Senin, 06 September 2010

pembunuh berdarah dingin

Aku ingin marah. Menarik manusia-manusia itu, menghajar mereka dengan bogem mentahku. Benar-benar jiwaku berontak. Apalah dayaku, kuhanya bisa menatap dari lantai dua kamar kos ini.
Amarah hanya dirasakan dinding putih yang membalut kamar ini serta udara yang mengelilinginya. Tak mungkin kuhampiri mereka lalu menasehati ini-itu. Berteriak? Kurasa itu tingkah yang memalukan. Tidak pantas.

Aku ditemani seorang calon mahasiswa yang akan kuliah di kota Depok ini. Aku mahluk lama, dia pendatang baru, dan mereka penghuni lama.

Di belakang kos kami terdapat kawasan yang lumayan luas. Kalau dipikir memang aneh, di sebuah kota yang sudah maju masih ada hutan. Bahkan hutan itu tak diperhatikan. Hutan hijau itu berada jauh di bawah rumah ini. Tapi aku tahu itu hutan karena sejauh pandanganku yang terlihat hanya tumbuhan bahkan sebagian nama tumbuhan itu tak kukenal. Suara-suara nyaring dari burung-burung atau hewan apa saja di dalam hutan itu selalu berkumandang dari pagi sampai pagi lagi. Sungguh damai…

Burung-burung beraneka ragam selalu bermain di dekat pepohonan yang tumbuh berdempetan dekat jendela kamarku.

“Pasti mereka dari hutan sana,” pikirku.

Begitu dekatku dengan alam. Terkadang burung-burung bersenandung sambil berkejar-kejaran dengan pasangannya. Menuruni dahan kedahan yang lain. Mengibaskan sayap lalu terbang ke pohon terdekat. Tiada sirna nyanyian mereka. Aku merasa seperti di surga mendengar kidung yang tiada henti.

Pernah seekor tupai bermain melompat-lompat dari atas ke bawah. Di atas pohon yang tumbuh dekat jendela kamarku. Temanku ini ingin memotretnya tapi dihalangi dedaunan itu.

Aku berpikir, pasti banyak sekali hewan di hutan sana. Kulihat lagi sejauh titik butaku. Ah, hanya pepohonan rimbun yang terlihat. Tapi biarlah mereka mungkin merasa damai di sana. Setiap detik kudengar kicauan burung silih berganti sungguh damai hati ini.

Mataku tiba-tiba tertuju pada tembok di bawah kamarku yang membatasi tempat mencuci pakaian dan hutan itu. Seekor monyet turun entah darimana. Sungguh aku benar-benar terkejut. Dipandangnya jendela kamarku lalu dia berpaling lagi. Mungkin dia merasa aku melihatnya. Lalu dilihatnya lagi. Dia pun melewati serpihan kaca yang disemen menyatu dengan tembok tanpa menyentuh dan melukai kakinya. Hebat…

Celingak-celinguk… Dia melompat ke atas pohon, ke ranting terdekat, duduk sebentar lalu naik ke atas terus dan terus sampai siluetnya tak terlihat lagi olehku. Kukira dia sudah jauh masuk ke hutan itu. Aku berpikir apakah di sana ada ular? Bagaimana kalau mereka masuk ke kamarku?
Ih…Ngeri…! Mudah-mudahan tidak.

Pohon-pohon dan tanaman-tanaman lain itu adalah makluk hidup seperti manusia. Bedanya dia hanya diam bertumbuh menuju matahari, berdaun, mencari makanan dengan akar dan fotosintesis dan juga tidak bersuara layaknya manusia atau binatang. Mereka itu baik, setidaknya menurut pandanganku. Tidak berontak, padahal manusia tak memberinya makan seperti hewan peliharaan yang mereka pelihara. Mereka itu baik, rela dengan senang hati menghirup CO2 yang jelas-jelas beracun untuk manusia tapi mereka rela menghirup gas itu. Sebagai balasan diberinya O2 agar kita tetap bisa bernafas. Kurang baik apa makluk bisu itu?

Dia lebih bisu dariku. Aku masih bisa bersuara, meski manusia tak mengerti apa yang kukatakan.
Dia bahkan tak marah walau ada seorang bapak-bapak mengencinginya. Ih… sangat menjijikkan.
Bila kau menjadi dia pasti akan kau tendang ‘burung’ bapak itu. Ya bapak-bapak itu, yang sedang membangun sebuah rumah di samping rumah kos ini silih berganti membuang hajat di balik rimbunan tumbuhan liar dan pepohonan rindang itu.

“Andai saja ada ular membelitnya,” batinku.

Masa dia yang sudah menghirup CO2 harus menghisap zat asam yang tak berguna hasil daur ulang dalam tubuhmu? Kalau kau disuruh meminum air itu bagaimana? Pasti kau akan muntah sebelum air itu menyentuh mulutmu. Mungkin tumbuhan itu sedang menangis.

Terdengar desingan gergaji mesin… “Sing…” Terus-terus dan terus

“Gedebam…” Kira-kira seperti itu bunyinya.

Pohon besar yang lingkar diameternya kurang lebih satu meter dan sebagian akarnya mencuat di atas tanah, harus tamat riwayatnya. Apa salahnya? Hanya karena dia menghalangi proyek pembangunan kalian? Tega sekali.

Truk memasuki area kosong menuju proyek itu yang juga melewati samping rumah kos ini dan pastinya mereka membawa sesuatu di dalam bak tertutupnya. Mereka membukanya. Kukira itu barang-barang untuk pembangunan rumah itu. Ternyata mereka menurunkannya tepat di tepi bibir jurang hutan kecil itu. Beberapa orang datang dari jalan sana, membawa karung di pundak.
Mereka seperti lalat yang mengerubungi makanan dan sepertinya memang sama karena kulihat lalat sudah mengerubungi benda-benda yang diturunkan itu. Ternyata itu sampah…

Manusia-manusia itu mengais-ngais. Aku bingung hendak apa mereka. Tak mungkin manusia memakan sampah bukan? Selesai mereka mengais dan mendapat yang dicari, mereka pun pergi dengan karung yang sudah menggembung dan wajah berseri. Mungkin mereka mengerjakan itu demi sejengkal perut. Untung perutku tak sebesar itu.

Tiga orang lelaki yang menurunkan sampah itu mulai mendorong sampah dengan kakinya yang memakai sepatu boot. Sedikit demi sedikit sampah itu jatuh-jatuh dan habis. Kemana?
Itulah kejamnya manusia di bawah sana. Mereka membuangnya ke hutan melalui bibir jurang itu.
Itulah yang membuatku ingin mencekik mereka seperti hantu gentayangan menghampiri tanpa mereka tahu.

Tak hanya hari itu, kemarin kemarin dan hari ini juga. Ampun… Mereka benar-benar pembunuh berdarah dingin. Sampah-sampah itu mana mungkin langsung hilang. Lagipula banyak plastik, beling, dan benda bau busuk lainnya yang ikut terbuang kesana. Hewan-hewan di sana pasti kebauan karena udara yang menusuk dari sampah itu, aku saja merasakannya dan ingin pindah dari kamar ini. Pohon dan tanaman itu pun pasti ingin menangis. Bagaimana mereka akan memakan sampah itu? Tanah di bawah sana juga pasti ingin menangis. Bagaimana mereka mendaur sampah itu? Mereka takkan bisa. Semua yang ada di hutan sana bukan mesin.

Setiap hari dan setiap hari bau sampah sudah menyengat kesini, bahkan mahasiswa temanku ini yang biasa membuka jendela dari pagi sampai petang tidak pernah membukanya lagi. Walau sedetik. Kenapa?

Saat seluruh Pemimpin Negara dipenjuru bumi mengumumkan tentang ‘Global Warming’ dan menganjurkan manusia memelihara lingkungan dan menjaga tumbuhan, kok masih ada yang menghancurkan. Tidak ingatkah atau mencoba melupakan? Bahwa tempat tinggalnya mulai rentan. Bahwa Indonesia adalah paru-paru dunia. Bahwa mahluk lain juga tinggal bersama mereka.

Tidak tahukah efek rumah kaca dari aktifitas pabrik, segala bangunan tinggi itu dan asap-asap kendaraan yang semakin padat itu? Di mana hati seorang manusia terhadap rumahnya sendiri yang atapnya sudah bolong-bolong dimana-mana? Jendelanya sudah rusak, pintu rumah sudah lepas dan dinding –dinding sudah retak?

Manusia ada di planet bumi bersanding dengan makluk hidup lainnya. Tak bisakah hidup beriringan dengan damai. Merawat mereka demi dirinya dan rumahnya ini? Sudah diberi Gusti dia akal dan budi. Lalu bersekolah dari SD sampai sarjana bahkan ada yang professor atau apalah nama gelar yang mereka dapat. Seharusnya ilmu sejalan dengan perasaan.

Semua makluk hidup di bumi punya perasaan meski mereka tak bisa bersuara atau mengungkapkannya. Andai kami diberi bahasa yang sama dengan bahasa yang dipakai manusia-manusia itu. Pasti kami berteriak, “Pantaskah manusia disebut manusia. Tidak lebih baikkah mereka disebut sebagai pembunuh berdarah dingin?”

Lebih baik seperti aku yang selalu melahap mereka tanpa permisi. Mereka para nyamuk yang ingin masuk ke kamar ini. Nyamuk yang ingin menularkan virus ketubuh manusia membuatnya sakit dan menghisap darahnya. Setidaknya aku masih lebih berguna daripada manusia-manusia itu.
Meski aku pernah berharap jadi manusia atau menjadi makluk yang tinggal di hutan bawah sana, aku bersyukur aku di sini. Aku tak harus merasakan perbuatan manusia yang membunuhku pelan-pelan atau memburuku seperti binatang lain.

Untung tidak banyak manusia yang tahu apa kegunaanku maka kami selamat. Untung aku masih makluk yang sama, meski hidup sebagai pembunuh berdarah dingin. Apa beda kami? Manusia dan aku?

Aku seekor cicak di lantai dua, kamar 12A

by;evaria hutagulung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar