Aku lahir tanpa ayah. Sejak kecil aku tinggal di rumah Nenek, ibu dari Ibuku. Sedangkan Ibuku, yang juga adalah anak tunggal sepertiku, telah meninggal ketika aku berusia tiga tahun. Nenekku kolot dan suka marah. Meski aku ini cucunya dan kami telah lama tinggal bersama, ia masih merasa bahwa aku orang lain. Aku harus menuruti segala yang ia perintahkan karena Nenek sering mengungkit semua yang telah ia berikan padaku, baik itu makan, biaya sekolah, dan kebutuhan-kebutuhan lain yang tak mungkin bisa kupenuhi sendiri. Karena itu, aku jarang meminta sesuatu yang kuinginkan pada seseorang. Apa yang kuinginkan, maka akan kuusahakan sendiri mendapatkannya. Termasuk cinta.
Kieran adalah gadis cantik, bahkan tercantik di desa ini. Kulitnya mulus dan kuning langsat. Ia memiliki hidung yang bangir menggoda. Rambut dan tubuhnya menebarkan harum yang menyenangkan. Bibir yang tipis dipadu dengan lesung pipi yang indah membuat senyumnya sempurna.
Beruntungnya, ia adalah teman sekelasku dalam dua tahun terakhir. Lebih beruntungnya lagi, aku duduk sebangku dengannya. Jadi, hampir setiap hari aku bisa melumat aroma tubuhnya, menikmati senyum ramahnya, serta mendengar suara indahnya. Tak jarang kami saling bercanda, membuatku seakan sangat dekat dengannya, lebih dari sekedar teman sebangku.
Aku jatuh cinta? Ya. Aku memang belum pernah mengalami bagaimana itu cinta. Tapi aku sudah cukup dewasa untuk sangat yakin bahwa ini cinta. Dan aku sangat yakin kalau aku takkan bisa mencintai orang lain seperti kepada dia, selamanya. Jika ada dia, mataku tak berhenti terisi oleh bayangannya. Dan jika tidak ada dia, mataku terasa kosong dan khayalku penuh dengan bayangannya. Seumur hidupku, tak pernah aku merasa sehidup ini.
Tapi sangat berat bagiku untuk mengatakan cinta padanya dan memintanya menjadi kekasihku saat ini. Entahlah, rasanya aku seperti menuntut upah tanpa bekerja. Aku tak tahu apa yang telah kulakukan padanya sehingga merasa berhak melakukannya. Itulah sifatku .
Untuk itu, aku lebih memilih menarik perhatiannya. Bagiku, membuatnya jatuh cinta lebih terhormat daripada hanya menyatakan cinta. Segala daya upaya telah kulakukan untuknya. Aku mendapat bantuan dari beberapa buku dan program-program acara di televisi serta saran dari orang-orang yang kukenal. Pokoknya, aku akan berkorban apapun demi cinta ini.
Awalnya usahaku terlihat menunjukkan hasilnya saat Kieran memberikan respon yang baik, bahkan beberapa kali mau diajak kencan. Tapi semua menjadi berantakan karena peristiwa itu.
Di suatu senja, Kieran terjatuh dari motor karena kabut dan hampir tertabrak mobil yang datang dari arah yang berlawanan. Kejadiannya di jalan dekat perbatasan kota, dekat jalan ke arah gunung.
“Untung saja pria itu menyelamatkanku. Aku masih merasakan tangannya yang kekar mengangkatku dengan sigap saat mobil itu hampir menggilasku,” cerita Kieran padaku dan teman-teman yang lain di kelas.
“Jadi, apakah wajahnya ganteng?” tanya Tiara, teman kami.
“Aku tak tahu. Ia memakai helm.”
“Memangnya kalian tidak berkenalan? Kamu tidak mengucapkan terima kasih padanya?”
“Setelah menggendongku ke tepi jalan, orang banyak berdatangan. Lalu ia pergi dari sana. Tak lama kemudian aku pingsan dan ketika sadar sudah di rumah sakit. Saat kutanya orang-orang yang membawaku ke rumah sakit, mereka bilang tak ada yang memperhatikan orang yang menolongku. Ah, ia seperti malaikat penyelamat yang rendah hati. Aku akan mencari pria itu dan berterima kasih padanya. Aku akan memenuhi semua yang ia minta,” kata Kieran mengundang perhatian khususnya para pria yang mendengar, termasuk aku. Apa saja yang diinginkan? Termasuk menjadi kekasihnya? Tidak, tapi menjadi suaminya di masa depan.
“Bagaimana bisa menemukannya jika kamu tak tahu wajahnya. Tak ada petunjuk lain seperti merk atau nomor polisi motornya? Atau ciri khasnya yang lain,” kata Rini memberikan masukan logis padanya.
“Tidak. Entahlah, saat itu kabut agak tebal. Aku hanya ingat suaranya dan tubuhnya, itupun samar-samar, seperti …” Tidak, gadis itu menatapku! “Ah, aku masih ragu.”
“Bagaimana dengan pakaiannya?” bantuku tanpa sadar.
“Ya, aku ingat. Saat itu ia memakai jaket warna merah.”
“Kalau jaket seperti itu sih banyak.”
“Bukan, jaket itu pasti sangat jarang ada. Sepertinya itu jaket rajutan. Ya, aku bisa merasakannya saat ia menggendongku. Di punggungnya ada gambar merpati, tapi tidak rapi.”
Sial, kenapa aku mengusulkan pakaiannya? Padahal sempat ia berpikiran bahwa itu adalah aku. Dari segi fisik, menurut tatapan Kieran aku mirip. Dan ada satu hal lagi.
“Tidak seperti pria lain yang pamer ketika menolongku, ia terkesan selalu menyangkal setiap kali menolongku.” Pernah aku menguping pembicaraannya itu pada Rini
Seperti pria yang Kieran itu, yang langsung pergi setelah menolong nyawa seseorang. Aku tak perlu mengaku sebagai penolong itu. Cukup ia saja yang berpikiran seperti itu. Dengan begitu ia akan selalu membayangkan sosokku dan tidak butuh waktu yang lama lagi ia akan mencintaiku.
Tapi kini aku terbentur oleh jaket rajutan berwarna merah dan bergambar merpati itu. Sebelum ia benar-benar melihatku memakainya, ia hanya akan menganggapku lelaki biasa. Apalagi jika akhirnya sang penolong yang sesungguhnya datang dengan jaket itu. Di benakku terbayang sebuah pernikahan. Yang jadi mempelai wanitanya adalah Kieran. Dan, oh, calon suaminya bukan aku, melainkan seorang pria yang menggunakan jaket merah. Dan aku pun muntah.
Namun aku mendengar sebuah suara, mungkin itu kata hatiku. Ia bilang, ‘Bagaimana jika kamu mengakui saja dirimu sebagai pria berjaket merah?’ Aku menjawabnya, ‘Tak mungkin. Aku bukan pria itu. Aku tak punya jaket rajutan berwarna merah itu’. Suara itu menjawab, ‘Kau bisa mencarinya. Cinta itu butuh pengorbanan, Bung. Bukankah seperti itu yang kau lakukan selama ini?’ Aku mengiyakannya.
* * *
Lelah aku masuki tiap toko pakaian selama beberapa hari ini. Tapi tak ada yang menjual jaket seperti yang dikatakan Kieran itu. Yang ada hanya tawa ejekan dari setiap penjaga toko setiap kali mendengar gambaran jaket yang kukatakan itu. Jaman sekarang peminat jaket rajutan sudah jarang sekali. Apalagi berwarna merah dengan gambar merpati, pasti itu jaket yang norak. Aku mengiyakannya dalam hati. Jujur aku membenci jaket itu. Tapi hanya benda itu yang mampu menolongku mendapatkan Kieran. Yang kulakukan hanya berpura-pura lewat di depannya dengan memakai jaket itu. Tinggalkan sedikit petunjuk tentang diriku lalu pergi.
Aku masuk ke sebuah kedai kopi untuk beristirahat. Di dekat jendela aku mengambil tempat. Di sana sudah duduk seorang pria. Aku kenal dia. Namanya John, wartawan koran lokal yang dikenal ‘degil’ dalam mencari berita. Dia juga yang menulis artikel tentang penyelamat misterius berjaket merah. Aku masih mempunyai hubungan darah dengannya.
“Sibuk, Bang?” tanyaku mencoba akrab.
“Ya, begitulah. Aku bingung mau kemana mencari berita tentang penyelamat itu. So mysterious. Editorku memaksaku mencari tahu tentangnya. Katanya berita ini sedang digemari banyak warga kita ini. Terlalu berlebihan. Seperti mencari berita tentang Superman yang baru saja menyelamatkan kota. Hanya menolong seorang gadis dari kecelakaan. Saat seorang gelandangan melaporkan transaksi belasan kilo sabu-sabu kepada polisi, tak ada yang ingin tahu siapa dia. Jika dipikir-pikir, ia telah menyelamatkan masa depan bangsa,” keluhnya padaku.
“So, any suspected?” Aku bingung menanggapi kekesalannya.
“Semua warga kota yang pria, termasuk kamu.” Aku terbatuk mendengar ucapannya.
“Termasuk juga aku. Bisa jadi, bukan? Mungkin saat kejadian aku sedang mengigau. Aku berpikir, mungkin semua cerita itu hanya karangan gadis itu. Bukankah sering terjadi seorang gadis mencari perhatian dengan membuat sensasi?”
“Aku kenal gadis itu. Tak mungkin ia begitu.”
“Ya, kita lihat saja. Semoga saja aku bisa menemukan pria itu dalam dua hari ini.”
Aku masih ingat apa yang dikatakan Kieran tadi. Katanya, kemungkinan besar pria itu akan lewat di tempat kecelakaan dulu di hari dan jam yang sama. Telah kuhitung, dua hari lagi genap seminggu setelah kecelakaan. Tapi sepertinya pujaanku itu sangat terobsesi pada penolongnya. Sejak pulang dari rumah sakit, ia lebih suka menghabiskan waktu luangnya di tempat ia terjatuh sambil berharap pria berjaket rajutan merah lewat sana. Aku jadi semakin cemburu dan kesal. Untung saja ia belum muncul juga.
Tapi aku kagum pada pria berjaket itu. Kepahlawanan tanpa pamrih yang ia miliki itu yang membuat aku menjadi penasaran dengannya. Aku yakin ia telah membaca koran yang berisi kabar tentangnya dan pernyataan keluarga Kieran yang ingin memberi hadiah padanya. Hampir seluruh isi kota tahu kabar itu. Lalu, mengapa ia tidak menunjukkan diri sambil membawa jaketnya? Atau jaketnya sudah hilang atau rusak?
Aku jadi memiliki beban untuk memastikan hal itu, dan juga beban untuk memilikinya. Aku akan bayar berapapun harganya asalkan bisa mendapatkan hati Kieran. Meski harus mencuri sekalipun. Atau meski jatuh miskin sekalipun. Sebenarnya aku tak peduli jatuh miskin atau tidak. Toh sekarang ini yang kupunya hanya sedikit uang hasil keringatku jadi budak Nenek pelitku.
Jadi, daripada mencari jaket itu di toko pakaian, lebih baik aku mencari pemiliknya. Kurasa itu ide terbaik yang terpikirkan sejauh ini. Tapi bagaimana menemukannya? John saja belum mendapat apa-apa tentang keberadaan pria itu. Menurutku, daerah pertama yang patut dikunjungi adalah gunung. Dari keterangan Kieran, aku yakin jika pria itu sedang menuju gunung. Jika menurut orang setelah kejadian tidak ada satu orang pun yang memakai jaket rajutan merah lewat tempat itu, ada kemungkinan orang itu masih di sekitar gunung. Paling tidak jaketnya. Berhubung hari sudah hampir malam, aku berencana untuk mencarinya besok. Jika perlu, besok aku akan bolos. Semua demi mendapatkan cinta Kieran.
* * *
Sial, hari sudah semakin gelap. Tapi belum kutemui tanda-tanda pria berjaket merah itu. Bahkan semakin aku melangkah ke dekat gunung, semakin sedikit rumah penduduk. Dan akhirnya aku benar-benar tidak menemukan rumah lagi. Semua hutan. Apakah sebenarnya pria itu tidak ada di daerah ini?
Tiba-tiba aku kebelet ingin buang air kecil. Lalu kuparkirkan sepeda motorku di sebuah pohon dan menjauh dari jalan. Saat menikmati sebuah ‘kelegaan’, mataku terpaku pada sebuah pondok. Di dekatnya ada motor besar. Kutaksir harganya sekitar lima puluhan juta.
Lalu aku mengendap-endap mendekati pondok itu. Tiba-tiba seorang pria datang dari belakang pondok dengan membawa kayu bakar. Perawakannya hampir sama denganku. Hanya tubuhnya lebih kekar. Siapa pria itu? Ia mengetahui keberadaanku.
“Siapa di sana?” tanyanya.
“Maaf, aku tersesat. Boleh aku bermalam di sini?” Untungnya aku mendapat alasan yang tepat.
Ia tersenyum dan mengijinkanku untuk menginap bersamanya. Tapi konsekuensinya aku harus menemani dia membuat api unggun dan memanggang beberapa ekor ikan. Seperti sedang berkemping. Ternyata ia pria yang ramah. Saat itu kami bercerita banyak.
Dari ceritanya aku mengetahui bahwa ternyata dia sedang dikejar-kejar penagih hutang. Dalam situasi jiwa yang tertekan, ia bersembunyi di hutan untuk sementara waktu. Entah, mungkin sampai dirinya kembali tenang. Di tengah cerita, ia masuk ke pondok. Kedinginan, katanya. Api itu belum cukup untuk menghangatkan tubuhnya. Jadi, ia butuh benda lain.
Betapa terkejutnya aku sekeluarnya ia dari sana. Jaket rajutan merah itu, ternyata miliknya. Akhirnya di otakku semua kejadian menjadi saling berkait satu sama lain. Kesimpulannya, ia adalah penolong Kieran.
Hal ini tidak kusia-siakan. Dengan cara yang halus, aku berusaha meminta jaket itu. Bahkan dengan sedikit memelas. Semua hal, dari yang kupunya sampai yang tak kupunya, kutawarkan padanya. Dan aku sadar, baru kali ini aku mengemis sehebat itu. Tapi ia tidak mau.
“Maaf, meski hutangku banyak, hanya jaket ini yang tak ingin kulepas. Ini adalah buatan Ibuku. Banyak kenangan yang terkandung di dalamnya.”
Ah, persetan dengan kenangan yang ada, batinku. Yang kutahu saat itu, aku sangat membutuhkannya. Tak berhenti aku memintanya, bahkan kemudian cenderung mengancam. Seandainnya tubuhnya tidak lebih besar dariku, aku akan menghajarnya. Dan ia tetap menolak.
“Pulanglah sana. Aku tak suka denganmu. Kamu pikir semua benda yang kamu inginkan harus kamu miliki,” bentaknya.
Aku hanya bisa diam. Tapi diamku menyimpan amarah yang sangat besar. Tiba-tiba terdengar sebuah bisikan, seperti hasutan. Lalu bayangan kecantikan Kieran terpampang di hadapanku. Pengorbanan yang telah kulakukan demi cinta sudah cukup banyak. Tanpa pikir panjang aku menghantamkan sebuah kayu bakar ke kepalanya dengan sekuat tenaga. Ia tumbang. Dan beberapa detik kemudian aku tersadar, bukan itu yang harusnya kulakukan.
Hatiku berdebar melihat tubuh yang terkulai itu. Apakah ia sudah mati? Jika iya, berarti aku telah membunuhnya! Bagaimana sekarang? Apa yang harus kulakukan? Aku takut. Baru kali ini aku membunuh. Tak kusangka perjalananku mengejar cinta berujung kematian seseorang. Ah, sudah tak penting lagi aku membunuhnya atau tidak. Sekarang harus kuapakan mayat pria kekar ini? Sepertinya otakku sedang tak mampu berpikir akibat rasa panik yang luar biasa.
“Apa yang harus kulakukan sekarang?” Pertanyaan itu kusuarakan, entah untuk siapa.
Sepertinya kata hatiku menjawab kegundahanku. Bukankah tidak ada orang yang melihat? Dan bukankah tempat ini adalah pedalaman yang jarang penduduknya? Sangat gampang untuk membuang orang ini tanpa ketahuan. Sudah kepalang tanggung.
Aku mencoba mengangkat tubuh itu. Meski terhambat rasa kantuk, angin yang dingin, dan tubuh berat ini, aku harus melakukannya. Aku hampir lupa dengan hal yang lebih penting, sebelumnya aku membuka jaket merah itu dulu. Memegangnya membuatku kerepotan. Lebih baik aku pakai dulu. Aku membawa pria itu ke dalam hutan. Sangat gelap, pasti banyak setannya. Ah, persetan dengan setan. Kini aku yang sedang jadi setannya. Tak apalah, demi jaket ini. Demi cintaku pada Kieran.
Tak kusangka, butuh waktu hampir sejam untuk membereskan mayat itu. Padahal hanya mengikatnya dengan sebuah batu yang berat dan membuangnya ke sungai yang ada di dekat sana. Aku sudah membereskan semuanya. Kulihat jam di tanganku. Ternyata sudah jam 7 malam. Aku harus segera pulang karena besok aku harus sekolah. Aku ingin bertemu dengan Kieran, memandang wajahnya yang menatapku biasa karena mulai nanti sore sampai selamanya dia akan menatapku penuh dengan cinta. Tapi sayang, aku takkan mendapat tatapan itu.
Pagi esoknya, tubuhku serasa hancur. Karena sibuk dengan kejadian kemarin, aku kelelahan. Akibatnya aku bangun kesiangan dan terlambat ke sekolah. Tapi jika mengingat keberhasilanku mendapat jaket itu, aku menjadi bersemangat lagi. Jaket itu telah kugantung dengan sangat rapi dan manis di lemariku. Ia akan aman dan bahagia di sana. Beberapa kali aku memeluk dan memandang jaket itu penuh dengan kekaguman dan sukacita.
Jujur, aku sangat takut karena telah membunuh semalam dan itu membuatku bermimpi buruk. Untungnya aku sangat yakin jika perbuatanku takkan diketahui. Perasaan bersalah ini akan hilang dimakan waktu. Mungkin ide untuk bertobat dan menjadi rohaniawan beberapa tahun lagi bisa membuatku lega sekarang.
Setiba di sekolah, aku tidak menemukan perbincangan-perbincangan tentang harapan lewatnya sang pahlawan berjaket merah nanti sore. Bahkan sejak aku masuk kelas sampai jam istirahat, aku tak mengetahui alasan mengapa Kieran hanya diam saja dengan memasang wajah yang sangat sedih. Ya, sampai jam istirahat. Karena pada saat itu akhirnya aku menemukan alasan sikap aneh Kieran.
“Apa?! Pahlawan berjaket merah …” Pekikku tak mampu melanjutkan kalimat itu.
“Ya, kejadiannya kemarin malam. Tanya saja pada John, saudaramu yang wartawan itu,” kata Rudi, teman sekelasku.
Tapi aku mendapat cerita selengkapnya tidak dari John. Sebagian dari koran. Di sana terpampang foto seseorang yang memakai jaket merah bergambar burung merpati di punggungnya. Memang kurang jelas, karena di ambil dalam keadaan gelap. Tapi samar terlihat pria itu sedang membuang sesuatu.
Menurut pengakuan John, saat itu ia sedang mencari berita tentang pria yang seminggu lalu menjadi pahlawan. Ternyata ia tersesat. Dan di dalam ketersesatannya itu ia melihat hal yang terpampang di foto itu. Saat itu ketakutan membuatnya tak mencoba memastikan siapa pria itu. Ia hanya bisa bersembunyi, dan beruntung sempat mengambil satu fotonya. Dan sesampainya di kota, ia menelepon pihak kepolisian. Meski belum dimuat di koran itu, aku telah mendengar kabar bahwa polisi telah menemukan sesosok mayat di sungai itu.
Akh, sialnya aku. Dan aku tahu kesialanku berlipat ketika tahu bahwa pria itu adalah seorang polisi yang sedang melakukan penyamaran, entah penyamaran apa. Terlalu amat sangat begitu sial bagiku. Semuanya hancur berantakan. Tak mungkin aku mengakui diriku lagi sebagai pemilik jaket merah. Jaket itu sangat berbahaya. Apa?! Benar juga. Bagaimana jika ada yang menemukannya di lemariku? Aku bisa ketahuan.
Dengan terburu-buru aku berlari ke arah pagar belakang sekolah. Aku harus pulang sekarang. Tak peduli jika aku harus cabut. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh anak pemalu dan kaku sepertiku. Saat berlari itu aku sempat melihat Kieran. Wajahnya melukiskan kesedihan yang amat sangat. Aku jadi merasa bersalah padanya. Sepertinya rasa cintaku padanya menjadi kalah besar dari rasa maluku.
* * *
Seorang pemuda berlari dengan nafas yang terengah-engah, seperti telah berlari dengan jarak puluhan kilometer. Wajahnya memerah dan dadanya naik turun. Ia masuk ke dalam sebuah rumah, rumahnya sendiri. Beberapa saat kemudian ia keluar dari pintu belakang, kini dengan sebuah jaket di tangan kanannya dan sebotol minyak serta korek api di tangan yang lain.
“Dasar jaket terkutuk. Kupikir kau bisa menolongku, sampai aku harus mengorbankan banyak hal demi mendapatkanmu. Tapi ternyata kau hampir membuatku celaka. Lihat saja kini, aku akan melenyapkanmu dari muka bumi ini,” kata pemuda itu dengan wajah beringas.
Di halaman belakang rumahnya, ia mencampakkan jaket itu ke tanah. Lalu disiramnya dengan banyak minyak tanah. Kemudian ia membakarnya. Ia tak tahu, apakah dengan melenyapkan jaket itu semua kejadian yang terjadi kemarin bisa lenyap juga. Yang ia tahu adalah ia telah terjebak ke dalam perangkap.
“Dan kau, suara hati sialan, kau telah menjebakku. Jangan pernah memberi nasehat bodoh lagi padaku. Jangan memperalatku lagi.”
Ya, aku tahu itu. Akulah yang memberi pemuda itu gambaran bagaimana harus bersikap pada cinta sambil mengacuhkan hakikat dan sumber cinta itu sendiri. Ia mencintai, memang bukan kerjaanku. Tapi ia buta karena cinta, berkorban demi cinta, dan melakukan kejahatan demi cinta, itu aku yang bertanggung jawab.
Mencintai itu seperti berjalan di atas sebuah tali yang terutas di atas jurang. Aku tidak mendorongnya, tidak juga memutuskan tali itu. Aku hanya membisikkan cara berjalan yang salah, seperti yang telah kulakukan pada pemuda itu. Dan aku tidak menyesal untuk hal itu. Menyesatkan manusia sepertinya memang tugasku.
Aku adalah roh pemberontak. Aku ini pembuat cerita buruk yang baik. Cinta, penyesalan, dan jaket. Tak ada yang bisa mengaitkan semua itu dalam sebuah cerita ironis sebaik aku. Dan aku punya banyak cerita lain.
by;remiel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar