Airmataku masih saja mengalir bila menyadari harus kehilangan sebagian kehidupan dan masa depanku, akibat dari kecelakaan fatal yang kualami setahun lalu. Kecelakaan yang merenggut kedua kakiku.
Kejadian itu telah merubah total hidupku, aku yang dulu riang, bangga pada diriku, selalu optimis memandang masa depan, kini menjadi pendiam, minder dan menutup diri. Hidupku telah hancur.
Apalagi ketika kekasih yang telah menemaniku selama dua tahun, Thomas, meninggalkanku. Dengan alasan yang sangat sederhana, tak ingin merawat wanita cacat sepertiku seumur hidup.
Kuhela nafasku panjang, menahan perihnya hati kala mengenang semua, kadang sampai terlintas dibenakku untuk mengakhiri hidup yang sudah tak berguna ini, yang hanya menjadi benalu bagi orang-orang yang aku sayang. Andai saja aku tak ingat perjuangan mamaku saat mempertahankan nyawaku, aku pasti sudah melakukannya.
Tiba-tiba saja ponselku berbunyi, dit tit dit tit… Kulihat nomor yang muncul di layar. Entah siapa. Aku mengangkatnya.
“Halo…” sapaku.
“Apa benar ini Vivian?” tanya seorang cowok dari seberang.
“Iya, benar. Siapa ini?”
“Aku Edo, Vi. Ingat?”
“Edo? Hm…Edward Raditya?” tebakku, menyebut nama seorang sahabat yang dulu sempat mengisi hariku, dan juga sempat singgah di hatiku.
“Rupanya kamu masih mengingat aku, Vi.”
“Bagaimana aku bisa lupa?” aku bahagia, karena Edo, tiba-tiba saja muncul, setelah hampir sepuluh tahun menghilang.
“Kamu tahu nomorku dari siapa?” tanyaku penasaran.
“Gina. beberapa hari lalu aku ketemu dia:”
“Aku juga udah lama nggak ketemu Gina, sekarang dia ada di mana? Dan kamu?”
“Aku dan Gina tinggal di Semarang, kebetulan kami satu perusahaan tapi beda kantor. Hm… besok hari Minggu, aku mau ke Yogya, bisa kasih tahu di mana alamat kamu, aku mau mampir,” kata Edo mengejutkanku.
Lalu aku kembali melirik kakiku, rasa sakit hati kembali menyelimuti hatiku.
“Minggu aku pergi, Do. maaf ya,” jawabku lirih.
Aku tak mau Edo kecewa karena aku bukanlah aku yang dulu, yang bisa menemaninya jalan kemana pun dia mau.
“Ya udah, nggak apa-apa, tapi lain kali kalo ada waktu kita ketemuan ya?”
“Hm… iya,” aku terpaksa memberikan janji palsU:
***
Dari situ bermula kembali, hubungan yang dulu sempat terputus. Edo sering menghubungiku, meskipun belum satu pun pertemuan yang dia ingini, aku iyakan. Aku takkan membiarkan Edo tahu, kalo aku cacat! Aku tak mau dia seperti temanku yang lain, yang memandangku sebelah mata, terlalu mengasihani atau menghindariku karena tak mau direpotkan. Karena itulah, aku terpaksa terus berbohong. maafkan aku, Do.
***
“Vi, aku nggak sabar pengin ketemu kamu nih. Besok aku ke Yogya ya? Aku udah dapat alamat kamu dari Gina kok,” kata Edo, lagi-lagi mengejutkanku.
Aku panik, dan tak tahu harus bagaimana.
“Aku sibuk, Do, maaf,” jawabku.
“Kalo malam pasti di rumah kan?” tanyanya penuh harap.
“Aku… aku udah pindah rumah!” Aku kembali bohong! Aku benci kenapa harus terus melakukan ini!
“Kenapa kamu menghindari aku, Vi?” Edo mulai curiga.
“Aku bener-bener sibuk!” jawabku singkat. Kudengar Edo menarik nafasnya panjang.
“Vi, jujur saja sebenarnya aku ingin minta maaf sama kamu,” katanya lirih.
Edo minta maaf? Memangnya apa kesalahannya padaku?
“Dulu aku mengacuhkan perasaanmu, padahal sebenarnya aku tahu kalo kamu mencintai aku.”
Deg! Ternyata Edo tahu??? Bagaimana dia bisa tahu?!?
“Kamu pasti masih marah kan? Karena itu kamu nggak mau menemui aku,” sambungnya.
Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa lagi.
“Vi, asal kamu tahu aja ya, aku ingin menemui kamu, karena aku ingin memperbaiki hubungan kita. Aku nggak pernah bisa melupakan kamu, aku sayang sama kamu, Vi.”
Aku masih saja terdiam, hatiku hancur, dan perih. Airmataku pun mengalir deras membasahi pipi.
“Tapi aku sudah bukan aku yang dulu, Do,” ucapku dengan bibir bergetar.
“Jadi kamu sudah menikah ya? Aduh maaf, aku nggak tahu, kupikir kamu masih sendiri. Maaf, Vi.”
Kudengar Edo tertawa kecil namun aku tahu itu dipaksakannya.
“Tapi bukan berarti kita nggak boleh temenan lagi kan?” sambungnya.
Kuhela nafasku panjang, mempersiapkan satu kebohongan lagi, sungguh tragis!
“Boleh, tapi jangan datang ke rumahku ya, suamiku pencemburu,” kataku lirih.
***
Tok…tok…tok
Kudengar pintu rumahku diketuk. Aku segera memutar roda kursi rodaku. Oh my God! Betapa terkejutnya aku saat membuka pintu, aku melihat sepasang mata yang dulu begitu akrab menatapku, dan sebersit senyum yang begitu melekat di hatiku.
“Edo?!?” kataku tak percaya.
Sedangkan Edo menatapku dengan nanar, syok tak percaya memandang ketidakutuhanku. Dan itu terasa sangat menyakitkan untukku.
“Apa?!? Kaget?!? Sudah aku bilang kamu jangan pernah ke sini!!! Sudah puas kamu melihat aku seperti ini!!” bentakku.
Namun Edo masih saja tak berkutik. Bahkan saat kututup pintu dengan keras, dia pun masih diam. Aku menangis, hatiku hancur, sangat hancur, menyadari aku akan kehilangan Edo untuk yang kedua kali. Kehilangan???
Tunggu, bukankah aku tak mau kehilangan Edo, lalu mengapa aku melakukan ini? Aku kembali memutar roda kursi rodaku lalu membuka pintu. Aku kecewa, karena Edo sudah tak ada di sana. Hah… aku benar-benar menyesal.
Dan yang lebih kusesali, sejak kejadian itu, Edo tak pernah lagi menghubungi aku, Edo telah menghilang. Lagi.
Vi, tabahkan hatimu. Kalo Edo tak mau lagi bertemu denganmu, itu artinya Edo tak lebih dari Thomas. Dia bukan pria yang pantas untukmu.
***
Sebulan telah berlalu, Mama memanggilku.
“Vi, ada teman kamu nih,” katanya.
Aku mengerutkan alisku. Teman? Bukankah semenjak kecelakaan itu, aku kehilangan semua temanku? Dengan penasaran aku pun melangkah keluar.
Kulihat Edo duduk bersama mamaku. Dia melemparkan senyumnya padaku.
“Mama masuk dulu, Vi,” kata Mama sambil menepuk bahuku.
“Ada apa kamu ke sini? Mau menertawakan aku?!?” ucapku ketus.
Edo kembali tersenyum.
“Maaf ya, waktu itu aku pulang nggak pamit dulu sama kamu,” katanya.
“Sudahlah, lupakan!” kataku singkat.
“Aku punya sesuatu buat kamu. Nih,” katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan yang agak besar padaku.
“Kamu nggak perlu memberi aku apa-apa!”
“Sudahlah terima saja, aku tulus kok.”
Lalu aku membukanya, dan aku terkejut melihat isinya. Sepasang kaki palsu. Aku menatap Edo tak percaya.
“Tapi ini mahal, Do,” kataku.
“Itu masih belum seberapa, Vi. Ada yang lebih dari itu yang ingin aku berikan padamu.” Edo menatapku lembut. “Aku ingin memberikan hatiku, serta kedua kakiku untuk menjadi tumpuanmu, pijakanmu, yang selalu mengiringi setiap langkahmu, dan tempatmu bersandar ketika lelah menghadapi semua cobaan hidup. Vi, aku mencintai kamu, menikahlah denganku.” Edo menggenggam tanganku erat lalu mengecupnya.
Aku menangis bahagia, menyadari kecacatanku tak menghalangi Edo untuk menikahi aku, bahkan dia dengan cinta tulusnya, mampu mengembalikan rasa percaya diriku dan kehidupanku yang sempat hilang dan hancur.
Edo, terima kasih, telah memberikan harapan baru untukku.
by;onik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar