Selasa, 05 Oktober 2010

pikiran itu pilihan

Jika ada satu teori yang sangat saya mutlakkan kebenarannya, adalah premis dari Rasulullah SAW, bahwa musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri.

Karena hanya diri saya sendiri, hanya mengatakan bahwa saya tidak pantas mendapatkan perlakuan yang baik dari kekasih saya.

Karena hanya diri saya sendiri yang terus mencari-cari saat, kapan kekasih saya akan menyakiti, lalu ia akan berkata, “Nah! Apa saya bilang.”

Karena hanya diri saya sendiri, yang menghujat terus menghujat kegagalan saya mencapai target pekerjaan hari ini.

Karena hanya diri saya sendiri, yang berteriak kencang bahwa saya tidak akan pernah menjadi istri yang baik.

Karena hanya diri saya sendiri, yang tak berhenti memarahi saya sebab tak juga mencapai ekspektasi profesi yang direncanakan.

Karena hanya diri saya sendiri, yang memaki-maki bahwa seumur hidup, saya tidak akan menjadi ibu yang penyayang dan tidak akan ada keluarga yang hangat untuk saya.

Karena hanya diri saya sendiri, yang menyatakan bahwa hidup saya akan dihabiskan secara ironis dengan melupakan impian dan secara heroik akan mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain.

Karena hanya diri saya sendiri, yang terang-terang meledek bahwa sikap kaku dan dingin saya sifatnya permanen.

Karena hanya diri saya sendiri, yang menguak kembali satu persatu alasan mengapa saya pantas dikhianati.

Karena hanya diri saya sendiri, yang bisa mengemukakan dengan begitu seringnya penjelasan-penjelasan logis dan rasional yang akan bulat-bulat saya telan, dan percaya pada semua hal diatas.

Tapi di satu titik ada rasa marah dan muak yang luar biasa terhadap setan di kepala, dan saya sadar semuanya hanya masalah frekuensi.

Penjelasan rasional dan logis tidak selalu tunggal. Di kala ada penjelasan negatif, ada juga penjelasan positif. Mata uang selalu punya dua sisi.

Di kala saya bilang saya tidak akan punya keluarga yang hangat karena saya dibesarkan dalam keluarga yang dingin, sebenarnya saya bisa menjawab, ”Setiap orang punya kesempatan untuk merubah hidupnya.”

Di kala saya bilang saya tidak akan menjadi ibu yang baik dan keluarga yang hangat hanya ilusi, sebenarnya saya bisa melawan, ”Mengapa tidak bisa? Saya bisa belajar bersikap hangat, belajar memasak, belajar mengurus anak, belajar caranya belanja. Bukankah yang terpenting adalah memandang masa depan dengan solusi, bukannya meratapi masa lalu?”

Dan di kala saya bilang saya tidak pantas mendapat perlakuan sebaik ini dari kekasih saya, sebenarnya saya bisa dengan lantang berkata, ”Salah besar. Saya pantas. Karena saya memang berharga.”

Stephen J.Losier, Stephen Covey, Rhonda Byrne, Karim Hajee, Erbe Sentanu dan Rasulullah – yang sudah mendahului mereka semua dalam berteori – berkata benar bahwa karakter adalah masalah habit (kebiasaan). Kebiasaan mengulang pikiran negatif, akan menghasilkan karakter serupa. Sejalan dengan itu, kebiasaan mengulang pikiran positif, akan menghasilkan karakter yang optimis.

Itulah sebabnya motivator, trainer, dan penulis tadi berkali-kali menekankan pentingnya latihan berpikir positif dilakukan sesering mungkin. Dengan Alpha wave CD, lembar kerja afirmasi, manuver cara pikir lewat memutar-mutar semantik, hipnotis, dan beragam teknik lainnya.

Well, i tried all the options. I did. Saya mencatat hal positif di jurnal selama 40 hari lebih, menghipnotis diri sendiri lewat audio CD, meditasi, menghabiskan waktu bersama orang-orang yang positif (above all, ini cara yang PALING membantu), nonton film komedi, menata pikiran lewat menulis acak, mengisi lembar kerja Stephen J.Losier, dan beratus teknik alih pikiran lainnya. Dan ketika semua itu tidak berhasil, saya marah luar biasa dan bertanya dengan sangat kencang: JADI YANG KAMU MAU ITU APA?!

Ya, semua memang terpulang kembali pada pilihan. Hidup bahagia dengan pikiran positif atau terus menerus dihantui pikiran negatif yang menggerogoti setiap inci konsentrasi – yang seharusnya bisa lebih dimanfaatkan untuk hal-hal positif.

Sesering itu pula, saya menjawab, “Are u silly? Tentu saja saya mau pikiran positif.” Namun prakteknya, saya menikmati pikiran-pikiran negatif itu, karena afirmasi pikiran negatif memberi makan ego dan logika saya. Bahwa penjelasan rasional saya benar. Ah begitu pendeknya saya berpikir. Padahal ego dan logika saya bisa sedemikian kotor, karena seringnya saya kotori. It’s a matter of habit.

Dan pilihannya ada pada saya, untuk menyapu, mengelap, dan membersihkannya sekarang juga, atau terus menunda dan menikmati masokisme, lalu hidup menderita.

Bukankah perang terbesar, adalah melawan diri kita sendiri?

***

Bahkan sampai saat saya menulis ini pun, pilihan saya untuk berpikir positif belum tegas. Saya yang menulis ini adalah si orang ketiga, yang menghabiskan tenaga dengan menganalisis dan mengamati saya (yang melakukan) yang sedang murka pada saya (pelaku). Dan saya pun mulai curiga apakah saya sedang tercerahkan atau sekedar in the midst of caffeine hangover (i hardly consumed coffee until today, jadi lagi euforia).

Anyhow, i decided that mulai saat ini saya tidak akan berhenti mengintimidasi. Saya tidak akan berhenti murka dan marah atas pikiran-pikiran negatif di kepala saya. Saya tidak akan pernah berhenti memeranginya. Karena negatifnya diri saya, akan menjalar ke orang tua, kekasih, adik, para sahabat, dan orang-orang di sekitar yang saya sayangi. Cukup sudah menganiaya diri sendiri, jangan pula menganiaya orang lain – melalui diri sendiri.

Mudah-mudahan konteks firman ini benar, karena saya langsung teringat Al-Ankabut ayat 40:” Dan Allah tidaklah sekali-kali hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri-diri mereka sendiri“ (QS. Al Ankabut:40).

Dan persis seperti orang yang kehabisan uang dan tesasar di daerah yang menakutkan, langkah pertama adalah mengakui saya butuh bantuan. Kembali pada Sang Khalik Yang berkuasa penuh atas diri ini.“Ingatlah, bahwa hanya dengan selalu mengingat Allah, hati menjadi tentram.” (QS. Sr-Ra’du: 28)

Pasrah untuk mengakui diri ini sungguh ’sakit’ adalah dasar pertahanan untuk melawan. Setelah pasrah dan ikhlas, barulah perlawanan bisa dibangun. Perlawanan dengan niat mengikuti perintah-Nya untuk tidak menganiaya diri sendiri. Ikhlaslah, lalu minta bantuan-Nya. Sesungguhnya Ia Maha Tahu.


by;jurnal cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar