Minggu, 25 September 2011

satu tuhan banyak agama

Di tengah sengkarut hubungan antaragama, Timur-Barat, dan arus modernisme dengan tradisionalisme—yang semua jelas menjurus ke arah pertarungan global, kita sebagai warga dunia jelas membutuhkan jalan keluar alternatif, paling tidak, mampu menjembatani-menengahi pertemuan dua kutub yang saling berlawanan tersebut. Kalangan ateis dan agnostik saat ini, boleh saja menuding agama sebagai biang keladi kerusakan bangunan pikiran dan tata kelola hidup kita di masa kini. Namun mereka tak bisa menutup mata tentang kontribusi besar agama terhadap adab manusia selama ribuan tahun.

Gagasan Ibn ‘Arabi, Rumi, dan Al-Jîlî, yang diulas dalam karya ini, layak untuk dijadikan tolok ukur kefasihan kita dalam beragama. Karena agama bukan melulu perkara normatif belaka. Tapi juga tentang sebuah laku spiritual yang dampaknya jelas akan terasa dalam kehidupan. Ketiga sufi besar itu sama berkeyakinan bahwa pada ranah transendental, semua agama memiliki kesatuan esensi, namun kemudian termanifestasi jadi sekian ragam perbedaan. Sedari objek sesembahan, ritus, kitab suci, dan dampak eskatologisnya. Lantas bagaimana kemudian kita bisa menemukan titik temu dari sekian titik perbedaan itu? Bagaimana pula kita bisa memahami Tuhan yang Nirbentuk; yang tampak pada sesembahan; yang dipahami; dan Tuhan Yang Tak Terpahami?

Buah pikiran Media Zainul Bahri, doktor dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini, adalah kisah lain dari betapa agama masih tetap relevan untuk terus dibincangkan. Baik secara serius atau bahkan sambil lalu. Jika mau mencermati inti dari sebuah agama secara menyeluruh, niscaya kita akan menemukan bahwa di balik itu, ada kedamaian yang tersembunyi, keharmonisan, dan kebahagiaan universal. Selagi agama masih dianggap penting, dan kita tetap menjadikannya sebagai lokus utama berkehidupan, buku ini layak untuk dicermati, ditelaah, direnungkan secara baik dan benar.

“Karya ini membuktikan bahwa para sufi, seperti diwakili Ibn ‘Arabī, Rūmī dan Abd al-Karim al-Jīlī, adalah kelompok Islam yang paling toleran, penuh simpati, terbuka, dan ramah terhadap agama non-Islam. Siapa pun yang ingin mengkaji konsep kesatuan transenden agama-agama, karya yang ditulis seorang sarjana Indonesia ini, layak dijadikan rujukan.”
—Prof. Kautsar Azhari Noer, Guru Besar Perbandingan Agama UIN Jakarta.
sumber;mizan