Selasa, 05 Oktober 2010

minim

Dua pesawat tempur dari jenis yang sama berkutat di udara, yang satu mengejar yang lainnya. Mereka masuk ke dalam awan besar nan tebal, namun pekatnya awan putih itu bukan halangan bagi keduanya untuk terus bergulat. Sang ‘indra keenam’ menunjukkan dengan pasti posisi dan gerakan lawannya sampai keluar dari gumpalan tersebut.

Pesawat tempur yang berada di belakang melontarkan peluru dari kanonnya sebanyak lima kali, tapi tak ada satu pun yang mengenai sasaran. Di daratan beberapa staf dan personil menyaksikan dengan cukup tegang.

“Kau memasuki wilayah udara kami, keluar sekarang juga atau akan kami tembak dengan rudal sungguhan!” ujar pilot pesawat yang ada di belakang melalui saluran komunikasi.

Pesawat tempur musuh segera melakukan manuver untuk menghindarinya dan melakukan manuver lagi hingga tepat berada di belakang pesawat yang mengejarnya tadi dan seketika itu juga langsung menguncinya.

“Aku dikunci! Aku dikunci!” pilot itu panik, jantungnya berdebar lebih cepat dari getaran pesawatnya sendiri.

“Sial!” umat orang-orang di bawah sana. “Menghindar! Menghindar!”

Sambil mengikuti dan menempel dari belakang, pesawat menyebalkan itu terus mengunci targetnya untuk beberapa lama. Tiba-tiba suara sang komandan terdengar di dalam kokpit pesawat tempur musuh dan monster besi itu pun pergi meninggalkan calon korbannya, pulang ke kapal induk yang berlayar di tengah lautan.

***

Negara itu marah-marah, tidak terima atas penerobosan wilayah udaranya. Di dalam istana, pejabat yang berwenang mengutuk dan menuntut penjelasan serta permintaan maaf dari pihak penerobos. Dan harus disampaikan di hadapan media.

Kelompok penerobos memberikan pernyataan bahwa mereka tidak menerobos wilayah udara siapa pun, tidak menerobos wilayah udara mana pun dan kejadian yang barusan itu hanya patroli rutin. Tanpa terdengar adanya permintaan maaf sedikit pun! Isyarat maaf juga tidak terlihat.

***

“Kurang ajar!” bentak seorang komandan di dalam ruang rapat, “berani sekali satu pesawat tempur mengajak bermain-main dan menakut-nakuti kita!”

“Yang menerobos memang hanya satu, tapi di belakangnya? Ada kekuatan penuh!” sahut anak buahnya.

Komandan itu membuang nafas, “Iya, kau benar. Kita masih menjaga hubungan, itu sebabnya kau hanya memberi tembakan peringatan.”

“Seandainya pun menggunakan rudal sungguhan, aku tetap kalah! Semua cantelan senjata di pesawat penerobos itu diisi dengan rudal-rudal paling bagus, sedangkan di pesawatku hanya dipasangi empat rudal kelas rendah. Dua di kiri dan dua lagi di kanan. Ditambah, pesawat tempurku itu seharusnya sudah diservis pada angka 1.000 jam terbang, tapi sampai sekarang masih digunakan untuk patroli.”

“Ya, ya,” komandan itu mengangguk-angguk, “itulah kondisi kita.” Lalu komandan itu berkata, “Pulanglah, hari ini sudah cukup.”

***

Pilot itu turun dari bus di depan pintu masuk kampungnya, lalu melangkah menyusuri jalanan asri yang sedang sepi itu. Dalam perjalanannya menuju rumahnya yang sederhana, pilot itu bertemu dengan seorang tetangga yang cukup akrab dengan dirinya.

“Hai, Mas. Jalan kaki?” sapa si pilot, “tidak naik motor?”

“Motorku ada di rumah,” jawab tetangganya sedikit lesu, “motorku itu sudah waktunya diservis tapi aku sedang tidak punya uang, maklum, servis di bengkel biasa saja sudah mahal apalagi kalau servis di bengkel remi. Lebih baik uangnya buat makan.” Tetangganya itu menambahkan, “Sebetulnya motor itu masih bisa digunakan, tapi saya takut terjadi sesuatu. Kecelakaan di tengah jalan bisa parah akibatnya.”

Sampai di persimpangan keduanya berpisah, menempuh arah masing-masing.

Buat makan? Pilot itu termenung, pontang-panting di udara menggunakan pesawat yang ‘kelaparan’. Negaranya baru mampu memberikan gizi pada beberapa burung besi saja.

Pilot itu memasuki pekarangan rumahnya yang terbuka dan hanya diberi pagar sekadarnya, walaupun begitu nampaknya sang istri menyukainya. Katanya jadi terlihat lebih luas dan menyatu dengan kampung itu.

“Suamiku…,” sapa istrinya yang khawatir dari depan pintu rumah, “kamu baik-baik saja, kan?”

“Ya, puji Tuhan. Aku masih utuh.” Si suami memeluk istrinya pelan, lalu mengecup bayi di dalam perut ibunya.

“Sudah makan?” tanya sang suami di depan perut besar itu.

“Sudah,” istrinya mengangguk.

“Sudah dicium?”

Istrinya tersenyum dan mencubit pundak pilot cintanya dengan mesra, keduanya masuk ke dalam. Bidadari di rumah itu memandikan kakandanya, lalu menyiapkan makan sore untuk sang kesatria hati. Selesai makan, pilot itu istirahat di lantai atas. Dari lantai bawah istrinya berkata, “Aku ke warung dulu ya?”

Suaminya mengijinkan. Dari jendela lantai atas, pilot itu melihat seorang tokoh masyarakat yang berwibawa melintas di garis luar pekarangannya.

“Permisi Mbak, numpang lewat,” ujar tokoh itu dengan sopan pada istrinya tuan rumah yang sedang menutup pintu.

Istri yang baik hati dan pintar itu membalas senyum sang tokoh yang dihormati dan terkadang arogan itu. Di lantai atas, kepala keluarga rumah mungil itu menutup tirainya dengan kasar setelah melihat sopan santun di bawah sana, di pekarangannya. Hatinya sedang kesal, dendam.

***

Dengan gagah dan bersemangat, sang pilot kembali ke kokpitnya dan menekan beberapa tombol sampai pesawat tempurnya aktif. pilot itu mengarahkan pesawatnya ke landasan pacu dan memanaskan mesinnya di sana.

Setelah mendapatkan ijin terbang, pilot itu memacu pesawatnya dan sebelum landasan berakhir, burung besi itu sudah melayang sampai di ketinggian yang diinginkan oleh sang joki.

Matanya memandang kagum pada hamparan angkasa biru dan daratan luas nan elok di bawahnya. Pilot itu berkata dengan lirih, “Mari, datanglah lagi. Aku akan melayanimu. Aku siap membela tanah air ini, surga ada di kokpit ini.”

Kali ini pesawat tempurnya hanya membawa dua rudal kelas standar, satu di sayap kiri dan satu lagi di sayap kanan.


by;saptron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar