Tiap detik malam ini semakin membuatku sadar terhadap apa yang seharusnya kusadari. Menapikan jejakku yang hanya serpihan kecil di tengah padang ilalang. Terlalu mikroskopis dibanding hegemoni semesta, sebuah tirani yang selama ini justru ter-tirani.
Ujung pulau Jawa bukan ujung segalanya. Tapi sejauh mata memandang hanya tampak oasis ujung yang juga sedang mencari ujung. Serpihan titik terang di kubah langit tampak anggun menjadi koreografi atap. Mereka berkolaborasi menertawakan kita yang terlalu berfantasi hingga terlena dalam fana. Terlalu lemah di hadapan ombak yang tak pernah berhenti berlari, terus bergulung-gulung, dan saling berkejaran. Meskipun pada akhirnya pecah dan terdispersi di bibir pantai. Atau terhempas karang terjal yang secara de facto terjal yang menghadang dengan frontal.
Kehadiranku disini bukan realisasi dari amor fati. Justru sebaliknya. Mungkin absolut 180 derajat berbeda. Aku masih ingin berdiri di hamparan pasir putih dan mewujudkan mimpi. Aku masih ingin visualku melihat saat bahagia yang ingin kucapai. Dan aku masih ingin tertawa bersama mereka yang kucintai.
Perhatikan sisi timur. Inikah filasafat alam yang sebenarnya selalu tersaji di hadapan kita namun sering terabaikan? Cahaya, yang hampir selalu mendapatkan konotasi positif, justru datang dari bawah. Meskipun sebelumnya gelap, ketika dari sudut pandang kita sudut elevasinya semakin besar, ruang kita akan semakin terang. Sudut elevasi? Ya, sudut antara sebuah garis dengan proyeksi tegak lurusnya pada sudut tertentu dengan suatu sumbu sebagai acuan. Ternyata seperti itu. Rasanya aku sudah mendapatkan konklusi absurd namun masif. Jadi aku harus lebih membuat usaha untuk membuat proyeksi itu. Aku harus menjemput cahaya!
by;hamzah maulana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar