Pagi itu, tumben-tumbennya Dita melenggang di koridor kampus. Tempat yang sudah begitu asing dan memuakkan baginya. Tempat yang telah kehilangan identitasnya sebagai wadah bagi para intelektual. Basecamp bagi kaum hedonis yang ingin menambah sebuah titel di depan dan belakang namanya tapi terkadang sulit (baca:tak mau) mempertanggungjawabkannya. Sang pecahbelah membalut tubuh dengan baju super ketat hingga menggambarkan sketsa tubuhnya yang aduhai, melukis wajahnya dengan makeup yang super tebal. Sang batangan tampil pula dengan make up, parfum menyesakkan hidung. Mengukur segalanya dari materi. Superlente.
Sementara itu, Haekal masih berkeliaran di kampus ini, meski Surat Keputusan bahwa ia diskorsing selama dua semester telah diterbitkan oleh birokrasi. Ia pun seakan pasrah menerima keputusan ini, meski setiap saat nuraninya berontak. Ia tak menyangka, harus menjadi tumbal para pecundang kampus ini. Demi kelangsungan lembaga yang katanya milik semua mahasiswa, ia bergerak dalam aksi perlawanan, menuntut hak yang dirampas paksa. Tapi… apa yang di dapatnya sekarang? Hanya sebuah “surat liburan” yang memuat namanya dan tiga orang lainnya. Siapa yang peduli? Tidak, tak seorang pun. Bahkan mereka yang dulu berkoar-koar dengan idealisme kemahasiswaannya seakan tutup mulut, tutup mata dan tutup telinga. Tak ada yang terjadi, tak ada. Tak ada perlawanan, ini hal biasa dan mesti diterima dengan lapang dada. Mahasiswa telah kehilangan taringnya.
Apakah mereka pernah merasa sakitnya dikhianati (sekali lagi dikhianati)? Hah…
###
“Apa kabar Dit?” sapa Haekal.
Dita terhenti. Lalu berbalik ke arah sumber suara, di depan pintu ruangan kelas. Kemudian membalas pertanyaan itu dengan senyum simpul.
“Lama tidak keliatan, dari mana saja?”
Sekali lagi Dita hanya menjawab dengan senyum. Malas berkomentar.
“Kamu siapkan jadi kandidat ketua lembaga periode depan?”
“Hng..” Dita menaikkan alis dan menkerutkan dahi.
“Mana pantas?” masih dengan wajah penuh keheranan. Dita melangkah mendekati Haekal.
“Oh ya, calon ketua BEM kan? Bagaimana berkasnya? Sudah siap?” Kini raut wajahnya penuh pengharapan. Katakan iya untuk semua pertanyaanku.
“Kayaknya pake transkrip nilai semester lalu saja.”
“Cukup?”
“Lebih”
“Berapa?”
“Seratus SKS.”
“Syaratnya berapa?”
“Delapan puluh SKS.”
“Wow…, baguslah”
Haekal menatap Dita. Dukung aku ya…
“Aku yakin, kamu bisa memberi reneisence bagi lembaga kita.”
“Terima kasih.” Diam sejenak. “Sudah mau selesai ya? Kok jarang ke kampus? Wah.. mau selesai tepat waktu neh?”
“Hahaha… selesai tepat waktu?” Dita menggeleng. “Da` lah…, masih banyak kuliah yang keteteran, malas saja masuk kampus! Aku ingin menikmati masa mahasiswaku. Aku lebih sepakat dengan kalimat ‘selesai pada waktu yang tepat’.” Dita tersenyum.
Haekal menatapnya lekat. Dia makin manis ketika tersenyum.
“Selesai pada waktu yang tepat! Hmm… boleh juga.”
“Hmm… kuliahmu bagaimana?” tanya Dita.
“Entahlah! Semester lalu, tak satu pun nilaiku yang keluar, gara-gara status ‘terancam DO’ masih tidak jelas. Sekarang, SK skorsing 2 semester sudah keluar, berarti sama dengan 3 semester tidak kuliah. Hmm… lumayanlah kurang lebih 50-an SKS terlewatkan.”
“Sabar, semua ada hikmahnya. Dengan jatuh, seseorang akan tahu persis apa dan bagaimana berdiri. Iya kan?” Kedua alisnya naik turun disertai senyum.
Haekal mengangguk. Kamu memang cerdas Dita.
“Tapi entahlah Dit. Kadang kesal juga.”
“Kenapa?”
“Kamu pernah dikhianati?” Tanpa menunggu jawaban, Haekal melanjutkan, “Di ruang diskusi mereka berorasi dengan argumentasi yang meyakinkan. Berkata, satu kata untuk penindasan, lawan. Menyeruput kopi lalu menghembuskan asap rokok sembari menyampaikan idealisme-idealisme apologi. Tetapi, ketika ancaman akademik menggaung, mereka malah lari terbirit-birit dan bersembunyi. Aku baru sadar Dit, apa yang dikatakan senior sejak aku masih menggenakan baju hitam putih, semuanya BOHONG!”
Dita memperhatikan setiap kata yang dikeluarkan Haekal.
“Huzz… memang sih, tak semua yang kamu dengar itu benar tapi bukan pula semua yang kamu dengar itu salah.” Dita menyembunyikan raut wajah ibanya. Aku yakin, Haekal tak ingin dikasihani.
“Dit, rasa kecewa itu menguasaiku. Mengoyak hati. Membakar emosiku.”
Aku tahu Haekal
“Kepercayaan yang kubangun sejak berstatus sebagai mahasiswa seketika runtuh oleh setitik nila pengkhianatan.” Haekal membuang mukanya. “Aku tak takut diskorsing Dit, bahkan di DO sekalipun. Asalkan semua itu berbuah sebuah PERUBAHAN. Bukan malah membuat teman-temanku menjadi PECUNDANG!”
Dita bungkam, ia mengangguk-angguk kecil.
“Aku tak takut sendiri Dit, tapi bukan esensi itu yang kita cari kan? Ikatan emosi, kebersaman, kekompakkan, hnng… kata-kata itu makin membuatku sakit hati. Mereka, semuanya, menghilang begitu saja. Berempati pun tampaknya enggan.” Haekal begitu emosi. Dia terdiam sejenak, meredakan emosinya yang mungkin sudah di ubun-ubun.
“Tapi syukurlah!” Senyum melecehkan. “Malah dengan kejadian ini, aku sadar bahwa mereka yang kerap mengkritisi kaum hedon, mengejek sapi kapitalis, ternyata lebih MUNAFIK, EGOIS. Berlogika hanya di mulut. Berfilsafat hanya di hadapan junior. Hnngg…” Memicingkan matanya.
“Sabarlah. Mereka belum mendapatkan waktu yang tepat saja.”
“MUNGKIN” Raut muka kecewanya terlihat jelas.
Dita menatap Haekal. Mengirim isyarat. Yakinlah Haekal, kamu bisa melewati ini. Haekal yang kukenal tak sepesimis itu.
“Tapi… Mengapa aku menceritakan semua ini sama kamu?” Haekal keheranan sendiri.
“Tidak semua orang bisa berdiri di atas kedua kakinya, Haekal.”
“Benar juga.”
“Ya… iyalah”
“Aku sulit percaya pada orang lain Dit. Apalagi setelah merasakan pahitnya sebuah pengkhianatan. Tempat ku berbagi hanya keluarga. Ayah, ibu, kakak dan adikku. Serta…,” kalimatnya menggantung.
Dita membelakkan mata, penuh rasa penasaran.
“Serta orang yang ada di hatiku.”
by;inarti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar