Senin, 06 September 2010

sebuah mimpi

“Tidak ada orang yang bodoh di dunia ini,
yang ada hanya orang yang pintar dan belum pintar”

Hari ini aku suntuk berat. Meski udah mutusin buat ninggalin kelas dan kumpul dengan teman-teman yang lain, aku masih tetap aja suntuk. Biasanya, aku suntuk kalau udah ketemu dengan pelajaran yang penuh dengan angka-angka. Tapi biasanya bakalan hilang kalau aku udah ninggalin kelas dan kumpul di markas dengan yang lain. Palingan ngobrol-ngobrol sambil makan, ada juga yang ngerokok, tapi aku nggak. Awalnya ditawarin, tapi aku menolak. Untungnya mereka nggak maksa-maksa terus. Paling ada beberapa yang masih coba nawarin, Cuma aku sama sekali nggak tertarik.

Biasanya kalau udah kumpul di markas, aku udah kembali enjoy lagi. Apalagi kadang ada yang iseng nyewa VCD atau ada yang bawa game dari rumah, terus kita main bareng, Yah asyik lah pokoknya. Tapi hari ini, semua itu nggak bikin suntukku hilang. Aku ngerasa kayaknya hari-hariku tuh nggak bermakna banget. Tiap hari bolos, ngobrol-ngobrol, main game atau nonton….sama sekali nggak bermakna kayaknya. Sempat pengen nyoba ikut belajar sama yang lain. Tapi, aku nggak yakin hal itu bisa hilangin kesuntukkanku.

Aku melihat beberapa temanku masih ada yang sibuk ngerokok sambil ngobrol dan ada yang lagi nonton VCD. Kali ini film yang mereka sewa lebih nggak bermoral dari yang kemarin. Sebenarnya pengen nonton, tapi aku lagi suntuk berat. Kurasa film itu nggak banyak ngebantu. Tadinya ada yang nyaranin buat ngerokok. Tapi sekali lagi aku menolak. Sebenarnya bukan karena nggak mau. Tapi aku bukan anak orang berada. Kalau aku jadi kecanduan, aku nggak bakal bisa beli seperti mereka. Masa mau minta terus…….

Akhirnya aku mutusin buat keluar dari markas, tentunya setelah pamit dengan yang lain.

“Mau kemana Her?” Langkahku pun terhenti.

“Keluar. Aku suntuk,” jawabku pendek.

“Sudah, di sini aja!!! Udah ku bilang, kamu tuh ngerokok aja.”

“Thanks guys, tapi aku lagi pengen hirup udara luar,” elakku.

“Jangan bilang kamu mau balik ke kelas!!”

Aku tersenyum tipis.

”Kamu kayak nggak kenal aku aja. Aku pergi ya guys.”

Aku pun melangkahkan kaki keluar markas. Mereka sempat merhatiin aku keluar, tapi sesaat kemudian, mereka sudah kembali dengan aktifitas masing-masing.

Aku melangkahkan kaki tak tentu arah. Aku bingung mau kemana. Pulang? Ngapain? Mau cari masalah sama Emak. Terus aku musti ke mana. Aku benar-benar sangat suntuk. Akhirnya aku memutuskan untuk terus melangkah entah ke mana. Mungkin langkahku ini yang akan menunjukkan kemana aku harus pergi.

Setelah sekian lama melangkah, aku berhenti. Di depanku tampak pemandangan yang menurutku amat mengherankan. Tiga orang pemuda seusiaku sedang menghitung hasil penjualan. Sepertinya, mereka berjualan koran. Aku mengernyitkan dahiku, heran. Bukankah sudah lama ditetapkan kalau semua anak bisa sekolah tanpa dipungut biaya. Selama ini, aku sekolah tanpa harus bayar SPP atau uang masuk dan sejenisnya. Bahkan belakangan ini anak jalanan sudah jarang terlihat karena mereka sudah bisa sekolah. Tapi, kenapa mereka nggak sekolah?

Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi tertarik dengan mereka. Dengan perlahan aku mendekat ke arah mereka. Mereka terlihat lelah. Tapi, tampak kepuasan di wajah mereka. Mungkin korannya laku terjual. Aku duduk tepat di samping mereka. Sekilas, mereka memperhatikanku. Tapi kemudian, kembali sibuk menghitung hasil penjualan koran mereka.

“Kamu nggak sekolah?” Tiba-tiba salah seorang dari mereka yang berpostur paling kecil bertanya padaku.

Aku terkejut. Sepertinya dia tertarik denganku.

” Memangnya kenapa?” aku balas bertanya.

“Bukannya sekarang jam sekolah, seharusnya kamu nggak berada di sini.” Kali ini yang menyahut adalah laki-laki yang satunya lagi, yang berkulit paling hitam.

“Lagi malas,” jawabku mulai agak suntuk dengan “wawancara” ini.

“Oh.” Sahutan pendek itu terlontar dari anak yang paling kurus di antara mereka.

“Sayang banget ya Bud.” Si hitam itu kembali bersuara, kali ini tidak ditujukan padaku, tetapi kepada si kurus.

Si kurus hanya mengangguk.

“Sayang kenapa?”

Aku yang mendengarnya tiba-tiba tertarik untuk bertanya. Mereka nggak sekolah sih, makanya nggak tahu, betapa suntukknya berada di kelas, dikelilingi semua temanmu yang seolah penuh semangat ketika rumus-rumus itu memutari otaknya dan berusaha masuk ke dalamnya. Sementara kepalamu sudah hampir mengeluarkan seluruh isinya karena sudah penuh dengan rumus.

Mereka nampak terkejut dengan pertanyaanku.

”Nanti kamu marah,” ucap si kecil.

“Mungkin nggak,’ jawabku pendek.

Mereka terdiam sejenak.

”Kami bertiga pengen sekolah. Tapi nggak bisa,” ucap si hitam.

Aku mengernyitkan dahiku lagi.

”Kenapa nggak bisa, sekarang kan sekolah udah gratis.”

“Emangnya kamu mau dengar cerita kita?” tanya si hitam.

Aku mengangguk.

*****

Ternyata mereka bertiga nggak sekolah karena nilai mereka tidak mencukupi. Si kecil, memang anak orang tak punya. Dulunya waktu SMP terlalu sibuk bantu bapaknya, ditambah dia sendiri kurang serius belajar, makanya nilai ujiannya jeblok abis. Untungnya dia masih bisa lulus.

Si hitam anak orang nggak punya juga. Bedanya, dia tuh punya otak pas-pasan banget. Udah dijelasin sekian kali, dia masih tetap nggak ngerti, Dia sih pengennya privat ama gurunya biar bisa ngerti. Tapi bapaknya nggak punya uang buat bayar les. Ditambah lagi teman-temannya pada sibuk belajar sendiri karena takut nggak lulus. Jadinya, dia cuma ngandalin otak pas-pasannya itu. Akhirnya dia lulus dengan nilai paling tinggi dari bawah. Sedangkan si kurus, udah belajar, les ini itu, tapi tetap aja nilainya jeblok. Menurutnya, dia nggak pernah konsen kalau les dan belajar. Makanya nilainya ancur kayak yang lain.

Mereka bertiga nggak diterima di sekolah negeri karena nilai mereka yang jeblok itu. Mungkin mereka bisa diterima kalau di sekolah swasta atau dengan membayar lebih atau istilahnya ‘uang pelicin’. Tapi mereka punya uang dari mana? Makanya akhirnya mereka mutusin buat jualan koran. Daripada diam di rumah menyesali nasib mereka.

Hal itu kemudian menjadi pelajaran buat mereka. Jika saja ada kesempatan, mereka ingin sekali memperbaiki diri, mencoba untuk serius belajar, sehingga mereka tidak akan mengalami lagi apa yang telah mereka alami sekarang ini.

“Mungkin dengan jual koran, kita bisa bayar uang untuk masuk sekolah swasta,” celetuk si hitam.

Keinginan besar mereka untuk sekolah membuatku tersentak. Dengan begitu mudahnya, aku bisa masuk ke salah satu sekolah favorit karena dulu aku masih serius belajar. Dan sekarang, aku malah menyia-nyiakannya dengan membolos seperti ini hanya dengan alasan karena otakku tuh udah jenuh. Terlalu penuh dengan rumus-rumus. Sementara masih ada orang yang ingin sekolah, tapi nggak bisa sekolah.

Apa yang bisa aku lakukan sekarang. Aku hanya seorang Heru, pelajar yang sama sekali nggak ada gunanya, selalu membolos. Aku bisa berbuat apa untuk mereka, sedangkan untuk memikirkan diriku sendiri aja aku nggak pernah. Aku nggak pernah mikir, mau jadi apa aku ini, kok malah nggak peduliin pendidikanku kayak gini.

Tiba-tiba terbersit dalam hatiku, suatu saat nanti aku akan mengubah pendidikan ini. Kenapa mereka nggak diberi kesempatan untuk sekolah. Hanya gara-gara nilai mereka jelek? Padahal, sekolah kan bertugas membuat siswa yang awalnya mendapat nilai jelek menjadi lebih pintar dan dapat mengubah nilai jeleknya itu. Tapi faktanya, sekolah hanya bisa mengajar anak yang pada dasarnya sudah pintar, menjadi tambah pintar. Lalu yang belum pintar tidak diizinkan sekolah, sehingga akhirnya mereka tidak akan pernah menjadi pintar.

Sebenarnya setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi pintar. Karena pada dasarnya manusia itu sama-sama memiliki akal yang mampu membuatnya menjadi lebih dari yang lain, serta memiliki otak yang mampu menyimpan hal-hal baru yang mereka temui, hingga seluruh dunia dan segala isinya akan ada di kepala mereka. Mungkin aku harus membantu mereka mewujudkan itu. Meskipun aku tidak bisa membantu mereka untuk bisa bersekolah, tapi kurasa, masih ada yang bisa kulakukan saat ini.

Aku mengeluarkan beberapa buah buku dari tasku.

“Kalian bisa baca ini setelah berjualan,” ucapku sambil memberikan buku –buku pelajaranku pada mereka. “Besok aku akan datang lagi. Nanti akan kuajarkan apa yang kudapatkan di kelas pada kalian. Gratis,” lanjutku lagi.

Mereka tersenyum padaku, pancaran mata mereka terlihat berbinar-binar.

“Makasih ya,” ucap mereka.

Sungguh, aku merasa terharu sekali dengan ucapan itu. Baru kali ini aku merasa bahwa keberadaanku berguna. Walau hanya sekedar meminjamkan buku yang aku punya, dan memberikan sedikit dari apa yang aku dapat di sekolah, aku merasa menjadi seseorang yang lebih berarti dari sebelumnya.

Mungkin ini tak ada apa-apanya, Teman. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk kalian. Karena kalian, aku tak tertarik untuk bolos lagi. Karena aku sudah berjanji akan mengubah pendidikan ini. Pendidikan ini nggak akan biasa kuubah kalau aku sendiri tak berpendidikan. Aku berjanji, suatu saat nanti nggak akan ada lagi anak-anak sekolah yang akan mengalami nasib yang sama dengan kalian.

Setelah ini aku berharap, masih ada lagi yang bisa kulakukan. Aku sangat berharap semua teman-temanku di markas akan mengalami hal yang sama dengan yang kualami. Aku akan menceritakan pengalamanku bertemu teman-teman baru itu kepada mereka. Semoga saja mereka mau membantuku. Sehingga akan semakin banyak generasi-generasi muda berprestasi yang akan mampu mengubah dunia ini.

Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda.
Ada yang pintar dan ada yang belum pintar.
Dan penddikan bertugas mengubah yang pintar menjadi lebih pintar
Serta yang belum pintar menjadi pintar.

by;ira pooh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar