Selasa, 05 Oktober 2010

cicatrik autopsi

Hari yang cerah pagi ini ketika tiba-tiba kurasakan bekas lukaku ini kembali berdenyut-denyut. Luka ini tampak memerah di dadaku, menandakan kemungkinan adanya infeksi. Akhir-akhir ini udara kota Hames dingin, menyebabkanku perlu menyediakan beberapa anti-histamin, untuk mengurangi gejala alergiku. Lagi-lagi luka ini. Luka ini kembali mengingatkanku pada dia, sang pemilik biola itu. Praktikum akan segera dimulai satu jam lagi. Sambil merapikan bukuku, kutengok jam tangan antik yang melingkar di tangan ini. Jam menunjukkan pukul 15.00 sore. Segera kulangkahkan kakiku menuju ruang praktikum anatomi yang terletak di sebelah utara gedung rehabilitasi penyakit jantung tersebut. Kurasa waktu satu jam tidak terlalu singkat bagiku untuk berjalan-jalan sejenak ke gedung sebelah.

Gedung rehabilitasi penyakit jantung, gedung ini sudah dibangun selama hampir 145 tahun ketika penjajahan Inggris. Sebenarnya lebih tepat jika bukan disebut gedung rehabilitasi penyakit jantung saja karena beberapa pasien bukan hanya berpenyakit jantung saja, tapi lebih kepada pasien dengan penyakit yang tidak mungkin disembuhkan, apapun penyakitnya. Gedung ini terdiri dari 4 blok dari blok A sampai blok D dimana di halaman tengahnya terdapat sebuah auditorium terbuka dengan patung seorang gadis sedang memainkan biola Stradivariusnya. Kucoba mengingat kembali tampaknya aku mengenalnya, tapi entah kapan. Akhir-akhir ini hawa dingin sering menyerangku dan rasanya membuat pikiranku melayang tak karuan.

Ruang Stradivarius namanya, agak aneh namanya. Namun entah mengapa hari ini sepi tak ada seorangpun di dalam gedung ini, serasa aku hanya melayang sendiri di gedung tua ini. Kukeluarkan biola tuaku, warisan keluarga turun-temurun. Sejenak aku berpikir lalu kumainkan lagu itu, Ave Maria. Walaupun aku seorang muslim yang religius, namun aku sangat menyukai lagu ini. Lagu yang sangat menyayat hati.

Tak terasa satu jam berlalu aku memainkan simfoni ini berulang kali sampai tak kusadari, aku lupa bahwa ada praktikum bedah kadaver hari ini. Aku merasa asyik melihat ruangan auditorium itu, kemudian aku menuju ruangan sebelah yang tampak lebih seperti kamar yang didisain dengan sangat privat. Kata teman-temanku, ruangan itu dulunya bekas kamar seorang gadis pemain biola yang meninggal karena serangan jantung dan kamar itu terlarang untuk dimasuki. Naluriku mendorong untuk masuk kesana. Namun, ketika baru sempat aku buka pintu ruangan itu, seseorang tiba-tiba menepuk bahuku. Spontan saja aku kaget lalu kututup kembali pintu itu. Yang aku ingat hanya tulisan “evangelis…” kemudian sebuah nama lain.

“Maaf Nona, anda tidak boleh memasuki ruangan ini,” kata laki-laki itu. Ketika kulihat wajah laki-laki yang sudah amat tua itu, sepertinya aku mengingat sesuatu yang sudah lama sekali, namun aku lupa.

“Maaf, maaf sekali Tuan, saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya ingin lihat-lihat,” kataku sambil takut-takut memandang matanya.

Ketika kupandang wajahnya yang tampak sangat tua itu, ia tampak terkejut. Kemudian hampir seperti memekik, ia berkata, “Nona Cliffian, bagaimana mungkin?” katanya terbata-bata. Ketika kutanyakan padanya tentang apa yang baru diucapkanyya, laki-laki itu kemudian dengan cepat-cepat beranjak meninggalkanku.

* * *

Kota Hames terlihat tenang pagi ini. Serasa tidak asing lagi, rumah sakit ini membawa harumnya bunga-bunga Lily yang ditanam di tengah komplek rumah sakit ini, rumah sakit dengan empat blok gedungnya, masing-masing dinamai blok A sampai blok D. tiba-tiba suster Hana datang membuka pintu geser itu.

“Selamat pagi Cherry, bagaimana keadaaanmu hari ini? Aku membawakan bunga Lily yang ditanam mamamu di taman rumah sakit,” katanya.

“Waah, trima kasih suster Hana, aku pasti menyukainya. Tapi, tanggal berapa sekarang?” tanyaku sambil memandangi indahnya bunga Lily yang dipetik Mama.

“Hmm, sekarang tanggal 25 Desember. Bagaimana kau bisa lupa? Hari ini kan Natal.,” jawabnya sambil mengelus kepalaku. Kemudian ia beranjak pergi menjauhi tempat tidurku untuk membuka jendela.

Kemudian aku terdiam tak menjawab apapun. Aku teringat bahwa saat ini, aku telah menjadi seorang muslim. Senang sekali rasanya, walaupun hal ini terjadi karena ibuku menikah lagi dengan seorang laki-laki yang berasal dari tanah penghasil rempah-rempah itu. Aku bahagia dengan keluarga baruku walau rasanya hidupku tidak akan bertahan lama lagi.

Sebentar lagi ulang tahun Mama, namun sayangnya Ayah tak akan sempat datang untuk merayakannya. Ia ditugaskan ke negeri seberang. Sebagai gantinya aku mempersiapkan beberapa kejutan bagi Mama. Aku berencana untuk membawakan beberapa simfoni di hadapannya dan aku ingin memainkannya di taman bunga Lily itu. Tiba-tiba, ada seseorang mengetuk pintu.

“Tok..tok..”

“Hai Cherry, bagaimana kabarmu? Teman-teman kangen dengan biolamu. Sudah agak lama kita tidak berkumpul lagi,” kata Vane sahabatku yang sering mengiringiku bermain simfoni itu. Kami satu sekolah. Tiba-tiba saja ia datang membawakanku seikat bunga Mawar.

“Hmm, maaf akhir-akhir ini penyakitku memburuk. Aku berencana untuk berhenti dari sekolah musik saja. Bagaimana menurutmu?” kataku sambil memandang keluar jendela.

Demikianlah hari-hari kujalani. Sudah sangat lama aku tinggal di rumah sakit ini. Agaknya penyakit jantungku semakin bertambah parah dan kami baru mengetahuinya bahwa aku menderita penyakit kongenital ini 3 tahun yang lalu. Untungnya Mama selalu menemaniku. Aku bersekolah di sekolah musik di kota sebelah. Suatu saat aku ingin menjadi pemain biola profesional agar bisa membantu Mama. Yah, setidaknya membelikannya beberapa baju baru untuk ulang tahunnya. Umurku memang masih muda, tanggal 10 januari 1698 nanti umurku genap 19 tahun. Sebelum dokter mengatakan tentang penyakitku ini, aku masih sempat bekerja paruh waktu sebagai pembersih rumah sakit ini. Aku sering menghibur beberapa nenek yang dirawat di rumah sakit, setidaknya untuk meringankan beban hati mereka dengan alunan biolaku.

Kucari biola Stradivariusku, biola yang dibelikan mendiang ayahku 7 tahun yang lalu. Kemudian kuturuni tempat tidur bersprei putih itu dan menuju taman bunga Lily yang terletak ditengah gedung rumah sakit tak lupa aku membawa buku diari kesayanganku. Kutengok kanan dan kiri jalan kecil menuju tengah taman itu, tampaknya lengang sekali. Kemudian aku duduk di tengah taman dan kukeluarkan biola kesayanganku. Kata orang biola Stradivarius adalah yang terbaik, dibuat secara eksklusif oleh Antonio Stradivari. Biola itu tersusun dari kepingan pohon Maple, Spruce, dan Willow serta sedikit campuran logam untuk menyeimbangkan simfoni yang dihasilkannya. Aku mainkan lagu itu lagi, Ave Maria. Senandungnya membuatku melayang, membuatku lupa akan betapa pendeknya hidupku ini. Setelah selesai memainkannya, kubuka buku harianku dan kutuliskan,


by;dewi wahyuningtyas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar