Selasa, 05 Oktober 2010

pesan seorang ayah

Langit mendung. Petir bersahut-sahutan bergema mengguncang bumi. Hujan turun dengan deras. Malam yang tak nyaman untuk beranjak meninggalkan rumah dan waktunya menemukan kehangatan yang tersaji dalam kebersamaan keluarga. Sesuatu yang tak bisa didapatkan seorang pria yang menunggu kematian menjemputnya. Ada rindu yang tak terbalas dan menggumpal pada dada Suherman. Bagai petir yang mengamuk lebih dari kilatan cahaya itu di atas langit. Menggeroti kekuatan tubuhnya yang semakin lemah akibat penyakit diabetes yang dideritanya. Semua orang menangis. Semua orang meneteskan air mata untuk sesosok tubuh yang terbaring di ranjang itu. Pria yang memiliki hati layaknya segenggam emas atau berlian itu terbujur kaku disiksa rindu pada anaknya. Semua orang hampir mengadukan pada Tuhan tentang ketidakadilan yang menimpa pada jiwa yang selalu mendamaikan hati mereka.

Semua orang mencela Wahyu yang tetap bersikeras tidak mau mengunjungi ayah kandungnya. Apakah tak ada rasa kemanusiaan di hati anak itu melihat ayahnya sekarat. Mengalir bagai air yang bening di sungai. Mengalir bagai udara yang bertiup ke segala arah. Hati Wahyu tetap menjadi tembok kokoh. Sulit ditembus oleh angin topan dan peluru meriam mana pun. Kebencian dalam hatinya telah memupuskan perasaan lembut seorang anak. Menghapus jejak masa lalu yang penuh keindahan.

“Kapan dia akan datang? Suruh dia menemui ayahnya yang sedang merindu. Katakan aku sangat mencintainya,” lirih Suherman membisiki telinga sahabat lamanya.

“Ya, aku akan sampaikan pada Wahyu,” kata Cahyo yang sama-sama rambutnya beruban putih dan telah mengarungi samudra kehidupan bersama. Sungguh persahabatan yang indah.

Cahyo dengan sisa semangat dan harapan akan kesediaan Wahyu menemui ayahnya mantap coba menggapai harapan Suherman. Dia menemukan Wahyu sedang menghabiskan waktu bersama keluarganya di rumahnya. Rumahnya yang sederhana. Tak terlalu besar tapi cukup membahagiakan bagi keluarga kecil yang dibangun Wahyu. Rumah yang dihasilkan dari jerih payahnya menjadi guru SD selama bertahun-tahun. Kini rumah itu mendapat kunjungan seseorang yang telah lama dikenal pria tersebut.

“Aku senang Paman datang bersilaturrahmi ke rumahku,” kata Wahyu bangga.

“Ya, aku juga senang mengunjungimu. Aku senang melihat anakmu yang tampan seperti ayahnya. Istrimu yang cantik. Hidup yang mapan. Hidup yang sempurna untuk seorang pria,” puji Cahyo tulus.

“Terima kasih. Kita harus mensyukuri karunia Allah SWT, aku berdoa Paman selalu diberi kesehatan dan panjang umur.”

“Amiiiin. Apa kau tak merindukan seseorang?” tanya Cahyo.

“Siapa?” balik tanya Wahyu sangat penasaran.

“Seorang pria yang telah mengabdikn hidupnya pada masyarakat. Dia dulu pernah merasakan nakalnya tangan mungilmu mencabut jenggotnya. Tangan itu mengelus dadanya yang ramping saat memeluk tubuhmu. Memberimu kasih sayang yang tak ternilai harganya. Kasih sayang yang hanya bisa diberikan seorang ayah seperti Suherman. Temui dia sekarang karena menurut firasatku Tuhan akan segera memanggilnya. Jangan sampai kau menyesal, kesempatan untuk bertemu dengannya hanya saat ini.”

“Apa Paman sudah selesai berpidato? Kalau sudah selesai, silakan tinggalkan tempat ini!” usir Wahyu dengan kemarahan. Paman Cahyo telah membuka kembali cerita kelam hidupnya. Puluhan orang mendatangi rumahnya hanya untuk memintanya menjenguk ayahnya di Rumah Sakit yang terletak di pusat kota. Tak jauh dari rumahnya.

Cahyo pulang dengan kegagalan untuk membujuk sang anak menemui sahabatnya. Dia kembali mengingat masa lalu yang dialami keluarga sahabatnya itu. Suherman menikah di usia muda. Keputusan yang berani di kala dirinya lebih memilih untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Suherman merasakan kebahagiaan hanya sekejap mata. Beban hidup mulai menghimpit. Gali lubang tutup lubang sudah biasa dilakukan. Berbagai usaha dan kerja keras untuk memenuhi tanggung jawab sebagai pemimpin rumah tanggga dikerahkan dengan segenap kekuatan. Meski akhirnya pria itu pasrah. Menyerah pada keadaaan yang teramat sulit dia ubah. Tiba-tiba Suherman mengambil langkah yang mengejutkan Cahyo.

“Aku ingin menikah lagi,” kata Suherman pagi itu.

“Yang benar saja, itu tidak mungkin. Lantas bagaimana nanti anak dan istrimu?” ungkap Cahyo.

“Istriku yang menginginkan pernikahan ini,” ujar Suherman yang sulit dipercaya oleh Cahyo. Mana ada seorang istri yang menyuruh suaminya menikah lagi. Cahyo tetap diam dan diam membiarkan siang dan malam terus berputar.

Nafas panjang menjadi nafas pendek. Denyut jantung perlahan melambat. Pandangan mata mulai gelap dan gelap tak bisa dibuka kembali. Cahyo menyaksikan sahabatnya hampir menemui ajalnya. Masih bernafas dan hidup. Sanak famili dan masyarakat yang menjenguk tampak panik. Cahyo juga menjadi panik lalu mendekati Wahyu dan sangat dekat.

“Apa kau..kau..menemukan anakku? Apa…pa..dia akan datang?” tanya Suherman.

“Dia pasti akan datang,” ungkap Cahyo tentu tak jujur.

“Wahyu..Wahyu…” lirih Suherman memanggil anaknya.

“Sebut nama Tuhan…Innalilahiwainnailahirojiun,” pinta Cahyo membisiki telinganya.

“Inna..inna..inna..”

“Ayo terus..” lirih Cahyo memohon dengan air mata.

“…Wainna..wainna…ilahirojiun..” sebut Suherman yang akhirnya meninggal dunia tanpa kehadiran Wahyu.

Semua orang menangis. Semua orang meneteskan air mata. Suherman yang menjadi bupati bertahun-tahun sangat dicintai masyarakat. Daerah yang dipimpinnya telah berkembang pesat. Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat terjamin. Mereka kehilangan seorang pemimpin. Mereka kehilangan seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Ada airmata juga membanjiri pipi Wahyu tapi hatinya tak bisa memberi maaf untuk semua dosa pria itu. Teringat masa lalu saat Suherman menikah lagi dengan seorang wanita yang kaya raya di daerah itu. Mencampakkan ibunya dan meninggalkan dirinya demi harta dan kekayaan. Begitu pemikiran Wahyu selama ini. Bahkan di waktu pemakamannya, Wahyu tetap diam dalam rumah. Melarang anak istrinya keluar rumah. Hujan gerimis mengiringi kepergian sang ayah yang malang.

Tak lama kemudian, hening sejenak. Tak ada suara hanya angin berhembus. Itu pun tak kencang, sungguh lirih mendesis. Kadang genit menyentuh kulit Wahyu. Kadang membawa kesejukan wlau suasana siang itu tak sepanas hari-hari sebelumnya. Debu tak sebanyak hari-hari yang lalu. Semua orang juga terdiam. Termasuk anak-anak yang berlarian ke sana kemari tak ditemukan. Para orang tua melarang anaknya keluar rumah. Tenang sekali desa itu seolah ikut berduka cita atas meninggalnya Suherman.

Amarah dan kecewa mengutuk tindakan balas dendam yang tak terpuji seorang anak durhaka berkecamuk. Simpati dan antusiasme murid SD juga guru seprofesi lenyap tak berbekas. Ancaman pemecatan sebagai guru SD tak terhindarkan lagi. Masyarakat menghukum keluarga itu dengan mengasingkannya dan tidak bergaul dengan mereka. Keadaan ini membuat Wahyu memutuskan meninggalkan desa itu hingga Cahyo kembali menemukan keluarga itu.

“Aku harap kedatanganku masih diterima di sini,” sapa Cahyo dengan senyum.

“Ya,aku meminta maaf atas perbuatanku mengusirmu beberapa hari yang lalu,” ungkap Wahyu tulus.

“Aku juga mau meminta maaf jadi kita impas. Ini ada surat untukmu dari bapakmu. Dia tulis sebelum dirawat di rumah sakit. Aku disuruh menyerahkannya sesudah kematian menjemputnya. Aku pulang dulu, hati-hati jangan mengebut kalau mengendarai motor.”

“Jaga dirimu baik-baik. Terima kasih sudah merawat ayah selama ini,” kata Wahyu yang langsung memeluk Cahyo dan orang itu menyambutnya dengan hangat.

Wahyu menerima surat itu dengan tangan terbuka. Istrinya meminta untuk membaca surat itu terlebih dahulu sebelum meninggalkan kampung halaman mereka. Wahyu mengikuti saran istrinya.

********

“Wahai anakku yang tampan, ketika engkau membaca surat ini, kita tidak akan bertemu lagi. Ayah sadar tak ada gunanya menyatakan permohonan maaf melalui suart ini. Ayahmu ini tak pantas untuk meminta maaf atas semua penderitaan yang kalian alami. Bila kamu muak dengan kata-kata dalam surat ini, maka teruslah membacanya sampai kamu selesai. Mungkin kamu bisa memaafkan ayah. Mungkin kamu akan tetp diam dan pergi meninggalkan kenangan indah kita. Mungkin kamu akan melupakan ayah selamanya. Ayah ingin menyatakan besarnya rasa cinta Ayah pada ibumu. Dia yang menyuruh Ayah untuk menikahi wanita itu dengan harapan dapat meneruskan denyut nadi kehidupan keluarga. Ayah memang jahat memanfaatkan wanita lain yang mencintai ayah itu tapi ini demi kebaikan kita bersama. Ayah hanya lulus SMA dan sulit mencari pekerjaan di zaman sekarang. Kami salah menilai kehidupan sebagai suami istri selalu akan bahagia. Benar sebuah filosofi bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh uang tapi uang menjamin kebahagiaan.Ayah tak pernah meninggalkan kalian. Ibumu tak bisa membiayai kebutuhan sehari-hari tanpa uang yang Ayah kirimkan setiap hari. Apa kau pikir berdagang di pasar mampu membiayai hidup kalian atau kuliah di luar kota. Ayah dan Ibu sering bertemu, hanya kau begitu sombong selalu menolak ajakan ibumu untuk bertemu dengan Ayah. Ingatkah bahwa ibumu membelikanmu sebuah motor adalah uang dari Ayah juga. Ayahmu ini sangat menyayangimu. Ayah tidak menuntut uang Ayah kembali. Aku hanya ingin kau memeluk Ayah dan menghapus kerinduanku.”

********

Hembusan angin menggoyang dedaunan seakan tidak menerima kehadiran sepasang suami-istri dan anaknya menginjakkan kakinya di pemakaman desa itu. Daun-daun berterbangan ke segala arah hendak menghentikan langkah mereka namun tak kuasa menghentikan langkah mereka. Wahyu menemukan makam bertuliskan Suherman bin Kasim. Wahyu terdiam dalam kehampaan. Angin berhembus kencang. Sunyi dan kosong. Sang istri yang setia menemani suaminya memahami perasaan pria itu. Merasa sedih dan menyesal. Larut dalam dendam yang menghancurkan dirinya. Andai memutar waktu maka dia akan mendapatkan kebahagiaan berkumpul bersama ayahnya.

“Ayah, maafkan aku,” ungkap sang anak dengan ratapan airmata yang terus mengalir dan angin makin kencang.


by;rizki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar