Selasa, 05 Oktober 2010

360 derajat dari bibir

Aku akan bertemu dia di sini. Kami sudah berjanji akan bertemu di tempat ini setelah kami melewati tiga tahun bersama dan satu tahun perpisahan ini. Di tahun tiga kebersamaan kami, dia memutuskan untuk pergi ke kota metropolis, kota yang selama ini selalu ditakutinya dan meninggalkanku di sini. Dia berjanji padaku akan datang kembali ke tempat ini; tempat ia meninggalkanku tepat di hari ke-360.

Aku yakin dia akan datang. Tiga tahun kurasa cukup untuk mengenalnya sebagai orang yang selalu berusaha menepati janji. Terutama janji yang diucapkannya sendiri dan sungguh-sungguh. Aku menatap orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang bermesraan, ada yang saling kecup saling raba, ada yang hanya diam, ada yang bermain air laut walau malam hampir larut.

Kulirik jam tanganku, hampir jam sebelas malam. Biasanya dia sudah datang di pantai ini sebelum jam sepuluh. Walaupun demikian, aku masih yakin dia akan tetap datang.

Kukeluarkan sebatang rokok dan kusulut. Apinya memercik ke warna hitam malam. Kuhembuskan asap rokok perlahan dengan nikmat. Di hadapanku sebotol vodka yang belum di buka. Aku akan menunggunya datang untuk membukanya dan kami akan minum bersama-sama.

Dia orang yang sangat kuat menurutku. Deraan hidup tak membuat senyum di bibirnya benar-benar hilang. Hanya saja, persahabatan kami yang (baru) tiga tahun ini mengajarkanku bahwa di balik itu semua, dia menyimpan rapat-rapat kepahitan. Vodka dan rokok adalah teman setianya selain aku. Selain pantai dan gunung.

“Sorry telat. Aku baru sampai bandara Adi Sutjipto jam delapan tadi. Aku langsung ke sini. Pesta sudah mulai?”

“Selalu menunggu sahabat sejati!”

“Ya. Hanya sahabat sejati yang pantas dinanti ‘kan?”

Aku tertawa.

“Kalau cinta sejati?”

“Maybe,” kataku sambil tersenyum sambil mengangkat bahu.

Kami lalu berpelukan. Aku bisa mencium bau perjalanan jauhnya.

“Bau? Aku belum mandi. Hehe.”

“Tu aer banyak banget. Mandilah kalo kamu mau. Sepuasnya. Gratis!” kataku sambil menunjuk lautan lepas.

Dia tertawa.

“Ayo kita mulai!”

“Kamu nggak istirahat dulu?”

Dia menggeleng.

“Aku memang capek, tapi semangat dan rasa gembiraku sudah memulihkan tenagaku. Aku baik-baik saja. Ayo kita mulai!”

Kami pun bangkit. Kusandangkan tas berisi perlengkapan mulai dari senter, tali, sampai teman setia kami: vodka dan rokok. Dia juga menyandangkan tasnya, dan aku tahu kalau isinya sama dengan milikku.

Kami berjalan menyusuri pantai. Seperti tiga tahun kebersamaan kami. Kami berjalan selama satu jam hingga tak ada yang bisa kami jumpai selain bibir pantai dan gelap malam. Kami sudah menjauh dari hiruk pikuk pantai yang penuh pengunjung.

“Istirahat ya….”

Dia mengangguk.

Kami merebahkan diri pada pasir pantai yang basah. Mata kami menatap langit malam. Rasanya mustahil menghitung bintang yang berkedip di atas sana. Aku menyulut rokok dan menawarinya. Ternyata dia sudah menyalakan rokok lebih dulu. Kami merokok diam-diam.

Hampir dini hari ketika aku akhirnya duduk dan membuka botol vodka. Kami tidak pernah minum vodka dengan campuran. Jadi, aku langsung menegak minuman itu. Rasa hangatnya menjalar di leherku. Dia duduk dan meraih botol dalam genggamanku lalu menegaknya.

Kami merokok dan menegak minuman itu hingga habis tiga botol dalam diam. Lalu, saat aku membuka botol keempat, dia berkata sambil menoleh padaku.

“Kamu benar. Aku nggak menemukan apa-apa di Jakarta.”

Aku menegak vodka dan menyalakan rokok untuk kesekian kalinya seraya menunggunya meneruskan kata-katanya.

Dia mengela nafas berat lalu merebahkan dirinya di pasir pantai. Samar aku mendengar dia menangis tersedu tapi jelas suaranya ditahan. Aku menoleh. Aku melihat kerapuhannya. Aku merasa aku harus melindungi dia. Mana bisa orang semanis itu harus patah. Mana bisa orang yang diam-diam kusayangi itu begitu sakit. Aku ikut merebahkan diri di sampingnya. Aku memiringkan badanku menghadapnya dan mencoba untuk mengerti berat bebannya.

Dia memiringkan badannya menghadapku dan sesuatu menarik kami untuk saling berangkulan. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba aku menyadari kalau bibirku telah mengulum bibirnya yang mungil itu. Tanganku pun membelai mesra rambutnya yang panjang indah. Aku merasakan lekuk tubuhnya, hangat payudaranya, ramping pinggulnya, juga indah pantatnya.

Ketika ciuman panjang yang memabukkan itu (mungkin lebih memabukkan daripada vodka yang kami minum) berakhir, kami saling menatap. Matanya yang hitam kelam itu menatapku dan bibir mungilnya bergetar. Aku mengusap rambutnya. Kudengar ia berkata lirih.

“Aku salah Kak. Aku salah tidak mendengarmu. Aku harusnya tahu kalau aku hanya bisa aman bersamamu. Aku menderita sekali ketika aku menyadari aku merindukan Kakak. Aku merana sekali ketika aku menyadari aku berpikir mungkin kakak sedang bersama gadis lain. Selama aku pergi, Kakak bersama siapa saja?”

“Aku nggak ingat Dek. 360 hari. Yang jelas, aku nggak pernah pergi dengan perempuan lain Dek. Selalu hanya dengan teman-teman kita. Kau boleh tanya pada mereka esok. Aku menghabiskan waktuku dengan pantai dan gunung. Aku menunggumu Dek. Dalam kesepian juga. Aku juga merasakan bahwa aku nyaris gila karena mengira di sana engkau pergi dengan…”

“Tadinya aku berpikir begitu. Mencari penggantimu. Tapi aku ternyata nggak bisa Kak,” dia memutusku.

Kami berciuman lagi.

“Aku baru tahu kalau engkau nggak cuma sahabatku. Engkau nggak cuma orang yang kupanggil dan kuanggap kakak saja. Engkau ternyata punya posisi lebih di hatiku Kak. Aku mencintaimu dan aku yakin kalau aku gila kalau aku kehilanganmu.”

Aku melepaskan pelukan. Badanku kaku. Aku langsung duduk. Kuraih botol, kutenggak vodka dan dengan gugup kunyalakan sebatang rokok.

“Kenapa Kak? Kau menolak perasaanku?”

“Tapi itu kan nggak mungkin Dek.”

“Kenapa Kak? Kita saling menyayangi dan bahkan kita saling mencintai kan? Kita saling mencium, saling meraba. Bahkan lebih dari itu kita pernah melakukan itu. Kau mau mempermainkanku ya?”

“Nggak. Aku sayang kamu Dek. Tapi aku menyadari kalau aku salah kalau … Dek, kita nggak mungkin berhubungan lebih dari kakak dan adik.”

“Kenapa Kak?”

“Karena aku menganggapmu adalah adikku sendiri.”

“Apakah seorang yang menganggap aku sebagai adiknya akan menciumiku juga?”

“Sorry buat itu semua. Aku…”

“Kau juga mencintaiku Kak. Kau pernah bilang itu!” Dia berdiri. Sempoyongan. Cepat aku berdiri dan merangkulnya sebelum dia jatuh. Tapi ia segera menepis tanganku dan berjalan menjauh. Kutahan tangannya.

“Dek. Aku memang pernah mengatakan kalau aku mencintaimu. Kita juga berciuman, saling raba, dan bahkan melakukan itu. Tapi Dek, setelah kau pergi setahun ini, aku merasa akan lebih baik kalau kita tidak meneruskan ini. Paling tidak aku tidak meneruskan perasaan macam ini. Ini nggak boleh terjadi Dek. Kau adikku bukan?”

“Kita cuma kakak beradik angkat Kak!”

“Iya. Tapi. Aku nggak mau.”

“Kau menolakku Kak?”

Aku menatapnya. Rasanya hatiku terhantam tsunami dari pantai indah ini. Mata beningnya menatapku dalam-dalam.

“Apakah 360 hari ini telah memberimu suatu perubahan besar Kak?”

Aku diam tak tahu harus menjawab apa.

“Apakah sebegitu dalamnya rasa kecewamu padaku Kak, sehingga kau menolakku?”

“Aku nggak menolakmu Dek.”

“Lalu apa namanya itu?”

“Aku hanya menolak hubungan yang lebih dari kakak dan adik. Aku… aku menganggapmu sebagai adikku. Aku salah Dek, karena aku pernah mengungkapkan perasaan itu padamu. Lalu ketika kau memutuskan untuk pergi, aku… aku…”

“Kau sakit hati padaku kan Kak?”

Aku diam. Angin malam berdesir. Sayup-sayup terdengar ombak menghantam karang.

“Kau sakit hati padaku Kak. Oh, seandainya kau tahu akan jadi begini. Aku menyesal pergi Kak.”

“Tidak. Kepergianmu membawaku pada perenungan-perenungan akan hubungan kita. Aku mengkaji kata-katamu bahwa aku adalah kakak terbaikmu. Aku merasa tidak pantas menjadi seorang yang dianggap kakak yang baik tapi akhirnya menyatakan cintanya. Maafkan aku. Aku salah padamu. Pantas jika kau meninggalkanku. Sekarang, saat kau kembali, aku ingin memperbaiki itu Dek. Aku nggak mau memaksamu. Aku akan tepis rasa cinta ini. Ini mungkin salah Dek.”

“Tapi, aku sekarang mempunyai perasaan cinta yang sama denganmu Kak. Ataukah kau sudah tidak memiliki itu?”

“Perubahanmu banyak sekali Dek. Kau dulu menolakku bukan?”

“Ya. Dan aku sekarang sudah berubah 180° Kak. Aku berubah untukmu.”

Aku diam.

“Aku harap engkau tidak berubah. Kalau kau ingin berubah, berubahlah 360° untukku Kak. Kau mau kan Kak? Atau kau mau cinta kita ini dibawa laut lepas itu?”

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku memang pernah mencintai dia. Tapi itu dulu. Setahun ini aku berjuang untuk mencintai diriku sendiri dan lawan jenis. Aku tidak bisa mencintai dia yang sama memiliki payudara sepertiku.


by;red widi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar