Sudah enam tahun aku merantau. Selama itu pula kutinggalkan sawah peninggalan Ayah tercinta. Sanak saudarakulah yang meneruskan usaha turun-temurun di desa kami. Tentunya mereka tetap mencari ilmu untuk menggapai cita-cita mereka. Masih kuingat gemericik air sungai saat anak-anak sedang asyik membasahi tubuh mereka. Suara kicauan burung padi yang dulu menemaniku belajar di bawah pohon randu sudah lama tak kudengar.
”Yah kapan kita mengunjungi Nenek?” Kemarin anakku merengek memintaku pulang ke desa.
”Perhatikan anak kita! Dia saja ingin menemui neneknya,” istriku mencoba menyadarkanku yang selama ini merasa malu menemui ibu dan sanak saudaraku sendiri. Perasaan malu tidak dapat membangun desa yang telah membesarkanku selalu hinggap tatkala aku ingat mereka.
Kusandarkan kepalaku yang hampir botak di dinding yang kubangun dari keringat dagang di kota ini. Kota yang tidak diinginkan ibuku. Bukan perkara kota sebenarnya, melainkan harapan memakmurkan desa. Untunglah ibu dan sanak saudaraku mengizinkanku menikahi gadis dari luar desa kami.
Setahun yang lalu aku berbicara dengan keluarga di desa lewat telepon,
”Ibu dalam keadaan sehat. Adikmu Endang kini sudah mandiri. Ia telah lulus kuliah diplomanya. Kini ia bekerja menjadi guru di desa kita,” tutur ibuku dengan sangat senang.
Mungkin beliau senang karena akhirnya Endang dapat membaktikan dirinya untuk desa. Sedangkan aku, hanya membuat ibuku dikatai tetangga tidak dapat mendidik anak mencintai tanah kelahiran. Aku juga tidak habis pikir mengapa aku mau merantau hanya untuk pekerjaan yang sebenarnya ada di desaku. Tapi setidaknya aku dapat mengepakkan sayap hatiku menggapai cita-cita menapaki tanah Ibukota. Ah, begitu naifnya diriku ini saat aku sadar dan semuanya telah terjadi.
Kini anakku sudah dua. Umar nama anakku yang pertama dan Syarif nama anakku yang kedua. Istriku yang dulu masih kekanak-kanakan, kini telah dewasa. Usaha dagangku pun kian bertambah maju. Kerinduanku akan kampung halaman tidak dapat kusembunyikan lagi tatkala anakku menunjukkan lukisannya kepadaku.
”Sungai yang kugambar ini indah ’kan Yah?” Hatiku semakin ingin menceburkan diriku dalam sungai yang ada di desa kami. Aku rindu air sungai. Bahkan sangat rindu. Kata-kata anakku sangat polos, tetapi mampu membuat aku yang dewasa ini tertegun menyelaminya.
”Ya Nak. Lukisanmu ini sangat indah,” jawabku sekaligus penilaian yang jujur dari hatiku atas sungai yang digoreskannya dalam media kertas pemberian ibunya tempo hari.
”Minggu depan aku pulang,” tegasku dalam hati.
***
”Yah kita belikan apa ya untuk oleh-oleh orang di sana?” Anakku semakin bersemangat berkunjung di tanah kelahiran ayahnya. Ia pernah mengatakan sangat ingin jalan-jalan mengitari desa yang sudah lama kutinggalkan. Anakku masih sangat lugu.
”Belikan saja mereka barang-barang yang ikhlas kamu berikan.”
Sejak awal aku sangat menginginkan anak-anakku selalu ikhlas memberikan segala sesuatu kepada orang lain, walaupun hanya sedikit. Jujur, aku sama sekali tidak menginginkan anak-anakku mengungkit-ungkit pemberian mereka kepada seseorang atau suatu kelompok di hadapan orang lain. Kasihan orang yang diberi jika demikian halnya.
Enam hari telah berlalu sejak niatku pulang kampung tercetus dari hatiku. Tiket sudah ada dalam genggaman. Jadwal keberangkatan ada di hadapan mata dan bayangan akan desaku terasa semakin dekat.
”Nasinya dimakan. Nanti kalau dingin tidak enak. Tenang saja, desanya tidak akan lari.” Istriku rupanya dari tadi memperhatkanku. Begitu sayangnya dia kepadaku. Senang rasanya hati ini memiliki pasangan hidup yang perhatian. Tidak salah diriku memilihnya. Benar juga kata mendiang ayahku, ”Istri itu yang penting bukan hanya wajahnya, tetapi kebaikannya kepada suami.”
”Masakanmu memang enak Diana,” pujiku kepadanya. Dia terlihat sangat senang dengan kata-kataku itu. Sesekali istri memang harus dipuji sebagai bumbu penyedap suasana rumah tangga.
Siang, sore, malam, hingga pagi kini datang. Sejak pukul 05.00 tadi kami sibuk mempersiapkan keberangkatan ke desa harapan.
”Akhirnya hari yang kutunggu datang juga. Sangat senang hati ini. Semoga saja anak dan istriku juga bahagia mendapatinya,” ucapku dalam hati.
”Asyik aku akan bermain di sungai dekat rumah Nenek. Kira-kira bagaimana wajah Nenek ya sekarang?” Umar pun punya keinginan dalam hatinya.
”Aku ingin bercerita soal kehidupan di kota kepada adik-adik iparku di sana.” istriku yang dari tadi diam akhirnya mengungkapkan keinginannya juga.
Rupanya kami sama-sama memiliki keinginan masing-masing.
***
”Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumussalam. Bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Kudengar kabar dari desa tahun lalu kamu jadi lurah di desa kita. Benarkah itu?” ungkapku dengan perasaan gembira kepada taman sepermainanku dulu.
”Kamu benar sekali. Aku sekarang telah menjadi lurah di desa kita. Oh iya, kamu sekarang bertambah gemuk saja. Pasti kamu sukses di tanah rantau.” Sudah lama tak bertemu, ternyata temanku tidak saja berubah dalam gaya bicara. Usman satu-satunya putra desa kami yang bergelar sarjana.
”Desa kita di tanganmu bertambah maju ’kan?”
”Soal kemajuan desa tidak usah kamu pikirkan. Ditanganku, desa mana yang tidak akan maju. Kini sudah banyak rumah di desa kita.”
”Pembangunan perumahan maksudmu?”
”Benar sekali. Tanah-tanah yang menganggur sekarang sudah berpenghuni dan ramai dengan suara anak-anak mereka.”
Pemberitahuan akan diberangkatkanya pesawat yang akan menerbangkan aku, istri, dan anakku memutus pembicaraanku dengan lurah di desaku itu.
Sepanjang perjalanan hatiku risau. Semoga kecurigaanku tidak benar.
”Abang sedang memikirkan sesuatu ya?” Istriku lagi-lagi memperhatikan gerak-gerikku.
”Ah tidak. Abang tidak sedang memikirkan sesuatu,” elakku agar ia tidak ikut larut dalam kerisauan. Aku tidak ingin merusak liburannya dan anak kami. Paling tidak dalam perjalanan ini.
Akhirnya kami mendarat juga selama dua jam melayang di udara dengan kecepatan tinggi.
”Inilah kemajuan yang dapat membuat orang terbang dan terkendali. Sungguh kita dapat melihat kebesaran Tuhan dari manusia yang diciptakan-Nya. Sungguh Maha Besar Tuhan pencipta manusia yang dapat membuat pesawat terbang,” kataku kepada anakku.
Sejenak anakku diam setelah mendengarkan kata-kataku itu dan ia kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Masih 280 kilometer lagi kami harus menempuh perjalanan.
”Tenanglah kami belum lelah,” istriku seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.
”Sukurlah jika demikian kenyataannya. Jika kamu nanti lelah, jangan sungkan untuk mengatakannya kepadaku.” Mudah-mudahan saja kali ini ia mau mengatakannya kepadaku. Biasanya ia menutupi sesuatu yang membuatku cemas.
”Yah masih berapa lama kita sampai?” rupanya anakku mulai bosan dengan perjalanan yang cukup melelahkan ini.
”Lebih kurang dua jam lagi kita sampai. Tidurlah! Nanti jika sudah sampai, akan Ayah bangunkan.”
***
”Aku kembali desaku! Akhirnya aku dapat menginjakkan kakiku di tanah kelahiranku lagi,” ucapku dalam hati dengan perasaan senang yang luar biasa.
”Mana sungai dan persawahannya Yah? Aku ingin mandi di sungai dan menikmati merdunya kicauan burung padi.” Anakku menyadarkanku dari rasa senangku yang sangat besar itu. Aku baru sadar sekarang aku seperti berada di tempat yang tidak pernah kukunjungi.
”Mana sungai yang dulu menjadi tempatku bermain dengan anak-anak lain? Sawah-sawah yang menghijau tatkala musim tanam dan menguning saat musim panen kini sudah tidak ada. Ke mana kalian pergi?” Sungguh aku hampir tak percaya dengan apa yang kulihat.
”Kamu percaya dengan ini? Katakan ini hanyalah mimpi sesaat yang akan hilang tatkala kita terbangun!”
”Ini bukan mimpi Bang. Ini adalah kenyataan. Abang harus menerimanya,” istriku berusaha menyadarkanku dari ketidakberterimaanku.
”Aneh. Sungguh aneh sekali. Benar…benar dugaanku atas perkataan lurah baru itu. Maju apanya? Ini namanya pemberantasan keindahan yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami.”
Segera kulangkahkan kakiku ke rumah ibuku. Di sana kudapati beliau sedang menjemur pakaian.
”Assalamu’alaikum.” Salam yang sangat lama tak kuucapkan kepada ibu kandungku kini kuucapkan kepada beliau.
”Wa’alaikumussalam. Aku tidak salah lihat ’kan? Anakku, kamu anakku,” didekap beliau erat-erat tubuhku dengan kucuran air mata kebahagiaan kami. ”Cucuku sudah besar. Menantuku juga masih cantik seperti dulu. Kemarilah kalian. Aku ingin memeluk kalian erat-erat.” Kulihat ibuku sangat bahagia bertemu kami. Kulihat wajah beliau yang semakin berkerut dan tubuh beliau yang membungkuk membuat air mataku tidak dapat berhenti mengalir.
”Mana Lina, Fajri, Sadi, dan Endang Bu?” tanyaku singkat.
”Mereka sedang menghadiri pesta perkawinan Santi.”
”Maksud Ibu anak Pak Saleh yang sudah menikah tujuh tahun lalu?”
”Ya. Suaminya meninggal dunia karena ditembak polisi.”
”Ditembak polisi? Bang Dayat ’kan orangnya baik.”
”Empat tahun lalu di desa ini terjadi insiden berdarah. Warga mempertahankan tanah persawahan dan sungai di tempat kita. Sertifikat kita ternyata selama ini tidak berlaku.”
”Bagaimana mungkin tidak berlaku?”
”Sudahlah Anakku. Ikhlaskan saja semuanya. Warga di sini juga sudah mengikhlaskannya.”
Sejenak aku terdiam. Aku merasa benar-benar bersalah dan menyesal mengapa aku tidak dapat berbuat untuk desaku. Aku tidak dapat berbuat apa-apa saat tanah kami direbut orang-orang tak bertanggung jawab. Kini tidak ada gunanya aku protes. Sakit sekali rasanya hati ini menelan kenyataan buruk tanpa perlawanan. Sungguh sulit harus menjadi orang yang sabar.
”Abang harus tabah. Nasi sudah menjadi bubur. Desa tidak lagi seperti dulu, itulah kenyataannya.”
”Aku malu Dik dengan sikap sombongku dulu. Aku juga sangat egois kala itu sehingga tidak memikirkan kehidupan di sini. Dulu saat ada tawaran dari kelurahan yang memintaku bekerja di sana tidak kuhiraukan. Aku lebih memilih memenuhi nafsuku untuk menjadi seoarang petualang. Betapa malunya aku saat ini kepada desa ini.”
”Abang tidak usah malu. Malu hanya membuat Abang menjadi orang yang pesimis. Tataplah desa ini dengan rasa optimis.”
”Istrimu itu benar Anakku.” tiba-tiba Ibu muncul dari balik tirai kamar.
”Maksud Ibu?”
”Walaupun kini desa tidak seperti dulu lagi, ibu dan yang lainnya masih bisa berkebun di belakang rumah. Sungai memang sudah tidak ada, tetapi air sumur masih ada. Hati kami memang sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang kau rasakan kini, tetapi apalah daya.”
Ibu dan orang-orang di sini sangat sabar. Kami adalah orang kecil yang tak mampu mempertahankan warisan nenek moyang. Sekali lagi, inikah yang namanya kemajuan? Kemajuan tentu tidak harus memberantas alam yang sehat.
***
”Kapan datang Kak? Hai Umar! Hai Soni!” sapa Endang kepada kami dengan hangat. Segera diciumnya punggung tanganku dan istriku. Diciuminya kedua anakku. Secara bergantian adik-adikku yang lain juga berlaku demikian.
”Bagaimana kabar kalian?” tanyaku.
”Aku sudah jadi guru SD Negara di desa ini,” jawab Endang.
”Kalau aku masih kuliah Kak di Jurusan Ekonomi.” Sadi angkat bicara.
”Fajri juga kuliah Kak, tapi di Jurusan Bahasa”
”Aku masih semangat belajar di SMA,” Lina juga ikut menimpali.
”Syukurlah kalian semua menjadi pemuda-pemudi yang beguna bagi desa ini. Kakak harap kalian teruslah seperti ini dan jauhkan narkoba dan pergaulan bebas dari diri kalian. Satu lagi, bangunlah desa ini dengan kujujuran, kebenaran, dan keadilan,” nasihatku kepada adik-adikku.
Malam ini aku sangat sulit tidur. Aku belum dapat menerima semua yang terjadi di desa ini. Harapanku tidak terwujud. Harapan kami sekeluarga pupus sudah. Kini sawah harapan kami tidak lagi seperti dulu. Sawah yang menjadi tumpuan hidup kami telah usai. Sungai yang menjadi sumber irigasi pun telah mati. Kini hanya dapat kulihat menguning sawah harapan kami. Bukan menguning oleh padi yang sudah masak. Melainkan menguning oleh warna bangunan perumahan yang memadatinya.
by;mahmud jauhari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar