Senin, 06 September 2010

jakarta dalam imajinasiku

Hari ini panas sekali. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepalaku, ketika aku mulai merasakan pening. Penyakit Hipotemia yang kuderita sejak umur 10 tahun sangat menghambat pekerjaanku. Sudah 6 jam aku duduk disini, menunggui koran-koran dan majalah-majalah adalah kegiatan rutinku sebagai loper koran. Di pagi hari aku berkeliling komplek elit depan kampungku, kampung semi permanent yang hamper seluruh warganya adalah pemulung, pengamen, atau loper koran sepertiku. Setelahnya aku menjajakan koran di bawah pohon beringin di trotoar pinggir jalan raya. Karena aku merasa tak enak badan, kubereskan semua koran dan majalah bermaksud pulang lebih awal.

Naik sepeda butut aku menuju agen koran di Menteng. Sebuah toko kecil berukuran 4 x 4 m beratapkan asbes tempatku mengambil koran setiap hari. Ruangan penuh sesak majalah-majalah baru campur bekas bertumpuk di sudut meja. Aku letakkan majalah dan koran yang kubawa dan segera menghampiri Bang Gomgom, empunya toko. Lelaki keturunan Batak yang pendek tapi berperut buncit itu sedang duduk-duduk membaca majalah otomotif.

“Assalamualaikum Bang, ini saya mau setor. ” Aku berbicara dengan suara lantang dan tegas karena aku tahu, Bang Gomogom punya masalah pendengaran.

“Tumben kali ini kau datang siang-siang gini? “ tanyanya dengan nada yang tak kalah tinggi.

“Lagi tak enak badan Bang.” Sambil menghitung uang setoran, aku duduk di samping Bang Gomgom

“Bah… Awak kira koranmu sudah habis, Cal,“ Bang Gomgom terkekeh

“Kalau setiap hari habis jam segini, makmur hidup aku Bang “.

Kulihat jam menunujukkan pukul 13.30. Tak lupa aku berpamitan dengan Bang Gomgom dan melanjutkan perjalanan menuju rumah. Kondisi rumahku memang seperti rumah pada umumnya, atau orang kaya biasa menyebutnya rumah kardus

Di tengah perjalanan aku melambatkan ritme mengayuh sepeda. Aku hendak membeli nasi bungkus di warteg sekitar terminal. Di kejauhan aku melihat tiga orang lelaki bertubuh serba hitam nongkrong di halte. Postur tubuhnya memang seperti Hercules, preman Tanah Abang, tapi kharismanya berbeda. Kualihkan pandanganku melihat seorang kakek renta dengan pakaian lusuh duduk bersimpuh di trotoar, mengharap belas kasih orang lain. Aku kasihan padanya, tetapi uangku tak cukup mengasihi perutnya yang kelaparan. Tubuhnya yang kurus dikelilingi Drosophila Melanogaster, karena ia memang duduk di tempat sampah, semakin menunjukkan pemandangan tragis.

Sering terbesit pikiran, Jakarta adalah kota terbesar di Indonesia. Sebagai Ibukota Negara berkembang tentunya berbagai aktivitas, mulai dari industri sampai informasi semua berkumpul di kota Abang-None ini. Dari pejabat tertinggi sampai penjahat kelas teri, dari pemimpin negara sampai gelandangan yang menjadi beban negara semuanya tumpah ruah di bawah monument nasional. Semua mempunyai mimpi yang sama, yaitu hidup makmur dan menjadikan Indonesia negara maju se-Asia bahkan dunia. Tapi nasib berkata lain. Tak ada yang tahu, 10 tahun kemudian akan dibawa ke mana Indonesia? Di tengah kebijakan Presiden yang kontradiktif dalam kondisi dilematis, yang semakin mencekik rakyat kecil seperti kami, seperti aku yang belum juga mengerti makna “ pembangunan “ yang dicanangkan pemerintah dalam kegagalan pembangunan infrastruktur kendaraan umum dengan dana milyaran rupiah.

Kalian bisa melihat televisi, media cetak online maupun offline, dan internet gambar-gambar tentang Jakarta. Tentang teknologinya yang maju, tentang budaya Betawinya, tetang artis-artisnya, dan tentang bangunan-bangunan pencakar langitnya. Tapi tak pernah terpotret wajah-wajah kami, wajah melarat yang apabila ditampilkan di layar kaca orang akan langsung mengganti channel TVnya dengan sinetron yang memang sangat digemari masyarakat Indonesia. Keberadaan kami seperti tak pernah ada.

Di saat para developers property mengembangkan hunian mewah dengan cicilan ringan atau bunga nol persen, kami sedang sibuk-sibuknya membenahi rumah kardus yang tidak tahan hujan dan tidak tahan angin kencang.

Inilah Jakarta, kota dengan budaya dan sejarah Belandanya yang kental. Kota dengan banyak animo masyarakat bahwa tinggal di Ibukota, kehidupan bisa lebih baik. Setiap tahun sehabis lebaran, mereka yang pulang kampung kembali ke Jakarta bersama saudara sekampungnya mencoba mangadu nasib di Jakarta. Petugas satpol PP sibuk mendata siapa-siapa para pelaku operasi yustisi dan tidak segan memulangkan mereka ke desa asalnya. Apa alasannya? Karena Jakarta sangat sempit bagi warga miskin seperti kami. Takkan cukup lagi kampung kumuh menampung pendatang dari desa yang keadaannya juga tak kalah miskin seperti kami. Mereka hanya akan menambah tingkat kriminalitas dan pengangguran yang sudah berjumlah ratusan di Jakarta dan mereka hanya akan membuat sibuk para pejabat legislatif yang sedang berkoar-koar tentang pengentasan kemiskinan yang pada kenyataanya tak pernah terealisasi.

Pemerintah seperti tak mempedulikan kami padahal kami berada di kota pusat pemerintahan. Dimana selayaknya kami bisa hidup sejahtera di negeri ibu pertiwi ini. Tapi keadaan sudah berputar 180 derajat, anak bangsa yang seharusnya menjadi pengusaha negara kaya raya ini malah menjadi pesuruh di negeri orang, menjadi pembantu rumah tangga bahkan yang paling parah terjadi Human trafficking yang kebanyakan korbannya adalah wanita. Masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah oleh pemerintah ini menjadi renungan sendiri bagi kita. Akankah Indonesia dirundung masalah-masalah yang tak kunjung menemukan titik terang?

Sore ini aku sedang berjalan menyusuri kampung kumuhku. Beberapa orang tua berumur sekitar 65 tahunan berjalan mondar-mandir pada jalan setapak berkerikil batu yang dibuat warga desa sendiri guna kelancaran peredaran darah karena mereka tak mampu pergi ke tempat yoga. Segerombol anak kecil berjalan santai sambil bernyanyi. Suaranya merdu bak penyanyi cilik jebolan variety show TV swasta. Mereka adalah pengamen. Berbekal gelas aqua mereka menjajakan suaranya di lampu merah. Kenapa? Padahal kami semua berhak hidup layak, tapi kenapa? Apa yang salah? Tak kutemukan jawaban dari semua pertanyaan yang terus menyesak di dadaku. Tidak satu pun kecuali, bahwa aku bukan apa-apa. Kenyataan pahit bahwa aku yang sdekarang berdiri menatap langit senja ini tak lebih dari remaja yang berimajinasi keadaan akan berubah suatu saat nanti. Entah mimpi atau sekedar menghibur diri, yang jelas, di kota semegah ini aku tak terlihat.

by;septiws

Tidak ada komentar:

Posting Komentar