Selasa, 05 Oktober 2010

sepucuk surat bertuliskan namamu

Terakhir, aku melihatmu di kerumunan penghuni asrama. Tergeletak bersimbah darah. Semunya terasa kabur. Selamanya aku tidak akan bisa menghapusnya, sekalipun semua itu telah dikubur. Kamu membiarkan tubuhmu jatuh dari loteng – pelataran kosong di atas lantai tiga – asrama kampus. Padahal kamu tahu, kamu bukanlah daun yang bisa melayang bebas terhempas angin saat jatuh dari rantingnya. Dan, aku tahu kenapa kamu memilih perih – ‘terjatuh dengan sengaja’. Tapi aku tidak sanggup mengungkapnya.

Ibumu menangis hebat di depanku. Mungkin langit sudah pecah, air mata itu mengguyur deras. Tangan ibumu menarik kerah bajuku seraya berteriak, “Katakan apa yang telah terjadi dengan anakku?”

Aku berusaha tenang, sedang hati ini bimbang tak karuan.

“Nyebut Bu, nyebut,” tutur Sari, adikmu. Dengan sabar dia melepaskan tangan ibumu dari kerah bajuku. Tangisan itu berlanjut di dekapan adikmu.

Aula asrama. Tidak ada satupun orang yang memandangku tanpa prasangka. Setelah semuanya mengetahui ada sepucuk surat dalam genggamanmu yang bertuliskan namaku – untuk Yusuf. Posisiku semakin terpojok, terlebih-lebih teriakan ibumu.

“Yusuf, kenapa Firin melakukannya?”

“Tenang Bu, Yusuf tidak tahu apa-apa,” Sari merangkul ibumu.

“Tidak,” ibumu melepas tangan Sari. “Yusuf, katakan sesuatu pada Ibu. Apa semua ini ada kaitannya dengan kondisi keluarga? Lalu apa maksud surat itu? Kamu pasti tahu sesuatu tentang Firin, Yusuf.”

Mataku memerah melihat ibumu. Dia sangat menderita.

“Tenang Bu,” Sari kembali merangkul ibumu.

“Sari,” kata Pak Kardi. “Bawa ibumu masuk ke dalam.”

Sari menuntun ibumu, melintas di depanku tanpa menghiraukanku. Tiba-tiba, ibumu berlari ke arahku. Tangannya tidak mau berhenti memukul dadaku. Jemarinya menarik bajuku hingga satu kancing terlepas, kali ini Sari merangkul ibumu dengan paksa dan membawanya pergi.

Gemuruh suara penghuni asrama yang berdesas-desus menggemparkan aula.

“Perhatian,” teriak Pak Kardi. “Kalian semua bubar dan kembali ke kamar masing-masing.”

Kepergian mereka membuat kakiku tertancap. Aku bisa mendengar samar-samar namaku terus disebut, mengiringi langkah kaki mereka. Keadaan itulah yang memaksaku diam mematung, bingung. Mulut terbungkam, ketakutan.

“Yusuf,” Pak Kardi berdiri di depanku. “Bapak ingin bicara denganmu.”

Tanpa menjawab, aku mengikuti kemana langkah sosok setengah baya yang menjadi ‘bapak’ seluruh penghuni asrama kampus ini. Asrama laki-laki dan asrama perempuan dalam satu bidang tanah, terpisah tembok setinggi tiga meter. Di dalam aula ini – terletak dekat gerbang masuk yang menghubungkan kedua asrama, seluruh penghuni asrama berkumpul setiap pergantian tahun ajaran baru atau biasanya ketika ada kegiatan-kegiatan asrama. Tapi tidak biasa untuk hari ini, semua terjadi begitu mendadak sampai-sampai jantungku dua kali lebih cepat berdetak. Seluruh penghuni asrama berdatangan karena mendengar kabar - tentang tragedi yang akan tercatat dalam sejarah asrama – dan mereka ingin memastikan kalau yang mereka dengar bukan sekedar kabar.

Menjelang magrib – tepatnya tiga jam yang lalu, tubuhmu sudah ada di kerumunan orang. Sekarang semuanya menjadi misteri, tapi tidak bagiku. Menjadi bagian hal yang patut dipertanyakan terutama kepada nama yang tertulis di surat yang kau genggam yaitu aku.

Ruang konsultasi. Aku duduk di hadapan Pak Kardi.

“Yusuf, bagaimana Bapak bisa membantumu jika kamu masih membungkam,” Pak Kardi memulai pembicarannya setelah beberapa menit kami hanya duduk terdiam. Aku masih diam.

Pak Kardi berdiri. “Yusuf, ini kasus serius,” teriaknya.

Lakban yang seolah-olah membungkam mulutku akhirnya terlepas. “Saya tidak mengerti, kenapa semua mata mengisyaratkan bahwa saya seorang pembunuh, termasuk Bapak sendiri.”

Pak Kardi kembali duduk.

“Ada dua hal dalam diri saya yang tidak seharusnya disalahkan. Pertama, saya teman baik Firin. Kedua, nama saya tertulis di surat itu,” kataku sedikit berteriak.

“Seandainya kau bisa menjelaskan apa yang telah kamu ketahui,” Pak Kardi menghela nafas, “masalah ini tidak akan berlarut.”

“Seandainya saya mengetahuinya,” kataku bohong.

Kedua tangan Pak Kardi memegangi kepalanya yang sedang mengepul. Dahinya berkerut. Suasana semakin kecut.

Pak Kardi menarik nafas panjang. “Firin dimakamkan di rumahnya besok pagi.”

“Saya akan datang Pak.”

“Yusuf, maafkan Bapak. Bukan maksud Bapak mencurigai kamu. Peristiwa ini membuat Bapak shock. Terutama ibu Firin, demi sumpah dia belum bisa pasrah.”

“Begitu juga dengan saya.”

“Bagaimana dengan sepucuk surat bertuliskan namamu itu?”

Aku terdiam cukup lama. Menggeleng pelan.

Pak Kardi menatapku. Aku menghindarinya dengan sedikit menunduk. “Yusuf,” katanya lirih, “kamu boleh kembali ke kamarmu.”

Tidak lama kemudian aku beranjak. Berjalan meninggalkan ruangan.

“Surat itu tidak ada isinya,” ucapan Pak Kardi menghentikan langkahku di ambang pintu. “Hanya amplop kosong yang bertuliskan namamu, Yusuf. Bapak menduga kalau isi surat itu telah hilang.”

Aku mengangguk pelan. Termangu cukup lama.

“Selamat malam Pak,” pamitku sambil berlalu meninggalkan ruangan konsultasi yang lebih tepatnya di sebut ruang introgasi.

Di dalam kamar. Tubuhku terbaring lelah. Banyak peristiwa yang hadir kemudian terhapus begitu saja dalam memori otak. Kecuali hari ini, ia akan melekat erat dalam daya ingat. Tadi sore, aku sengaja terlambat menemuimu karena ingin memberimu kejutan. Aku senang, karena melihatmu masih menungguku - berdiri di loteng itu. Saat kupanggil namamu, tiba-tiba kamu malah ‘terjatuh dengan sengaja’. Beberapa detik aku tidak bisa bergerak. Semua berlalu begitu cepat. Aku segera berlari ke bawah, melihatmu tergeletak bersimbah darah. Aku juga melihat sepucuk surat yang terlepas tidak jauh dari amplop yang kamu pegang. Aku mengambilnya, lalu berlari ketakutan menemui pak Kardi. Terakhir, aku melihatmu sudah di kerumunan penghuni asrama.

Taukah kamu, aku ketakutan setengah mati. Apa yang kamu lakukan benar-benar di luar dugaan. Aku marah padamu. Kamu menyelesaikan masalah dengan cara yang salah. Sekarang, semua orang sepertinya menyalahkanku. Aku tidak tahu apa yang dikatakan orang-orang ketika aku menghadiri pemakamanmu besok. Apapun yang terjadi, aku tidak akan mengatakan atas apa yang kuketahui tentangmu.

Aku membaca kembali surat yang kau tulis untukku. Kamu merasa kalau hidup ini terlalu berat untuk dijalani. Tanggung jawabmu sebagai anak sulung yang membiayai sekolah adikmu, ibu yang sakit-sakitan, ayah yang meninggalkan ibumu karena wanita lain, juga biaya kuliahmu sendiri. Sehingga kamu memilih jalan salah dengan memutuskan menjadi… men…jadi… pelacur. Bagimu kematian adalah wujud penyesalan atas semua kesalahan yang telah kau lakukan. Ah, kenapa kau berpikir begitu sempit?

Di akhir surat kau menuliskan perasaan cinta padaku yang sudah lama kau pendam karena merasa tidak layak mendampingiku. Firin, tahukah kejutan apa yang ingin kuberikan padamu? Sebuah cincin dalam kotak merah sebagai ungkapan rasa bahwa aku sangat mencintaimu…


by;fikri_abdullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar