Kamis, 30 September 2010

detik detik terakhir dari sini menuju kesana

Sejauh matanya memandang, yang terlihat hanyalah tumpukan mayat tentara yang berseliweran. Rasa ketakutannya tidak bisa ia sembunyikan atau ia tutup-tutupi lagi. Jauh di dalam hatinya ia berharap mayat-mayat ini akan hidup kembali untuk membawa kabar gembira bahwa perang telah usai dan dia berada di pihak yang menang. Bayangkan betapa kabar tersebut akan berdengung kencang bila dibisikkan di kedua telinganya. Karena itulah do’anya selama ini, yang dengan rajinnya ia senandungkan di pagi, siang, dan malam. Hanya kemenanganlah yang akan membawanya kembali pulang ke rumah dan keluarganya tercinta. Namun, sekuat apapun ia menggosokkan kedua matanya, yang terlihat tetaplah tubuh-tubuh para serdadu yang tergeletak tak lagi bernyawa. Dan dirinya menghirup napas seorang diri dengan jantung yang lelah.

Susah payah ia mencoba menggerakkan tubuhnya yang terhimpit oleh tiang listrik yang rubuh menimpa kepalanya. Ia merasakan darahnya menyatu dengan keringat yang mengalir menuruni pipi kanannya. Tentu saja ia harus berterima kasih pada helmnya - yang kini penyok – karena ia terhindar dari gegar otak. Entah apa jadinya bila ia tidak dapat lagi mengingat sesuatu. Tentang masa kecilnya yang indah, tentang kehidupannya yang tenang di pedesaan, tentang dinginnya air merasuki pori-pori kulitnya, dan tentang masa depan yang selalu setia menantinya. Alangkah beruntungnya ia memiliki helm yang cukup kuat walaupun goresan di sekitar dahinya tak berhenti mengeluarkan darah. Aku masih hidup, begitu pikirnya, setidaknya sampai saat ini.

Kemudian ia bersandar pada seonggok daging punggung manusia yang cukup empuk untuk dijadikan bantal. Itu adalah mayat rekannya sesama tentara. Dari struktur tubuhnya dan posisi badannya yang tengkurap menghadap tanah, ia tahu bahwa itu adalah tubuh Hektor yang diterjang oleh belasan peluru. Hektor yang dulu sempat berkelahi dengannya di barak gara-gara permainan kartu yang mereka mainkan, kini diam tak bergerak. Hektor yang perkasa kini telah mati. Ia menolehkan wajahnya ke arah lain, mencoba mengawasi alun-alun pembantaian ini dengan seksama, berusaha untuk mendapatkan harapan lain yang lebih baik, tak peduli sekecil apapun itu. Matanya berpapasan dengan wajah Letnan Simon yang matanya mendelik lebar dengan mulut yang kering terbuka disertai dahinya yang bolong ditembus sebutir peluru besi. Letnan Simon terlihat pucat dengan kedua bola matanya yang keabu-abuan. Ia telah ditinggalkan oleh arwahnya sendirian. Letnan Simon yang bijaksana kini telah mati.

Ia memutar lehernya 180 derajat dengan sangat perlahan. Dari tiap inchi gerakan lehernya ia dengan segera mengenali setiap mayat yang tertidur dengan mengenaskan di sini. Temannya yang lain, Freddo, terlentang di ujung sana di dekat sebuah bangunan rumah sakit yang hancur dengan baju dilumuri darah. Badannya terus-menerus menyemburkan darah merah segar seperti pipa air yang bocor. Leon mati dalam kondisi hangus layaknya kue yang terbakar. Kulitnya menghitam dan tampak sangat mengerikan. Henrik yang malang, ia tak tahu apa-apa, ia anak baru yang datang dari desa untuk terjun ke dalam perang ini demi kecintaan akan tanah airnya, dan sekarang ia harus mati. Semoga Henrik diberi kekuatan untuk melihat dari atas sana kondisi tubuhnya dengan usus-usus terburai berantakan, berceceran di sisi pinggang kecilnya. Dan ia tak bisa menahan kepedihan menyaksikan Ivan yang duduk tanpa daya dengan lengan kirinya yang putus. Sambungan sendinya terlihat menyembul keluar diselimuti darah dan lalat-lalat terbang mengitarinya. Semua orang telah mati. Semuanya yang ia lihat tak lagi bernyawa. Perang ini telah memakan korbannya lagi.

Tak bisa dipungkiri bahwa ia harus menanggung kejamnya pemandangan ini sendirian. Penderitaan yang tidak tertahankan di relung hatinya, terus menekan dirinya dengan kuat. Tentu saja ia sangat menginginkan pertolongan walaupun menurutnya hal seperti ini tak akan bisa disembuhkan oleh siapapun sampai kapanpun. Entah apakah ini memang suatu kebangaan yang diimpikan oleh semua temannya untuk mati dengan terhormat membela negara, karena menurutnya mereka semua seharusnya berhak mendapatkan kematian yang lebih layak dari ini. Ia memang tidak menginginkan dirinya mati di medan perang, tapi ia juga tak ingin hidup sendiri di tengah kematian teman-temannya. Dibayangi ketakutan, ia berdo’a di dalam hati memohon kekuatan pada Tuhan yang telah ia percayai.

“Tuhan, dimanapun Engkau berada, aku mohon berikanlah aku kekuatan. Selamatkan mereka, teman-temanku yang telah mati, semoga mereka mendapatkan tempat terhormat di sisi-Mu.”

Ia setengah berteriak sambil dihujani oleh terik sinar matahari pagi di tengah kota yang mati.

“Berikanlah aku petunjuk akan pertolonganMu, Tuhan, kumohon jangan biarkan aku mati di sini. Aku ingin pulang, aku ingin pulang, bawa aku pulang ke tempatku.”

Kicau burung bernyanyi dari balik gedung-gedung bertingkat. Asap hitam bermekaran ke angkasa tertiup lembutnya angin. Gemeretak suara api menemani tangisannya yang terekam dalam nada yang murung. Dunia ini membisu di hadapannya.

Kesunyian terasa begitu menghantui. Ia begitu resah dibuatnya dan mulai memikirkan untuk memadamkan semangat hidupnya segera. Kepalanya terasa begitu berat akibat rasa pusing dari benturan keras yang ia terima sebelumnya. Sejauh ini ia hanya bisa menggerakkan lehernya, sedangkan anggota badannya yang lain terhimpit oleh tiang listrik yang berkarat.

“Nikolai…itu kamu?” seseorang memanggilnya entah dari mana. “Nikolai?”

“Y-y-ya.”

“Nikolai, itu kamu yang berdo’a tadi?”

“Ya, itu aku. Siapa kamu?”

“Syukurlah, setidaknya kita masih selamat. Ini aku, Henry.”

“Puji Tuhan, Henry, kau masih hidup. Kamu terluka, Henry? Di mana dirimu?”

“Aku tak bisa bergerak. Punggungku tertindih sesuatu, berat sekali. Ini seperti tiang listrik.”

Henry berada tak jauh dari Nikolai, jaraknya terpisah sekitar dua meter. Terdapat tiga mayat yang berjejer yang menghubungkan jarak di antara keduanya. Mereka berdua terjepit oleh tiang listrik yang sama dan masih dinaungi keberuntungan untuk tetap bertahan hidup.

“Apa yang terjadi, Nikolai? Aku tidak ingat apa-apa, tiba-tiba saja aku terbangun dan melihat ini semua. Aku tidak percaya, ini sangat mengerikan. Leon dan Theo telah mati.”

“Ya, Henry semuanya telah mati. Letnan Simon juga. Hanya tinggal kita berdua yang masih tersisa, bertahanlah Henry. Sepertinya kita berdua tertimpa oleh tiang listrik yang rubuh ini dan pingsan.”

“Bagaimana dengan musuh kita?”

“Mereka semua juga mati. Tidak ada yang tersisa. Kota ini benar-benar sunyi.”

“Siapa yang akan menolong kita? Bagaimana kalau musuh tiba-tiba datang?”

“Aku tak tahu, Henry. Kita hanya bisa berharap Tuhan berada di pihak kita. Kepalaku pusing sekali. Aku haus.”

“Sepertinya tulang punggungku retak. Rasanya sakit sekali bila badan ini kugerakkan.”

“Setidaknya kita masih hidup. Kita masih bisa selamat.”

Nikolai menyandarkan lagi kepalanya di atas punggung Hektor. Ia tak dapat melihat sosok Henry yang juga terbaring, hanya suaranya saja yang terdengar yang telah setidaknya sedikit membantu dirinya. Ia senang mengetahui bahwa seorang temannya masih hidup dan ia tidak lagi harus memendam pengalaman horor ini seorang diri. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa selain terus berbaring untuk jam-jam berikutnya menanti pertolongan datang.

“Aku ingin merokok di saat-saat seperti ini”, ujar Henry, “agar aku bisa lebih santai. Aku tak tahan melihat tubuh Leon yang hangus seperti ini, kau tahu dia adalah orang yang sangat baik.”

“Aku tahu. Tapi ini adalah perang. Siapapun bisa mati. Semoga teman-teman kita beristirahat dalam damai di surga.”

“Aku tidak ingin mati, Niko. Bagaimana dengan anakku nanti?”

“Kau masih hidup, Henry. Yang bisa kaulakukan saat ini hanyalah terus bertahan. Aku tahu punggungmu sakit, tapi jangan menyerah.”

“Sampai kapan?”

“Entahlah, mungkin sesaat lagi.”

Mereka berdua menunggu dengan tenang. Nikolai menyadari bahwa mereka sedang mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Pertolongan tentunya tidak akan dengan mudahnya turun dari langit dan menghampiri mereka. Namun, apa lagi yang bisa ia lakukan dengan badan yang tak bisa digerakkan? Bila bisa mendapatkan sebungkus rokok, saat ini Nikolai pasti akan satu per satu menghabiskan setiap batang yang ada.

“Niko…aku benci semua ini. Aku benci perang ini. Seharusnya dari awal aku tahu akan seperti ini jadinya.’ Isak tangis terdengar dari tempat Henry berada. ‘Aku tidak mengerti tentang perang ini. Mengapa…kita yang harus melawan mereka? Bukan aku yang berdosa, bukan aku yang menginginkan perang ini, benar ’kan Niko?”

“Sabarlah Henry.”

“Anakku masih kecil. Dia membutuhkan aku saat ini. Aku harus berada di rumah sekarang, seorang ayah yang baik seharusnya berada di rumah mendampingi anaknya dengan baik, bukan di sini!”

“Aku tahu Henry. Tapi ini sudah menjadi tugas kita.”

“Persetan! Aku tak peduli dengan siapa musuh kita. Lihatlah ini, mereka semua mati. Pikirkan bagaimana nasib keluarga yang mereka tinggalkan. Istri mereka. Anak-anak mereka yang masih kecil. Bagaimana juga dengan keluargamu, Niko? Perang ini sia-sia. Satu hal yang bagus mengenai perang adalah ketika itu tidak terjadi. Seharusnya kita tak di sini. Aku benci perang ini!”

“Sudahlah, Henry, jangan habiskan energimu. Aku tahu yang kau rasakan. Kau pikir aku juga tidak memikirkan nasib keluargaku di sana? Aku berdo’a untuk kebaikan mereka tiap hari.”

“Dan kemana perginya do’a-do’a untukmu, Nikolai?”

“Semuanya akan baik-baik saja, Henry. Jangan menangis lagi, bersabarlah.”

“Aku tak tahu, Niko, aku tidak menyukai ini semua.’

Dari kejauhan yang ditebali oleh asap terdengar suara jejak langkah sepatu yang menggema ke langit-langit kota. Suara itu melangkah dengan santai dan cepat menuju ke arah tempat mereka berada. Nikolai berjudi dalam hatinya, apakah ini musuh atau kawan yang akan menolongnya. Namun sosok tersebut belum jua terlihat dan suara langkah kakinya mengisyaratkan bahwa orang ini datang seorang diri. Nikolai mendadak panik.

“Siapa itu, Niko?” Henry berbisik dengan tegang.

“Aku tak tahu. Jangan berisik, Henry.”

“Apa yang harus kulakukan?”

“Berbaring saja di sana. Pura-pura mati. Aku tak tahu siapa yang datang. Tetap tenang.”

Derap langkah sepatu itu semakin mendekat. Nikolai setengah memejamkan matanya, berusaha mencari tahu siapa yang datang, sementara Henry diam tak bersuara. Suara itu perlahan mengeras menggetarkan gendang telinga Nikolai, ia terus meneriakkan do’a-do’a di dalam hatinya.

Dari balik asap kemudian muncullah sosok lelaki dengan kulit putih terang mengenakan setelan jas berwarna hitam yang berjalan dengan gaya yang angkuh. Rambutnya disisir ke belakang dan tertata rapih. Mukanya pun terlihat bersih dan cukup terawat. Ia memakai dasi berwarna merah. Secara keseluruhan, orang ini berpenampilan sangat formal dan jauh dari kesan menakutkan layaknya para musuh-musuh perang. Tetapi Nikolai tidak berani mengasumsikan siapa sebenarnya pria yang datang mendekat itu. Kali ini ia memejakan matanya dengan rapat, mencoba untuk terlihat seperti mayat teman-temannya.

Dari balik kegelapan, Nikolai merasakan pria berjas hitam itu kini sudah berada dekat dengannya. Pria itu berhenti melangkahkan kakinya dan mengambil posisi duduk di atas reruntuhan bangunan yang berserakan lalu menyilangkan kakinya dengan begitu elegan. Detak jantung Nikolai berpacu tak beraturan. Ia semakin penasaran karena pria itu tampak diam saja dan sepertinya sedang memperhatikan dirinya dengan teliti.

“Ah! Kalian berdua menyusahkan aku saja.” Pria itu berteriak. Kali ini Nikolai diliputi lautan kebingungan dan bertanya-tanya dengan siapa lelaki itu berbicara? Apakah ada orang lain yang datang ke sini selain dia?

“Hei, ayo bangun! Aku tahu kalian cuma pura-pura.” Pria itu kembali berteriak lantang. Mata Nikolai masih terpejam, ia semakin berhati-hati dan terus berdo’a. Apakah mungkin pria ini mengawasi dirinya dan Henry dari sejak tadi?

“Ayolah, Henry, Nikolai, buka mata kalian!” Nikolai terhenyak begitu dahsyat, jantungnya seakan naik-turun dengan kecepatan tinggi. Pria tersebut mengenali dirinya dan Henry. Pelan-pelan ia membuka matanya dan langsung menatap ke arah pria itu yang wajahnya tampak begitu bersih dan cenderung mengkilat. Ia tidak tahu siapa sosok lelaki ini, apakah berada di pihaknya ataukah mungkin adalah seorang musuh? Atau mungkin saja dia ini orang yang akan memberikannya pertolongan. Nikolai tampak semakin tegang.

“S-s-s-siapa kamu?” tanya Nikolai dengan gugupnya.

“Aku? Hahaha…Aku adalah malaikat,” ujar pria tadi.

“Siapa itu, Niko?” ujar Henry penuh keingintahuan. Ia tak bisa melihat pria itu karena punggungnya terhimpit tiang listrik.

“Dia ini… malaikat,” jawab Nikolai.

“Kamu serius?” Henry kebingungan.

“Kamu serius?” Nikolai menanyakan pertanyaan yang sama pada pria itu.

“Tentu saja aku serius. Justru kalian yang dari tadi bermain-main, pura-pura mati segala. Aku adalah malaikat penguasa daerah ini. Dan maksud dari kedatanganku ke sini adalah untuk membawa kalian berdua pergi dari tempat ini ke alam lain.”

Nikolai berhenti sejenak. Ia meresapi arti kalimat yang baru saja terucap dari bibir pria itu.

“Apa maksudnya alam lain? Maksudmu akhirat? Jadi, kamu ini malaikat maut? Malaikat pencabut nyawa?” tanya Nikolai lagi dengan tergesa-gesa.

“Terserah kau mau menyebutku apa. Yang jelas tugasku adalah membawa kalian berdua pergi dari sini dengan damai.”

Nikolai terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa kematian telah berada di dekatnya. Tak disangka hidupnya akan berakhir sesaat lagi. Diam-diam Henry membiarkan air matanya turun membanjiri wajahnya. Ia harus rela menerima kenyataan ini dengan penuh keikhlasan, karena ia tahu tak akan ada yang bisa menghentikan malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Suasana menjadi begitu sunyi, keduanya diam dalam perenungannya masing-masing.

“Tak perlu takut seperti itu. Memangnya apa yang salah? Semua orang pasti akan mati ’kan? Lihat saja, teman-teman kalian, mereka semua sudah mati. Jadi, apa yang perlu dikhawatirkan?”

Henry dan Nikolai tidak menjawab. Mereka kembali diam membisu seperti sebelumnya. Nikolai berusaha untuk tetap tenang dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman di atas punggung Hektor, walaupun ia sadar bahwa ia sedang mengalami ketakutan terbesar sepanjang hidupnya. Pikirannya berpencar menyusuri setiap kenangan dari masa-masa hidupnya yang telah lewat. Tanpa terasa semuanya berlangsung dengan begitu cepat. Bayangannya tertuju pada saat-saat indah dalam hidupnya yang lalu bercampur dengan pengalaman-pengalaman buruk yang telah membuat jiwa dan mentalnya semakin kuat dan semuanya menyatu dalam memorinya kini. Hidupnya yang bergelombang itu akan segera menemui garis akhirnya. Dan mau tak mau ia harus siap untuk menjalani kehidupan lain yang baru. Ia terus memikirkan mengenai tanah kelahirannya. Ia bahkan tidak sempat untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya di desa.

Malaikat itu menengok ke arah jam tangannya lalu berkata, “Baiklah, semuanya sudah disiapkan. Aku harus memenuhi jadwal. Yang pertama adalah kau Henry,” ujar malaikat itu dengan santainya. Ia lalu bangkit dari duduknya dan melangkah melewati mayat-mayat tentara menuju ke tempat Henry berada.

“Tunggu dulu!” Henry berteriak keras, “Apa maksudnya aku yang pertama? Aku masih kuat untuk bertahan. Aku masih sehat. Tidak mungkin aku mati hanya gara-gara ini. Lagipula, nanti pertolongan akan segera datang, benar ’kan Niko?”

“Ssst jangan berisik!” sang malaikat membalas. “Jangan cengeng, kamu adalah seorang prajurit. Semuanya sudah diatur dengan rapih dan aku harus mengikuti jadwal yang ada. Sebaiknya kau tenang, karena kau tidak akan merasakan apapun.”

“Tapi bagaimana dengan kedua anakku? Mereka masih kecil,” ujar Henry sambil menangis dengan sedih. “Aku tak rela bila harus meninggalkan anak dan istriku begitu saja. Berilah aku kesempatan lagi, kumohon!”

“Aku tahu, tapi tugas adalah tugas. Aku tetap akan melaksanakannya sampai beres.” Sang malaikat lalu mendekatkan telapak tangan kanannya ke atas punggung Henry dan mulai mengucapkan sesuatu.

“Nikolai! Apa yang harus kulakukan?” teriak Henry.

“A-a-a-aku tak tahu, Henry, aku tak tahu. Cobalah untuk berdo’a”

“Aku tak bisa berdo’a, apa yang harus kuucapkan?” Henry menjadi semakin panik.

“Ucapkan saja hal-hal yang baik,” kata Nikolai dengan perasaan iba.

Dari tangan malaikat itu muncullah seberkas cahaya terang yang begitu menyilaukan dan menyinari seluruh isi kota ini. Nikolai hanya bisa melihat dengan pasrah. Cahaya itu mengantarkan arwah Henry terbang ke langit luas dan melesat dengan secepat kilat. Badannya terkulai lemas bersamaan dengan percikan jejak-jejak jiwanya yang menghilang. Kini Henry telah tiada. Ia telah menjadi mayat seperti teman-temannya yang lain. Nikolai mengeluarkan air matanya, ia bersedih melihat satu-satunya teman yang masih tersisa harus pergi untuk selamanya.

“Selamat jalan Henry,” ucapnya seraya tersedu-sedu. Sekarang dirinya hanya tinggal berdua ditemani maut. Sang malaikat berbalik dan berjalan ke arahnya sambil menyunggingkan senyuman pada Nikolai.

“Dia sudah pergi sekarang. Semuanya berjalan lancar,” ucap sang malaikat sementara air mata terus menetes dari kedua mata Nikolai. “Jangan menangis, kau akan segera menyusul.” Malaikat itu kembali melihat jam tangannya lalu kembali duduk, “Kau punya waktu dua menit lagi sebelum lepas landas.”

Perasaan Nikolai mulai bercampur aduk. Ia berusaha keras melawan rasa takutnya dan terus mengucapkan do’a-do’a di dalam hati. Perang telah berakhir dan semuanya telah ditakdirkan untuk mati. Namun, setidaknya ia memiliki sedikit rasa bangga, karena dialah yang mati terakhir, walaupun ia harus menanggung penderitaan di kala harus menyaksikan semua temannya yang telah mati.

“Apa permintaan terakhirmu?”

“Aku ingin merokok.”

“Sayang sekali, aku tidak punya.”

“Mungkin temanku yang lain punya.”

“Hei, aku tak berhak menggeledah satu per satu temanmu. Aku tak punya izin untuk melakukan itu.”

“Aku haus.”

“Kau tidak akan bisa menemukan air minum di sekitar sini.”

“Kalau begitu, apa yang bisa kauberikan padaku?”

“Mmm…entahlah, beberapa nasihat mungkin.”

“Contohnya?”

“Manfaatkanlah sisa hidupmu dengan melakukan hal-hal yang berguna.”

“Sudah terlambat!”

“Oh ya?”

“Mungkin Henry benar, seharusnya kita tidak terlibat dengan perang ini. Seharusnya aku berada di rumah, membantu kedua orang tuaku dan melakukan hal-hal yang berguna lainnya. Aku menyesal ada di sini.”

“Hahahaha, dasar manusia! Selalu menyesali keputusannya sendiri.”

Matahari bergerak perlahan-lahan. Hari sudah mulai siang namun suasana masih tampak sunyi. Burung-burung berhenti bernyanyi dan terbang tinggi menuju arah utara. Lambat laun keringat di wajah Nikolai menguap. Badannya masih terasa sakit dan sulit digerakkan. Rasa pusingnya belum juga sirna. Nikolai berjuang sendirian menghadapi rasa takutnya yang begitu kentara. Sang malaikat terlihat begitu santai sejak tadi. Ia bersiul-siul menyenandungkan irama lagu yang riang. Sesekali ia tersenyum ramah ke arah Nikolai. Detik-detik sedang berlalu memantulkan kegelisahan batin Nikolai berkali-kali.

“Sebentar lagi,” malaikat itu beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Nikolai yang terbaring sejak tadi. Ia duduk di sebelah kanan Nikolai sambil terus memperhatikan jam tangannya. Sebentar lagi waktu Nikolai akan segera habis. Siap atau tidak ia harus merelakan hidupnya berakhir, karena dua menit adalah waktu yang sangat singkat.

“Tak bisakah ini dipercepat? Aku mulai bosan harus menunggu seperti ini.” Nikolai menatap ke langit dengan pandangan kosong melihat jalur yang akan ia tempuh saat arwahnya dicabut nanti.

“Sabar, aku harus melakukan segalanya sesuai dengan jadwal.”

“Apa yang harus kulakukan begitu aku sampai di sana?”

“Mmm…mungkin bersikaplah seperti saat kau hidup.”

“Lalu?”

“Yaa hiduplah seperti biasanya.”

“Apa yang akan aku temui di sana?”

“Orang-orang seperti biasanya.”

“Maksudmu seperti Henry dan yang lainnya? Bukan semacam monster atau peri-peri atau setan atau bidadari atau lainnya?”

“Kamu ini bicara apa? Semuanya akan berjalan seperti biasanya.”

“Aku tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang berbeda, kau hanya tidak mau memberitahuku saja ya ’kan?”

“Sebaiknya kamu siap-siap, waktumu sudah tiba.”

Sang malaikat menaruh telapak tangannya di atas perut Nikolai. Ia sedikit menekannya namun tidak terasa sakit, justru Nikolai tidak merasakan apa-apa, syarafnya seakan telah mati rasa. Berkas cahaya kembali muncul dari tangan malaikat itu, kali ini lebih terang dari yang sebelumnya. Perlahan Nikolai merasakan tubuhnya mulai terangkat-angkat dengan lembut seperti benda yang terombang-ambing dipermainkan ombak laut. Dirinya berada di antara dua fase yang sangat aneh bila dirasakan.

Nikolai menggenggam tangan malaikat itu lewat cengkraman lemah tangan kanannya,”Bila ini yang diinginkan Tuhan untuk terjadi padaku, maka biarkanlah semuanya berjalan dengan lancar.”

Mendadak setiap suara yang berada di sekitarnya menjadi sunyi senyap. Lubang telinganya seolah tertambal secara otomatis, karena ia sama sekali tidak dapat mendengarkan apapun. Ia berteriak, namun tidak ada bunyi yang keluar. Badannya bergetar hebat, kulit di tubuhnya tampak berkerut-kerut. Cahaya terang itu mulai merambat menyelimuti dirinya dari atas ke bawah.

Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa ia tengah melayang keluar dari tubuh asalnya yang terbaring tak bernyawa. Sekarang ia terperangkap dalam bentuk arwah manusia yang dingin dan ringan. Angin bertiup pelan menembus partikel-partikel tubuhnya yang transparan. Sesuatu menghisapnya dari langit dengan kekuatan mesin penghisap debu. Ia melesat kencang menabrak awan-awan di atas kepalanya. Masa kanak-kanaknya terproyeksikan dalam bentuk mosaik, saat ketika ia sedang berada di puncak sebuah pohon tua yang tinggi, dengan sehelai kain terbentang di punggungya, dan dengan gagahnya ia merentangkan kedua tangannya, ia berteriak bahwa ia akan terbang menuju ke bulan. Dan sekarang yang sedang ia lakukan adalah terbang menuju tempat yang tak terjangkau.

Ia bergerak masuk menuju sebuah lubang besar di atas langit.

***

Lubang itu membawanya ke sebuah tempat di mana ia bisa kembali mendengar suara berisik di sekitarnya dan segalanya tampak seperti langit yang biasa ia lihat di dalam hidupnya. Entah mengapa, kini ia berada di atas langit dan tengah meluncur dengan deras ke bawah. Bukankah tadi ia justru sedang terbang, tapi kenapa sekarang ia seperti sedang jatuh? Hukum gravitasi kembali mengambil alih. Jantungnya seperti sedang naik dan angin memuluskan dirinya yang terjun bebas.

Awan demi awan ia tembus. Kecepatan gerak tubuhnya semakin meningkat. Ia melihat ke bawah dan apa yang ia saksikan adalah kota yang sama seperti ketika dirinya tergeletak tadi. Tempat yang sama di mana teman-temannya dibantai. Dan tempat yang sama di mana ia dicabut nyawanya oleh sang malaikat. Bagai anak panah, ia terus melesat. Tak ada yang mampu memperlambat lajunya. Sampai akhirnya, ia menghujam bumi, menabrak masuk kembali ke dalam tubuhnya yang tergeletak lemah.

Seketika ia terbatuk-batuk. Sekarang ia merasa seperti semula, dengan sakit di badannya dan goresan di dahinya yang cukup dalam. Syaraf-syarafnya kembali bersambungan satu sama lain. Begitupun dengan jantungnya, kini telah berhenti naik-turun. Sinar matahari tepat mengenai wajahnya, menggoda kedua kelopak matanya untuk terbuka.

Dan saat ia membuka matanya, ia mendapati seseorang sedang menekan-nekan perutnya. Ia telah terlepas dari himpitan tiang listrik, badannya tidak lagi sulit untuk digerakkan, namun rasa sakit menyerang dirinya dengan hebat. Ia meringis menahan rasa perihnya lalu orang yang menekan perutnya itu berkata, “Nikolai? Syukurlah! Nikolai kau sudah siuman!”

“H-H-Hek…tor?”

“Letnan Simon! Nikolai sudah siuman!”

“Bagus! Tetap lindungi dia di sana. Tetap waspada di sana Hektor sepertinya musuh coba mengepung kita. Telepon perbatasan! Kita membutuhkan setidaknya 3 pleton tambahan!” Letnan Simon berteriak sambil merunduk di tengah dentuman suara bom dan letupan senjata api yang melatarbelakangi suasana di kota ini. Hektor meraih senjatanya dan berlindung mencoba menghindari peluru yang berdesing kencang. Sesekali ia mengintip keluar dan menembakkan senjatanya ke arah musuh.

“Tetap berbaring Nikolai, kau akan segera diobati.”

Nikolai hanya menatap Hektor. Ia heran karena kawannya masih dalam keadaan bugar dan hidup. Begitu juga dengan Letnan Simon yang tampak begitu bersemangatnya di seberang sana. Api berkobaran di mana-mana. Suara gaduh menggema di telinganya. Perang masih berlangsung. Semuanya masih hidup, dan perang belum berakhir.

Dirinya telah kembali berada di dunianya, di alam di mana seharusnya ia berada, yaitu kenyataan. Perang adalah hidupnya dan ia harus menjalaninya sampai benar-benar selesai. Nikolai mencoba untuk mengambil posisi duduk. Di tengah usahanya itu secara tak sengaja ia berpapasan mata dengan Henry yang juga tengah terbaring tak jauh dari tempatnya. Keduanya saling berpandangan. Kemudian Henry menyunggingkan senyum ke arahnya, dan Nikolai membalasnya dengan kedipan mata.

by;arki atsema

Tidak ada komentar:

Posting Komentar