerti soal yang satu ini. Yakni keinginan untuk selalu meminum susu segar. Soal ini buat Barja bisa jadi masalah tatkala kedua anaknya itu yang baru berumur satu dan dua tahun bersamaan merengek meminta minuman tersebut.

Kalau sudah seperti ini keadaannya, Barja hanya bisa termangu, sementara Marti berusaha untuk mendiamkan kedua anaknya itu. Tak ada lagi yang bisa diperbuat Marti untuk memuaskan keinginan anak-anaknya. Meski batinnya Marti sempat berbisik untuk utang ke warung tetangga sekedar membeli susu sachet dua buah, namun ia urungkan. Tak enak rasanya mengutang kembali.

Sebab Marti ingat dua hari sebelumnya ketika meminta beras, sepotong tempe, dan krupuk untuk makan siang bersama kedua anaknya itu. Ketika itu pemilik warung memang memberikan kebutuhannya, tapi juga diikuti dengan tagihan sebelumnya yang belum Marti lunasi.

“Mar, utang kamu belum lunas 160 ribu, sekarang tambah 15 ribu, minggu depan tolong dilunasi. Aku bisa bangkrut warungnya kalau seperti ini terus. Janji ya!?” kata Lastri dengan mimik penuh tekanan.

Marti hanya mengiakan sambil tetap berterima kasih kepada Lastri yang hingga siang itu masih mau mencukupi kebutuhannya. Ia bersyukur tidak ditekan atas utangnya itu terus menerus oleh Lastri. Tapi tetap saja perasaan malu menghinggapi juga. Apalagi di warung senantiasa muncul gunjingan soal utang-utangnya.

“Si Marti utang terus, kapan lunasnya ya ?”

“Dia masih muda dan manis pula kenapa mau sih sama si Barja!”

“Bawa saja anak-anaknya terus tinggalkan si Tukang Kayu Bakar itu.”

“Masa jaman modern masih ada yang jual kayu bakar sih?”

Lantaran tagihan dan gunjingan itulah yang membuat Marti hanya bisa mengelus-elus kedua anaknya untuk diam. Barja sesekali turut pula membelai punggung kedua anaknya itu yang kian keras rengekannya.

Katanya, ”Mar, coba kamu datangi Ibu Sugih, barangkali dia mau pinjami uang. Kita kan belum pernah datang ke sana. Sementara tetangga lain aku perhatikan sering ke sana untuk pinjam.”

“Aku gak berani Kang. Ngeri kalau pinjam sama dia. Takut anak-anak jadi korban,” balas Marti sekenanya.

Marti sangat tahu soal Ibu Sugih tetangganya itu yang jika utangnya tidak terbayar, lantas saja mengambil apapun yang bisa dijadikan jaminan. Termasuk anak-anak.

“Lihat saja,” kata Marti kepada Barja, “si Julia yang masih tiga tahun sudah dititipkan di rumah Ibu Sugih sebagai jaminan utang Neng Santi. Kan kasihan dia.”

Mendengar itu tak banyak komentar yang diberikan Barja atas sikap Marti, istri satu-satunya yang disayangi.

“Ya sudah kalau begitu.”

***

Bagi mereka yang namanya Ibu Sugih itu bisa jadi dewi penolong namun cepat juga berubah menjadi mahkluk yang menakutkan. Apalagi rumor soal dirinya yang kerap berbau mistik. Kata orang-orang juga demikian. Dia banyak hartanya tapi hasil dari pesugihan. Makanya disebut Ibu Sugih. Padahal kerjanya itu kalau diperhatikan hanya bersolek dan berdandan saja.

“Mana mungkin secara akal sehat bisa demikian kaya di kampung ini,” batin mereka bersamaan sembari merebahkan kedua anaknya yang tertidur setelah lelah menangis di ranjang kayu yang mulai reot itu.

Untuk hari ini Barja tak membawa uang sepeser pun. Meski ia kembali ke rumah hampir menjelang sore. Kayu bakarnya tak laku dijual, karena agak lapuk terkena siraman air hujan semalam. Untungnya lagi Marti dan kedua anaknya itu masih punya sisa beras dua hari yang lalu. Jadi mereka cukup makan walau hanya nasi dan garam saja. Barja sendiri hanya menahan nafas untuk hari ini. Mau tidak mau kebutuhan makan hari ini untuknya cukup dipenuhi dengan air matang saja. Apa boleh buat.

***

Malam pun kian larut. Udara sejuk ditingkahi suara jangkrik yang terdengar hingga ke bilik rumah mereka memecah keheningan. Bunyinya seperti kidung yang melelapkan bagi siapa pun yang mendengar. Malah suaranya itu sebanding dengan dengkuran orang-orang yang nyenyak tidurnya. Namun di tengah kesunyian itu, kedua anaknya Barja dan Marti kembali merengek. Tapi bukan rengekan minta susu melainkan perut mereka lapar.

Jika sudah seperti ini mau tidak mau Barja memberanikan diri mendatangi tetangga di samping rumahnya itu. Bagaimana caranya memperoleh makanan itu, tak berapa lama dia sudah kembali dengan sepiring nasi, serta dua potong goreng tahu. Untuk sementara anaknya kembali tenang dan selanjutnya malah nyenyak tertidur setelah melahap makanan tadi. Marti hanya tersenyum ketika melihat usaha Barja barusan. Sementara kedua anaknya tampak tertidur pulas. Akhirnya Marti dan Barja pun menyusul untuk tidur meski perutnya masih keroncongan.

Tatkala dalam nyenyak tidurnya itu, Barja bermimpi. Mimpi yang menurutnya bisa merubah keadaan hidup keluarga mereka. Dalam mimpinya itu ia dianjurkan untuk datang ke kolam ikan esok malam milik Ibu Sugih yang letaknya di sisi pematang sawah agak jauh dari kediamannya. Di kolam ikan itu, Barja supaya memperhatikan gerombolan anjing air (sero) yang sedang berkumpul dan melakukan ritual. Ritual yang dilakukan adalah sang raja sero sedang dilingkari dan ditunggu oleh rakyatnya untuk buang air besar (kotoran), di mana di antara kotoran raja sero itu terdapat mahkota berupa batu mutiara sebesar ujung jari kelingking.

“Engkau rebutlah mahkota itu,” kata suara dalam mimpinya.

Mimpi itu selanjutnya tak diceritakannya kepada Marti. Namun ketika akan pergi esoknya untuk menjual sisa kayu bakarnya itu, Barja tampak enggan. Hal ini sempat pula diketahui Marti. Marti hanya memaklumi saja keadaan suaminya itu. Ia tak sempat berpikir jauh soal apa yang tengah dialami Barja. Setidaknya bagi Marti, keengganan itu karena suaminya belum sarapan saja.

“Apa yang mau dimakan untuk hari ini,” bisik Marti dalam hati.

Sementara persediaan makanan habis, yang tinggal lagi-lagi hanya air. Untungnya untuk sekedar menghangatkan pagi saja, Marti sudah tunaikan tugasnya dengan menghidangkan air hangat itu. Selanjutnya ia mendorong Barja untuk lekas pergi menjual kayu bakar. Agar anak-anaknya itu bisa dipastikan untuk makan di hari ini.

Barja pun lalu berangkat disertai pikiran yang terus membayang soal mimpinya semalam.

***

Singkatnya, Barja kembali ke rumah lebih cepat dari hari biasanya. Kayu bakarnya habis tak tersisa. Jadi menjelang tengah hari dia sudah membawa uang untuk kebutuhan makan anak dan istrinya. Marti menyambut dengan suka cita. Tak disangka untuk hari ini kayu bakar itu habis. Padahal banyaknya itu setanggungan yang jika dipikul Barja seperti membawa besi baja.

Soal larisnya kayu bakar ini, Marti hanya ingat yang dikatakan Lastri pemilik warung tempo hari. Bahwa harga minyak tanah naik dan mahal hingga warungnya itu hanya menyediakan sedikit untuk kebutuhan pembeli.

Karena harga minyak tanah mahal dan langka itulah maka kayu-kayu yang belum dibelah dan dipotong-potong itu diantri oleh tetangganya. Termasuk yang menggunjingkan Marti tempo hari di warung Lastri.

“Mudah-mudahan saja harga minya tanah naik terus,” harap Marti ketika tetangga berdatangan di siang itu.

Tapi sebaliknya kebanyakan dari mereka justru mengeluh dan melampiaskan kekecewaannya kepada pedagang minyak. Atau yang lebih berani lagi memaki-maki kepala desa yang tidak berusaha mengadakan minyak tanah gratis. Bagi mereka tampaknya minyak tanah sudah menjadi kebutuhan yang paling primer ketimbang yang lain. Tanpa minyak itu, ada kesan masakan yang dimasaknya akan hambar. Padahal sebelumnya ketika dulu, mereka hanya menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak. Karena alasan sudah merasa cukup kehidupannya maka mereka semua beralih. Malah yang masih saja menggunakan kayu bakar seringkali dituding tidak ikut kemajuan jaman.

Sekedar turut kemajuan jaman, tetangga Marti itu hanya mengukurnya dari minyak tanah. Ada satu saja dirijen minyak itu di dapur, cukuplah bagi mereka untuk bisa setara dengan masyarakat di perkotaan. Padahal bahan bakar gas pun sudah merambah ke berbagai daerah, melampaui apa yang mereka ketahui. Justru di kampung ini, mereka tidak pernah terbersit atau berpikir bahwa masih ada soal lain seperti, pendidikan, kesehatan, teknologi, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan aspek kemajuan jaman itu. Majunya jaman untuk mereka berarti masakan matang lebih cepat dan tidak mengeluarkan asap ketimbang kayu bakar. Tapi kini sebentar lagi asap kembali mengepul memenuhi ruang dapur, bahkan rumah mereka.

Kecuali tentu saja dengan kondisi ini, Ibu Sugih tetap eksis. Dia tak terlalu terpengaruh dengan kenaikan harga minyak itu. Malah hati kecil dia berkata akan menimbun minyak itu sebanyak-banyaknya. Setidaknya jika suatu hari harga minyak turun, ia bisa memberikannya langsung kepada masyarakat sekitar. Gratis jika perlu. Hal ini kiranya sudah dipikirkan masak-masak olehnya. Sebab dengan cara tersebut, dia akan merasa kian dihargai masyarakat sebagai dewi penolong.

Dewi yang betul-betul titisan langit untuk memberikan kesejahteraan masyarakat. Sembari menanti barangkali akan turun seorang dewa yang bakal jadi pendampingnya kelak. Ibu Sugih sudah merasa tak kuat hidup sendiri di tengah bergelimangnya harta. Mana bisa jika malam tiba yang dilakukannya di ranjang hanya membelai-belai bantal guling saja. Seumurnya dia barangkali sudah mempunyai anak usia kuliahan jika dihitung dari usianya yang genap 45 tahun itu. Tapi apa mau dikata, hingga kini dia masih sendiri.

Sementara itu, antrian di kediaman Barja telah bubar jelang sore hari. Kayu bakarnya tandas seketika dibeli tetangganya. Barja dan Marti sengaja menurunkan harga. Yang biasanya seikat 4000, dijual 2000. Dengan harga itu karuan tetangganya senang dan menyambut antusias. Barja juga Marti pun tak kalah, mereka turut senang dengan perubahan sikap para tetangganya itu yang kembali seperti semula. Ramah dan tidak macam-macam dengan keadaan kehidupan mereka.

Namun begitu, Barja masih menyimpan pertanyaan atas soal mimpinya semalam. Malam ini atas suara yang muncul di mimpinya itu, dia akan menuju kolam ikan di sisi pematang sawah. Kepada Marti, istrinya dia pamit hanya untuk jalan-jalan ke ujung desa sekedar menghirup udara malam. Meski agak aneh, karena hari sudah tengah malam, tapi akhirnya Marti mengerti atas kehendak suaminya itu.

***

Tiba di pematang sawah suasana tidak biasanya. Bulan tampak menyipit seperti orang yang malas untuk melek. Sinarnya redup terhalang pepohonan di sekitar Barja berjalan. Malah bayangan Barja pun sama sekali tak kelihatan. Ia seakan berjalan di tengah gulita malam dalam lorong yang gelap pula. Tapi setidaknya Barja membawa lampu senter kecil dua baterei yang mampu mengalahkan gelap di perjalanannya.

Tapi angin tetap berdesir. Suling suaranya seperti senandung malam yang menemani langkah kaki Barja. Yang tiap kali angin meniupkan hembusnya, ia tutup bagian kepalanya dengan sarung pengganti jaket itu. Sesekali pula katak berloncatan menghindari ayunan kaki lelaki yang telah bulat tekadnya ini.

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, ia melihat kolam ikan itu. Tenang dan menghanyutkan. Lamat-lamat terdengar pula percikan air akibat ikan-ikan yang sedang berloncatan. Semakin dekat jarak itu, percikan air kian menggemuruh. Air di kolam seperti diaduk-aduk kekuatan gaib sehingga airnya muncrat ke tepian.

Benar saja, ketika Barja ada dalam jarak satu meter tampak sero itu berkumpul di kolam Ibu Sugih yang luasnya sekitar 1000 meter persegi dengan kedalaman sepinggang orang dewasa. Sero itu seperti mengelilingi sesuatu, rapat bagai pasukan yang siap menunggu perintah. Semakin ada di tepi kolam, kian jelas pemandangan yang ada di hadapan Barja.

“Benar saja apa kata mimpi semalam,” bisiknya pelan.

Namun bagaimana untuk merebut apa yang disebut dengan mahkota itu. Mereka semua ada di tengah kolam ini. Barja mengernyitkan dahinya. Sesuatu tindakan yang mustahil bila dilakukan untuk merebut mahkota itu. Sudah tentu mereka akan mengeroyok dan mencabik-cabik tubuhnya jika terjebak di kolam tersebut. Sesaat tiada yang bisa dilakukan Barja. Ia hanya mengendap dan memperhatikan apa yang tengah dilakukan mereka.

Sero tak satu pun yang tahu, bahwa apa yang tengah mereka lakukan diintip orang. Sebab itu, bagaimana mulanya tiba-tiba sero yang melingkar seperti bubar memberikan jalan. Rupanya sang raja hendak lewat. Benar saja sang raja sero berenang-renang menuju tepi kolam diikuti pasukannya.

“Barangkali tadi dia telah memberikan instruksi,” pikir Barja.

Di luar dugaan, sang raja justru mengarah ke tepi kolam di mana ia sedang tiarap memperhatikan. Lantas raja sero ini diam sesaat, sementara dihadapannya pasukan menanti penuh harap. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba muncul kotoran di dalam air kolam. Rupanya apa yang tengah dinanti telah datang. Kotoran sang raja menjadi rebutan sero-sero lainnya. Seketika air bergemuruh seperti ombak di lautan. Suaranya benar-benar memecah gendang telinga Barja, menakutkan. Dan sang raja tiba-tiba lenyap.

Di tengah adu kekuatan antar sero untuk mendapatkan mahkota dari kotoran sang raja, dari dekat Barja melihat benda berkilau sebesar ujung jari kelingking menyembul ke permukaan air di tengah-tengah mereka. Posisinya amat kebetulan persis di pinggir kolam dekat dengan dirinya tiarap. Tanpa pikir panjang, Barja mengulurkan tangan dan merebutnya. Kemudian ia bangkit dan lari setelah mendapatkan benda itu di genggamannya. Melihat ini, segerombolan sero marah, dan meloncat ke tepian mengejar sejadi-jadinya orang yang merebut mahkota itu.

Barja terancam. Sero keras-keras berteriak. Sawah, rumput, katak, ular, tikus, dan banyak lagi seperti dibangunkan dari tidurnya. Mereka terkejut dengan kejadian ini. Barja lari terbirit-birit. Jatuh bangun melewati galengan sawah. Tapi akhirnya lolos juga.

Dua jam setelah itu ia tiba di rumah. Pakaian yang dikenakan belepotan lumpur dan basah. Marti heran dan panik.

“Kenapa Kang, ada apa?” Barja diam tak menjawab.

Nafasnya masih memburu. Raut wajahnya menampakkan rasa takut yang tak terhingga. Pucat pasi di tengah siraman cahaya lampu templok. Sesaat kemudian dia duduk dan menenangkan diri. Marti segera menyiapkan air minum.

“Ada apa, Kang, ceritalah Kang,” ucap Marti memohon.

Barja lalu pelan mengisahkan semuanya. Marti sempat takut namun Barja meyakinkan bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan mimpi. Ia tidak yakin mulanya bahwa ini bisa terjadi. Namun kenyataannya lain, justru benar-benar kejadian.

Esoknya ia memperhatikan mahkota itu. Ukurannya sebesar ujung jari kelingking. Putih bersih berkilauan. Seperti mutiara saja layaknya. Entah apa yang bisa dilakukan dengan benda ajaib ini. Barja termangu saja. Lalu dia pun bekerja seperti biasanya. Karena kayu bakarnya telah habis maka ia berniat untuk pergi mencarinya di bukit yang lumayan jauh dari kediamannya itu. Mahkota itu pun ia kantongi di celana. Setelah terlebih dahulu dibungkus kain kecil hanya beberapa sentimeter. Ketika akan melangkah pergi tiba-tiba datang seseorang ke rumahnya.

“Ini Kang Barja?” tanya tamu itu.

“Iya, ada apa ?”

“Saya mau minta tolong kepada Akang,” sahutnya.

“Kayu bakar, maksudnya. Sudah habis Kang,” balas Barja.

“Bukan soal kayu, tapi ikan. Saya mau panen ikan tapi banyak sekali. Sementara kolamnya dalam, karena air meluap akibat hujan beberapa hari lalu. Jadi yang semula sepinggang sekarang sudah hampir seleher orang dewasa. Tolong ya Kang,” pintanya.

Tak tahu apa yang dipikirkan Barja di kepalanya. Ia hanya mengangguk sambil mengiringi langkah tamunya itu menuju kolam ikannya.

***

Di sana sudah banyak orang yang berkumpul untuk turut membantu panen ikan. Jala ikan dan segala peralatan sudah disiapkan. Tetapi kebanyakan dari mereka belum ada yang turun ke kolam untuk memulai. Setelah Barja dan tamunya pemilik kolam ini tiba, barulah tiga orang itu turun ke kolam yang memang tingginya itu hingga ke leher mereka. Tampak oleh Barja mereka seperti kesulitan bernafas dan sesekali timbul tenggelam di air itu. Barja untuk sesaat tak tahu apa yang mesti dilakukan.

Namun atas perintah pemilik kolam, ia pun menyeburkan diri. Lalu jala selebar sepertiga luas kolam yang hampir 500 meteran luasnya itu pun dilemparkan ke tengah kolam oleh orang yang ada di atasnya.

Lima orang di kolam termasuk Barja kemudian mulai bekerja. Barja di tengah sementara empat lainnya masing-masing berjajar di sisi kanan dan kiri. Jala pun secara perlahan ditebarkan oleh mereka. Setelah kuat di sisi kiri dan kanannya, lalu Barja menyelam begitu saja ke dalam air. Barja heran menyelam di air seperti di darat saja layaknya ketika bernafas. Tak ada kesulitan sama sekali. Sementara seolah ikan seperti terpanggil untuk menuju ke arahnya dan berkumpul di dekat Barja. Jadi mudah untuk selanjutnya ikan-ikan itu masuk ke dalam jala.

Tidak makan waktu lama untuk memanen ikan itu. Ikan sudah dikumpulkan di dalam bakul-bakul yang disediakan berpuluh-puluh banyaknya. Dari kerja ini pun akhirnya Barja mendapatkan imbalan di tambah beberapa kilo ikan untuk dibawa pulang. Legalah hati Barja untuk usaha yang dilakukannya hari ini.

Seterusnya ia melakukan kerja seperti tersebut. Sesekali pula diajak untuk menaksir harga ikan yang ada di pelelangan. Seringkali pula taksirannya atas harga ikan itu tak pernah meleset. Karenanya Barja punya profesi baru, ya menangkap ikan juga dilibatkan dalam jual belinya. Begitulah, hingga perlahan-lahan kehidupan mereka pun berubah dari hari, bulan hingga tahun. Kehidupannya telah mapan. Kayu bakar yang dulu menjadi andalan kehidupan tinggal kenangan. Hutang mereka tak punya. Justru sekarang banyak yang meminta pinjaman uang kepadanya, termasuk Lastri.

***

Tahulah Barja kini, bahwa mahkota itu punya khasiat untuk mampu bernafas di dalam air seperti layaknya ikan. Juga punya kelebihan lain tatkala sedang melakukan transaksi jual beli ikan di pelelangan, meski Barja hanya sebatas menaksir atau memperkira-kirakan harga yang bakal disepakati oleh penjual maupun pembeli. Dari sini paling tidak ia mendapat komisinya.

Hingga suatu hari saat menangkap ikan di miliknya Ibu Sugih yang siap dipanen, ia mendapat kesulitan. Pasalnya ketika ia menyelam di kolam itu, tak sengaja masuk ke dalam lorong yang ada di sisi kolam tersebut. Lorong itu memancing perhatiannya dan ia pun masuk. Namun begitu akan keluar justru lorong itu berubah gelap seolah ada yang menutupinya. Meski urusan nafas bukan jadi soal namun Barja merasa takut juga atas apa yang dialami.

Di situasi yang menakutkan ini, Barja memohon agar lorong itu dibuka agar ia bisa bekerja kembali. Namun tanpa diduga balasan atas permintaan Barja itu terdengar pula.

“Lorong akan aku buka. Tapi engkau serahkan mahkota itu kepadaku. Itu adalah mahkota milik turunan keluargaku sebelum direbut oleh Raja Sero,” kata sang empunya suara yang menutup lorong.

Mau tidak mau dan tanpa pikir panjang, Barja pun menerima syarat itu. Daripada nyawanya jelas-jelas tengah terancam.Tampak oleh Barja, lorong yang lingkarannya itu berdiameter satu meter itu terbuka, dan terlihat oleh Barja seekor kura-kura besar yang menutup lorong tersebut. Lalu masih di dalam air pula mahkota yang berupa batu putih seukuran ujung jari kelingking itu diserahkannya. Selamatlah Barja.

Tak habis pikir Barja setelah mengalami peristiwa yang menakutkan itu. Benar kata orang bahwa Ibu Sugih seorang pesugihan. Lagi pula mana mungkin ada mahkluk kura-kura seukuran itu yang bisa bicara bahasa manusia di kolamnya. Mana mungkin. Tapi dari pada berpikir yang tak jelas itu, Barja akhirnya menyimpulkan bahwa apa yang ditemuinya itu adalah mahkluk siluman. Dan apa yang diterimanya lewat mimpi itu juga berasal dari siluman.

“Jadi kekayaan yang aku punya ini dibantu oleh siluman?”


by;eno rusnadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar