Kamis, 30 September 2010

monster pun menangis

Di gudang ada monster marah dengan taring-taring panjang meneteskan darah, dengan cakar-cakar runcing menghitam. Ada bekas codet pada bibirnya yang lebar. Ia tersenyum lebih serupa seringai yang menakutkan sebab gigi-giginya kuning besar-besar. Peluhnya bercucuran dari dahinya yang lebar tetapi bolong di tengah, di antara ke dua mata yang mencelat keluar. Memperlihatkan rongga bernanah beraroma amis busuk.

Wajahnya merah mengerikan. Bopeng-bopeng mengisi seluruh permukaan kulitnya yang merah mengkilat. Telinganya digunting runcing. Pada daun telinganya mengkilat minyak lemak. Rambutnya gimbal hitam, keriting kusut dan membentuk bulatan-bulatan besar di kepalanya yang juga besar. Pakaiannya rombeng kebesaran dan berbau busuk bangkai. Dengan hidungnya yang besar, ia mengendus aku disertai seringai dan tawanya teredam. Bau busuk melayang di udara. Ia serupa raksasa. Lidahnya yang kasar berterutul dan berlendir menjilat-jilat udara. Mendekatiku, dadanya yang terbuka dan berbulu hampir menempel pada tubuhku. Aku jadi menggigil, panik dan tak bisa lebih takut lagi.

Aku teringat untuk berdoa Salam Maria tapi tak bisa, lidahku kelu. Aku mencoba doa Bapa Kami tak jua bisa, hatiku telah membatu. Sempat terlintas Aku Percaya, tapi itu tak lagi mempesonaku. Berdoalah! Ayo berdoalah! Doa apa saja. Ia makin dekat. Makin dekat. Dan aku takut. Sepertinya doa tak mempan untuk mengusirnya pergi.

Ia mendekatiku. Busiknya terlihat jelas dan ia marah. Telapak tanganku berkeringat sementara ia mulai memperhatikanku dengan cermat. Aku harus bisa mengontrolnya dalam pikiranku. Harus! Harus bisa! Tapi aku ngeri bila dia menghunjam tubuhku dengan cakarnya yang runcing dan menyayat dagingku dengan taringnya yang tajam. Lagipula dia marah. Tanganku sudah tremor ketika tiba-tiba ia duduk di sampingku, memandangku sayu lalu menggenggam tanganku erat. Ia menciut. Badannya seketika bersih dan wangi, pakaiannya pun rapi. Ia tersenyum lebar, senyum persahabatan yang ramah. Aku tak jadi takut. Aku membalas senyumnya.

Tak disangka ia berubah lagi menjadi monster, tapi aku tak lari, diam di tempat. Ia terkulai lesu. Ternyata ia sepertiku juga, merana. Ia ingin menjadi manusia tetapi takdir mengharuskannya tetap menjadi monster untuk menyebarkan teror dan trauma. Kami berbagi cerita, berbagi duka. Ia ingin menjadi manusia. Aku manusia tapi tak ingin menjadi manusia. Ia tak menggubrisku, teguh pada keinginannya. Lalu ia merebahkan diri, melingkar, bergelung di dekat kakiku. Sepertinya ia ingin dibelai. Ia menangis. ”

Kukira monster tak bisa menangis sebab ia membuat orang lain menangis,” ujarku. Ia sesenggukkan.

“Aku menangis sebab ingin menjadi manusia.”

“Mengapa?”

“Sebab aku tak perlu lagi menanggung beban ini, sedih ini, kamu pasti tak tahu bagaimana rasanya berbeda. Aku ingin menjadi manusia. Lebih enak menjadi manusia.”

Aku seperti ditampar, seakan ia sedang menyindirku yang memang tak pernah diharapkan keberadaannya. Aku tertawa sinis.

“Aku bukan monster tapi aku sepertimu, percayalah! Menjadi manusia tidak semenarik dugaanmu.”

Ia langsung bangun dan menatapku lekat-lekat. Aku jadi merinding. Tatapan matanya membuatku lemas. Pandangannya menembus kelopak mataku bagai bara api yang menjilat-jilat panas. Aku kumpulkan keberanian yang tersisa, lalu hati-hati berbicara.

“Menjadi manusia itu sulit,” ujarku.

Ia tersenyum getir seperti ingin berujar, benarkah? Aku menggangguk, memberi jawaban dari pertanyaan yang tak ia ajukan. Ia terdiam.

“Ya sudah kalau begitu, ini khayalanku,” ujarnya tiba-tiba. Airmata masih bertengger di pelupuk matanya. Aku ingin mengejeknya karena ia menangis, tapi tidak jadi. Aku tak tega.

Monster pun boleh menangis, apalagi manusia.

Ia berdiri.

“Kalau begitu, mari kita bermain,” ajaknya dengan senyum yang menenangkan hati meskipun pada sudut bibirnya terdapat sayatan yang menganga. Ia baik, ia tidak jahat. Yang jahat ibuku.

Ia pecah menjadi kepulan asap.

Gudang berdebu. Aku terduduk di antara tumpukan kardus barang pecah belah dan majalah bekas. Bau kencing dan taik tikus, juga kecoak mengambang di udara. Ada cermin buram di situ. Kudekati, ternyata hanya sebelah. Pecahannya berhamburan di lantai melukai telapak kakiku.

Kulihat wajahku di sana. Pantulannya mengabur. Aku jadi ngeri sebab wajahku berantakan, tak utuh. Ingin kusangkal itu bukan aku, namun itu diriku. Aku ingin pergi. Tapi seperti terpaku, memaksaku memandangi diriku yang kubenci.

Aku jadi resah, mungkin marah. Kepada siapa ku harus marah? Inikan diriku sendiri. Tapi aku jadi resah, tak nyaman. Maka kupejamkan mata rapat-rapat berharap bayang itu mengabur, lalu menghilang. Tapi sebuah wajah yang tak terlupa hinggap dalam benakku. Wajah ibuku. Sialan! Aku lupa manusia tidak melihat dengan matanya, melainkan dengan otaknya. Sebab seperempat otak kami memiliki sistem untuk mengendalikan penglihatan seperti kamera. Aku jadi makin membenci ibuku. Sebab kutukannya terbukti padaku. Aku buruk rupa.

Monster pun boleh menangis, maka aku menangis.


by;gamutz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar