Selasa, 05 Oktober 2010

rindu bayangan

Semilir angin berhembus, ombak lautan menderu, menjilat-jilat bibir pantai, berperan sebagai soundtrack malam yang gulita. Bintang menyebar di hamparan langit hitam sesekali pancarannya berkilat, tersenyum manja kepada siapa saja yang memandanginya. Dua orang itu masih berdiri, berjauhan, memandangi selat Makassar yang luas sejauh mata memandang. Jauh disana, nampak lentera kecil berwarna-warni menghiasi, berbaris tak teratur, mungkin cahaya itu dari sebuah pulau yang keduanya tak tahu namanya.

Mereka masih tetap bertahan untuk berdiri di bibir pantai, tak jua menyerah dan menyewa salah satu balai bambu yang sengaja di sediakan di atas tanah berpasir itu. Tempat ini, Pantai Bayam, adalah salah satu pantai berpasir yang tersisa. Pantai Losari telah dirias dengan beton, tak lagi alami dengan pasir yang kerap menjadi ciri khas sebuah pantai. Mereka ingin menikmati wewangian khas butir-butir pasir pantai bersama deru ombaknya yang terdengar begitu nikmat di telinga, maka motor pun melaju ke tempat ini. Sayang, tempat yang indah ini belum di kelola baik oleh pemerintah, banyak pungutan-pungutan liar yang kadang meneriakkan kantong pengunjung. Setelah membayar retribusi masuk, setiap warga yang datang juga wajib membayar biaya parkir yang lebih mahal dari tarif yang diberlakukan PD Parkir. Untuk duduk di balai bambu yang sederhana itu pun, dikenakan biaya 15 ribu sekali pakai, oleh karenanya mereka tetap berdiri menikmati malam.

Farel meneguk minuman kaleng di tangannya, cairan itu menyentuh setiap dinding kering di tenggorokannya menciptakan rasa segar yang luar biasa. Ia menghembuskan nafas panjang, sesekali ia menatap Fitri yang tak jauh darinya. Ada perasaan yang tidak pernah ia mengerti kerap menghampiri ketika ia bersama perempuan ini. Mungkin rasa bahagia atau rasa senang, entahlah, yang ia tahu, hatinya selalu damai saat bersama perempuan ini. Berbeda saat perempuan itu tak bersamanya, ia menjadi begitu tersiksa bahkan ia merasakan sebuah virus yang didefinisi bernama rindu, malamnya pun menjadi sangat panjang dan lama. Seakan tak rela hatinya untuk berpisah dengan wanita yang di tatapnya itu.

Fitri menatap ke hamparan laut dengan pandangan kosong. Dari ekor matanya ia tahu pria berbaju putih itu memandanginya, tapi ia tak begitu peduli. Malam ini, kembali ia harus berkelana menghabiskan malam dengan lelaki itu. Beberapa kali ia menolak, bahkan tak jarang ia melarikan diri sebelum sang pria itu mengajak untuk pergi tetapi sang pria tetap memaksakan kehendaknya dan tak pernah menyerah untuk membawa Fitri pergi bersamanya. Dalam keterpaksaan itu, ada hal lain yang membuat Fitri menikmati setiap perjalanannya bersama pria ini.

SyG lg ngapain ki?

Sebuah SMS menghampiri perempuan berbaju putih itu. Seulas senyum bahagia langsung terukir di wajahnya. Pria yang jauh dari tempatnya berada sekarang, kembali menghubunginya. Pria yang mampu meluluhkan hatinya, pria yang selalu ada di pikirannya, pria yang mampu membuat ia mampu dan berani mengucapkan, “Saya sayang ki juga”. Jari-jari Fitri sibuk menekan keypad hapenya dan membalas SMS sang pria pengirim SMS.

Ada rasa dongkol kerap menyapa hati Farel saat melihat wanita itu sibuk dengan telepon selulernya. Sejenak ia kembali sadar, untuk bisa bersama perempuan ini saja ia sudah cukup bahagia mengapa ia harus pusing dengan hal sepele semacam itu. Ia melangkah mendekati perempuan itu dan mengajaknya meninggalkan tempat yang tidak begitu nyaman. Tanpa kata, sang perempuan mengikuti jejak sang pria di depannya masih dengan kesibukannya menekan keypad-keypad di hapenya.

Motor Shogun itu melaju, membelah jalan beraspal. Sinar lampu jalan menyirami sepasang manusia itu. Farel selalu ingin membalap motornya tetapi rasa takut kadang menghampirinya, bila saja ia membuat perempuan yang di boncengnya akan jatuh. Mengajak perempuan ini untuk duduk di sadel motornya saja sangat sulit, apalagi jika perempuan itu terjatuh bahkan terluka, maka ia tak ada harapan lagi untuk menggandengnya.

Fitri menikmati angin yang berlawanan dengan laju motor. Lamunannya menembus dimensi ruang dan waktu. Ia membayangkan pria di depannya adalah seseorang yang ada di hatinya. Selalu saja begini, setiap ia duduk di belakang pria ini, ia membayangkan duduk di belakang pria yang lain. Postur tubuh Farel memang tak jauh berbeda dengan postur tubuh pria itu. Hal itu yang membuat Fitri kerap mengejek Farel seperti tripleks yang di tambahkan kepala, kaki dan tangan, sebuah ejekan yang sebenarnya ia katakan kepada pria lain itu. Farel yang suka melajukan motornya dengan kencang makin mengingatkan Fitri pada pria lain itu yang kerap bercerita kepadanya tentang balapan motor. Farel dan pria itu memang tak jauh berbeda untuk masalah hobi, otomotif.

Mereka tiba di anjungan Pantai Losari. Setiba disana mereka sudah di berikan karcis parkir dengan harga yang jauh lebih murah dari tempat mereka tadi. Ketika sebuah ruang publik sudah di kelola baik oleh pemerintah, segalanya memang akan terasa lebih nikmat. Public space sudah tentu akan sesuai dengan konteksnya sebagai ruang publik yang bisa di nikmati siapa saja. Kedua anak manusia itu melanjutkan kelananya malam ini di tempat itu. Disini memang lebih nyaman, lampu terang menyinari dengan tempat duduk yang sudah tersedia di mana saja. Meski harapan untuk pasir pantai dan deburan ombak tidak lagi terasa.

“Pusing lagi?” tanya Fitri kepada Farel. Percakapan keduanya berlanjut di sebuah tempat duduk berbentuk setengah lingkaran di tengah anjungan. Satu hal yang membuat Farel selalu menantikan perempuan ini dalam setiap waktu kehidupannya adalah bentuk perhatian yang kerap terucap dari mulut perempuan itu. Sejak di kampus tadi, ia mengomentari wajah Farel yang kusut bahkan ia tak pernah berhenti bertanya jika melihat wajah Farel terlihat pusing. Perhatiannya pada hal-hal yang kecil yang kadang di abaikan oleh orang lain yang membuat Farel sangat membutuhkan Fitri.

“Katanya tadi pagi mata ta merah?” Fitri bertanya lagi.

“Siapa yang bilang?” Farel balik bertanya.

“Tadi, anak-anak di kampus.”

“Oh…, tadi malam kurang tidur!”

“Saya kira habis menangis deh!” ucap Fitri cuek lalu disambung dengan tawa renyahnya.

“Saya memang cepat terharu, Fit,” Tiba-tiba Farel bersuara. Fitri menatap wajah pria itu dari samping. “Air mataku sebenarnya cepat keluar,” suara Farel mengecil. Fitri tampak terharu, Farel balik menatapnya. Empati perempuan tersebut makin membuatnya terguguh.

Dalam hati, Fitri kembali mengingat pria lain itu. Ia membayangkan pria itu yang mengeluarkan kata-kata tadi. Beberapa kali ia memang mendapati sang pria menangis tetapi hanya melalui telepon. Susunan kata itu tentu saja akan membuatnya menyamakan kedua pria ini.

“Tapi bukan tangisan cengeng, tetapi sebuah ungkapan kesyukuran!”

Lagi-lagi Fitri mendapati alasan yang sama, alasan Farel dan alasan pria yang selalu menelponnya, alasan yang diungkapkan untuk tangis mereka.

Fitri mendekap lututnya. Angin laut membuatnya kedinginan. Sesekali badannya bergetar untuk menghilangkan dingin. Farel menatap perempuan di sampingnya. Berulang kali sudah ia katakan perasaannya, bahwa ia jatuh cinta para perempuan ini, tetapi sang perempuan hanya menyambut dengan tawa yang membuat Farel down.

“Kedinginan?” Farel bertanya. Fitri hanya menggeleng.

Farel menghembuskan napas, ia menatap ke depan. “Sakit tidak mau bilang, dingin tidak mau bilang, susahnya deh! Memang begitu kalau orang keras kepala.” Farel mengakhiri kalimatnya dengan menatap Fitri.

“Keras kepala ka kah?” Fitri takjub dengan pernyataan Farel. Farel hanya mengangguk. Pria lain memang sering menyebutnya si keras kepala, Fitri tersenyum lalu mengetuk-ngetuk kepalanya. “Memang keras!” Farel mengeleng-geleng melihat perilaku perempuan itu. Dengan wajah polosnya, Fitri kadang-kadang berbuat aneh hingga membuat Farel tak sanggup menahan senyumnya. Hal itu pulalah yang membuat Farel selalu merindukan Fitri untuk berada di sampingnya.

Diam kembali menguasai malam di antara sepasang manusia itu. Fitri menopang dagunya di atas lutut yang ia dekap. Farel memalingkan kepala memperhatikan perempuan di sampingnya.

“Kenapa diam lagi?” tanya Farel.

“Orangnya memang pendiam kenapa mesti cerewet!” jawab Fitri cuek.

“Biasanya cerewet.” Sang perempuan hanya menggeleng kecil mendengar tanggapan itu.

Fitri menatap Farel. Kadang ia iba melihat lelaki di sampingnya itu. Perasaan tak bisa dipaksakan, begitulah ungkapan yang kerap di katakan orang. Entah apa yang membuat Fitri luluh dengan pria yang selalu menelpon dan mengirimkannya SMS. Berulang kali ia bertanya bahkan ia telah bosan bermain-main dengan logikanya tetapi tak jua ia temukan jawabannya. Fitri hanya tahu bahwa ia menyayangi pria itu, tak ada yang lain. Meski Farel dan Fitri telah berkenalan dan selalu bersama sejak dua tahun terakhir, tetapi lelaki di balik telpon itu lebih dulu mengungkapkan rasa sayangnya kepada Fitri.

Keduanya terpaku bersama mulut yang terkatup. Hanya pikiran mereka berdua yang tetap bergerilya untuk apa yang belum juga mereka mengerti. Malam itu pun berakhir seperti biasa, Farel mengantar Fitri pulang. Farel tak pernah memiliki kesanggupan saat melihat perempuan itu turun dari sadel motornya dan bergegas memasuki rumah yang bercat krem. Sebenarnya Farel belum merelakan Fitri meninggalkannya sendiri di malam ini. Malam Farel akan terasa sangat panjang tanpa kehadiran perempuan itu. Sayangnya, Fitri tak pernah ikhlas jalan bersama pria itu.

Turunnya Fitri dari motor Farel sama dengan mengganti dunianya. Secara fisik, sikap, hobi, perhatian dan kasih sayang dari kedua pria ini memang hampir sama. Bukan maksud Fitri untuk menyamakan keduanya hanya saja keadaan membuatnya harus menjalani ini. Jalan bersama Farel mampu menepis rindunya kepada pria lain di sudut kota yang jauh dari tempatnya berada sekarang.

***

Waktu bertemu akhirnya tiba lagi. Detik-detik yang selalu indah bagi Farel tidak bagi Fitri. Farel menatap Fitri lekat hingga menggetarkan hatinya. Debaran jantungnya terdengar makin nyaring di telinga. Bibirnya kembali kaku, tak mampu berkata sepatah katapun. Padahal beberapa menit sebelumnya, ia menguasai percakapan di tempat itu. Seluruh sel darahnya terasa kesemutan untuk melakukan atraksi-atraksi yang tadi sangat menghibur orang-orang di sekitarnya. Magnet perempuan itu memang begitu kuat. Ia mampu menyihir dan melumpuhkan Farel yang terlampau aktif hanya dengan sebuah tatapan atau senyuman.

Bergegas Farel beranjak dari tempatnya sebelum sang wanita pergi terlalu jauh. Meski sebenarnya ia masih ingin menghabiskan waktu di tempat itu, tetapi naluri memaksanya untuk segera mengikuti Fitri. Segera ditancapkannya kunci ke badan motor, membunyikan motor shogunnya dan segera menancap gas. Mesin motor itu pun menderu memecah malam. Seketika suara mencicit terdengar, ia me-rem motornya ketika cahaya lampu menyinari Fitri.

Lagi-lagi Farel harus berusaha keras untuk mengajak perempuan itu kembali pulang bersamanya. Hal yang hampir di lakukan setiap hari. Berbagai alasan telah ia sampaikan, tetapi Fitri selalu saja mengelak. Walau kadang-kadang ajakan itu berakhir dengan keterpaksaaan Fitri untuk duduk di sadel motor lelaki itu. Hari ini juga ia harus mengatakan sesuatu kepada Fitri.

***

Mereka tiba di sebuah warung. Mereka hendak melahap nasi goreng, makanan favorit mereka. Setiap orang punya resep dan cara yang berbeda untuk mengolah nasi goreng. Rasa dan perpaduan setiap bumbu-bumbu yang digunakan untuk mengolahnya pun beraneka ragam. Hingga hasil akhir seperti warna dan variasinya, setiap orang punya caranya masing-masing. Meski demikian, namanya tetap sama, nasi goreng. Mungkin cinta seperti itu. Setiap orang menawarkan cinta dengan rasa dan caranya masing-masing. Hasil akhirnya pun berbeda-beda namun semuanya tetap satu, yaitu cinta.

“Saya sayang ki Adik!” Tiba-tiba Farel mengucapkan kata-kata itu. Fitri melotot, hampir saja ia tersedak mendengar kata-kata itu.

“Sadar je ki kah? Hahaha… pasti lagi ndak waras ki ini e.” Fitri ketawa renyah meski sebagai wanita ia merasakan perasaan yang tak mampu terungkapkan dengan kata-kata saat mendengar kata-kata itu. Menggetarkan hatinya.

“Betulan ka ini!”

Fitri masih tertawa mencoba menghalau rasa groginya. Tetapi tawa renyah perempuan itu malah membuat Farel semakin grogi dan membuatnya kembali bungkam. Di tariknya napas panjang kemudian di hembuskannya. Sekali lagi, ia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Butuh banyak kalori untuk mengeluarkan kata-kata itu tepat di hadapan Fitri hingga membuatnya mengucurkan keringat tetapi respon Fitri bukan membuatnya membaik tetapi memperburuk keadaannya.

Sekali lagi, Farel mencoba memberanikan diri. Sejenak ia menutup mata kemudian berkata, “Mau ka jadi pacar ta, mau je ki?” Hffuuu… Farel merasa seperti mengeluarkan seonggok tumor dari dalam hatinya.

Seketika telepon seluler milik Fitri berdering, “Ada mi calon suamiku Kak, ini e menelpon mi, mau ki bicara?”

Hati Farel terasa remuk berkeping-keping. Apalagi ketika melihat wajah Fitri yang begitu sumringah saat berbincang dengan lelaki di balik telepon itu. Senyum bahagia selalu terukir di wajah wanita itu membuat Farel semakin dongkol. Nasi goreng yang menjadi favoritnya itu pun tak lagi mampu masuk di kerongkongannya.

“Mau ki bicara sama dia?” tanya Fitri kepada Farel sambil menawarkan hape. Farel hanya menggeleng, tangannya sibuk menekan piring dengan garpu di genggamannya. Pertanyaan yang diajukan Fitri barusan terasa begitu menyakitkan bagi Farel. Hatinya terasa remuk-remuk seketika itu juga. Lebih baik ia mendengar kata, “Mau ki ku bunuh?” dari pada harus mendengar kalimat barusan. Percakapan yang terdengar bahagia itu terasa membuat hati Farel yang teriris tersiram air cabe. Percakapan di telepon itu pun berakhir ketika Fitri mengucapkan salam.

“Dek, lamami ku pendam perasaanku ini… Hmm… Tapi mau mi di apa, bukan saya yang kita pilih. Dek, takkan pernah ka berhenti berjuang sebelum dia benar-benar menjadi suami ta. Biarkan ka tetap sayang ki nah, bisa ji toh?” suara Farel terdengar bergetar.

Fitri hanya diam, ia tak tahu apa yang mesti di jawabnya.

Farel menatap Fitri begitu dalam. Adik, bisa tetap sayang ki, merupakan kebahagian mi untuk saya. Saya tetap yakin selamanya, kita selalu ada di hatiku, saya tetap yakin, guman Farel dalam hati.

Ada perasaan yang bergejolak di hati Fitri. Ada rasa yang ia tak mengerti yang mengganggunya ketika Farel menatapnya seperti itu. Tetapi bayangan lelaki di balik telepon masih mendominasi merubah segala rasa yang sempat berkecamuk. Banyak hal yang membuat Fitri tetap memilih lelaki yang telah menjadi kekasihnya itu. Semuanya sudah terlambat. Farel terlalu lama mengungkapkan perasaannya meski belum tentu Fitri bisa menerima Farel seperti ia menerima lelaki yang selalu menelponnya itu.

“Habiskan mi nasi goreng ta Dek!”

“Kita iya?” tanya Fitri balik.

“Kenyang ma, ndak mau mi masuk!”

“Kenyang ma juga, banyak sekali porsinya! Mbak, tolong dibungkus.”

Farel masih menatap wanita di hadapannya. Sulit untuk menerima kenyataan mencintai namun tak bisa memiliki, tetapi ia harus menerima kenyataan ini.

Farel kembali mengantar Fitri pulang ke rumahnya. Akhir yang selalu terjadi dalam hari-hari perjalanan mereka. Tetapi kali ini, bukan hanya perasaan tidak ikhlas ketika mengembalikan Fitri ke keluarganya tetapi Farel juga di hadapkan pada kenyataan pahit bahwa perempuan itu tak jadi miliknya. Malam ini, mungkin menjadi malam yang sangat panjang baginya. Malam yang membuat hatinya remuk dan hancur berkeping-keping. Namun malam ini juga membuatnya yakin, suatu hari Fitri akan menjadi miliknya.

“Terima kasih Kak!” ucapan lembut itu pun mengakhiri pertemuan mereka malam ini.

***

Sejak pertemuan terakhirnya bersama Farel malam itu, Farel tak pernah menemuinya lagi. Hanya SMS-SMS sapaan yang dibaca Fitri setelah membaca SMS dari kekasihnya. Ataukah telepon dari Farel yang sengaja diputuskan atau ditolaknya ketika sang kekasih kembali menghubunginya. Tetapi ada gejolak berbeda yang dirasakan Fitri, ia merindukan sosok berfisik itu, entah itu Farel ataukah lelaki yang menjadi kekasihnya.


by;inez

Tidak ada komentar:

Posting Komentar