Kamis, 30 September 2010

merpati,maafkan aku

Matahari bersinar terang, menerobos celah-celah, menerangi bumi. Tahun silih berganti, terik matahari semakin panas. Ini merupakan efek langsung dari penipisan lapisan ozon akibat rumah kaca, yang menjadi mainstream perumahan, supermaket, apartemen, hotel, dan pertokoan modern. Ini diperparah dengan eksploitasi alam demi kebutuhan sesaat manusia, makhluk yang konon memiliki akal; sumber segala masalah modernitas? Meski setiap tahun masalah ekologi dibahas, perhatian terhadap lingkungan meluas, kepedulian pada keadaan bumi meningkat, justru bumi bertambah panas. Apa yang salah? Antara wacana dan kenyataan berbanding terbali

Tidak setiap orang dirugikan panas terik matahari, ada saja yang mampu mengambil keuntungan.Mengambil keuntungan dari berbagai situasi menjadi watak dasar manusia.

Panas bumi yang menyengat, meningkatkan semangat Anto untuk berangkat ke lokasi anduani Merpati. Malah terik matahari merupakan prasyarat utama dilaksanakannya masa latihan, latihan dalam terik matahari membuat kecepatan terbang burung lebih teruji. Ini masih didukung pematang sawah yang terbuka, pohon-pohon nyiur teratur rapi di pinggir sawah, dan udara yang berhembus pelan, menyempurnakan masa latihan.

Tarup yang berprofesi sebagai pelepas Merpati dengan imbalan tertentu, berlari kecil di antara pematang sawah, butiran keringat di dahi, deru nafas yang turun naik, mempercepat larinya ke tempat yang telah ditentukan untuk melepaskan merpati. Awalnya dalam jarak dekat,bertambah jauh, sampai pada jarak standar dari anduan Merpati.

Burung terbang ke langit, menerobos angin berhembus, mengepakkan sayap-sayap menuju betina yang dikibas-kibaskan untuk menarik perhatian. Betina yang dicengkram perutnya atau di antara dua sayapnya melambai memanggil, satu dua bulu lepas dari tubuhnya. Burung terbang tinggi di atas pohon nyiur, matanya melihat lambaian betina, berkelebat mendekati.Dalam jarak tiga meter, burung masuk, hinggap di atas betina. Hal itu dilakukan berulang-ulang sampai dianggap cukup.

Merpati yang diberi nama Joko Tole berhasil merajai arena anduan keesokan hari. Setiap anduan melawan merpati lain, Anto mempertaruhkan sejumlah uang yang berasal dari saku sendiri, atau dikumpulkan dari sesama temannya, dengan syarat hasil dibagi rata. Tantangan dari berbagai macam Merpati dilayani, dengan hasil sama, kemenangan selalu di tangan. Makna kemenangan bukan hanya berbentuk kebanggaan, sejumlah uang di saku bertambah tebal. Inilah motivasi utama anduan merpati.

Melihat hasil yang memuaskan, bersama-sama sejumlah temannya dia melanglang buana ke berbagai lokasi anduan Merpati. Mulai Maesan, Situbondo, Jember, Besuki, Banyuwangi, Probolinggo, Pamekasan, Sumenep, Malang, sampai Surabaya. Memang tidak dalam setiap lawatannya kemenangan diraih, terkadang kalah juga. Kemenangan dan kekalahan di mata para pejudi adalah suatu kewajaran yang tidak perlu diambil pusing. Menang dan kalah adalah bagian tak terpisahkan dari perjudian.

Ketika memenangkan lomba anduan merpati tingkat Nasional di Malang, popularitasnya tak terbendung, harga jual pun bertambah mahal. Malah ada yang memberikan kunci kijang untuk ditukar dengan Merpatinya. Tentu dia tidak mau, sebab uang hasil dari taruhan dalam waktu yang relatif singkat akan menyamai harga sebuah kijang.

Perhatian yang luar biasa pada anduan Merpati, membuatnya lupa memperhatikan fisiknya, Anto jatuh sakit. >Keadaannya menyedihkan; muka pucat, sekujur tubuh gemetar, kurus dan lemas. Bayang-bayang Merpatinya kerap menyelimuti angan-angan, dan menghadirkan mimpi dalam tidurnya. Seandainya tidak jatuh sakit, mungkin dia akan kaya dengan cepat dari Merpati kesayangannya. Kekayaan di depan mata bagai lenyap ditelan bumi dimakan penyakit yang diderita, angan-angan yang memperburuk kondisinya.

“Huuuh! Aduuuh!” keluh Anto.

Dia dibawa ke Puskemas terdekat, malah direkomendasikan untuk dibawa ke spesialis penyakit dalam. Mau tidak mau harus diperiksa dokter spesialis penyakit dalam. Setelah lewat pemeriksaan yang teliti pada tubuh, darah dan kencingnya, dia divonis terserang penyakit komplikasi. Dia dituntut istirahat sampai sembuh. Dalam kondisi sakit, dia masih sempat berpesan untuk menitipkan Merpati pada salah seorang kerabatnya yang ahli merawat Merpati, Merpati yang tidak dirawat akan rusak.

Tidak cukup pengobatan dokter, pengobatan lewat dukun juga dijalani. Biasanya diberi segelas air, sebagian disemburkan ke tubuhnya, sebagian diminum, untuk menghilangkan penyakit dari luar.

Banyak dukun yang dihubungi, analisa mereka berbeda-beda; ada yang bilang diguna-gunain musuh anduan Merpati, ada yang bilang diguna-gunain tetangga yang benci, dan ada yang bilang diguna-gunain sahabat sendiri. Ini membuat kondisi jiwa bertambah goncang, bagaimana mungkin semua orang terdekat bisa memusuhinya. Beban yang memperparah proses penyembuhan.

Lewat perawatan selama sebulan, penyakitnya sembuh total. Berbekal tubuh yang sehat, kegiatan anduan Merpati bisa dilaksanakan kembali. Tanpa disangka Merpati yang diasuh kerabatnya malah bertambah cepat. Imbal baliknya, jika laku terjual, kerabatnya mendapatkan sebagian hasil penjualan.

Ini menjadikannya semakin menyibukkan diri dalam anduan. Tidak ingat saat terbujur kaku di rumah sakit, tak ingat saat tubuh gemetar menahan demam, tak ingat tubuh lemas tak berdaya, dan tak mengingat derita yang dialami sebelumnya. Semua ingatan masa lalu hilang, kini yang hadir hanya rasa senang bisa melaksanakan anduan yang bisa menghasilkan sejumlah uang

Perjalanan waktu berlangsung cepat. Dia lupa diri dengan kesibukan anduan, penyakitnya kambuh. Dia terbaring tak berdaya di rumah sakit. Pandangan mata menerawang entah ke mana. Kini lebih parah dari sebelumnya, sebab ditambah penyakit sesak nafas. Beberapa kali dia merasa tak mampu bernafas, sehingga kondisinya benar-benar kritis. Pada saat koma dia sempat berwasiat pada keluarganya.

“Ka…kalau a…ku ma…ti, jual saja Merpatiku!”

Rasa putus asa mulai meliputinya. Hujan tangis dari sanak keluarga menyelimuti ruangan rumah sakit, suasana mencekam. Dokter dipanggil. Dokter datang dengan tergopoh-gopoh, langsung memeriksanya. Salah seorang perawat menyuruh yang ada di dalam ruangan untuk keluar.

Setelah memperoleh perawatan intensif, masa koma bisa diatasi. Keadaannya mulai membaik.

“Kau ingin sembuh total dari penyakit ini?” tanya salah seorang saudaranya yang menjadi tokoh masyarakat.

“Siapa yang tidak ingin sembuh?”

“Hentikan anduan Merpati.”

“Ti…dak bi….sa, anduan Merpati sudah menjadi jalan hidupku.”

“Kalau begitu, kau harus menerima penyakit ini menerpamu terus menerus.”

“Apa kaitannya antara penyakitku dengan anduan Merpati?”

“Dalam anduan Merpati, kau menyiksa sepasang Merpati sedemikian rupa. Siksaan yang akan berbuah balasan di akhirat nanti, bisa jadi mendapatkan karma di dunia. Seperti yang dialamimu sekarang, menderita sakit terus menerus. Coba kau renungkan dengan hati jernih. Begitu sembuh dari penyakit, kau aktif anduan Merpati, sakit kambuh, saat sembuh anduan lagi, sakit kembali. Bukankah itu merupakan kaitan yang jelas antara penyakit dengan anduan Merpati.”

Anto tercenung beberapa saat memikirkan perkataan saudaranya yang bijak. Mungkinkah penyakit ini berasal dari anduan Merpati? Ini harus dibuktikan.

“Ya Allah! Allah! Allah!” Dalam suasana sunyi di rumah sakit, dia ingat pada Allah, yang tak pernah diingat sebelumnya. Mungkin karena mengingatNYA, yang disertai sikap tawakkal; hati menjadi lega, pikiran menjadi tenang, perasaan menjadi tentram, suatu hal yang positif untuk membantu kesembuhan penyakit.

Perlahan-lahan kesehatan pulih seperti sedia kala. Untuk membuktikan kaitan penyakit dengan anduan Merpati, dia berusaha menghentikannya. Sepasang Merpatinya dijual.

Pagi yang cerah dia berjalan-jalan ke sawah yang luas, menghirup udara segar, menikmati indahnya pemandangan. Melihat hamparan sawah, kerinduan pada anduan Merpati muncul.

Sore hari, dia merasa jenuh di rumah, nonton televisi, tidur, suatu pekerjaan yang membosankan, maka dia memutuskan menonton anduan di pinggir arena.

Awalnya dia hanya menonton, lama kelamaan ikut taruhan sedikit-sedikit, ternyata dia selalu menang. Ini membuatnya tertarik. Ketertarikan yang menariknya untuk membeli Merpati seharga satu juta rupiah. Dia merawat dengan telaten dan penuh kesabaran.

Hari-hari yang dilalui seperti terang menderang, manakala melakukan anduan Merpati. Entah mengapa, kesenangannya ini tidak dapat digantikan dengan kesenangan apapun yang ada di muka bumi, kesenangan yang mampu menghasilkan sejumlah uang.

Ketidakberdayaan membendung kesenangan, menjadikannnya lupa semua penderitaan sebelumnya. Manusia cendrung memilih kesenangan sesaat dibanding sesuatu yang berarti bagi masa depan. Kesenangan yang merupakan pemuasan nafsu, mengalahkan akal sehat, mengalahkan pertimbangan-pertimbangan etika, mengalahkan suara hati nurani. Kini Tak ada yang bisa menghentikannya anduan Merpati.

Malam gelap gulita, tak ada gemerlap bintang, tak ada kilauan sinar rembulan, tak ada sebintik cahaya. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah kegelapan. Kegelapan nyata yang tak pernah ditemui. Dia merasa berada di tempat asing, yang belum pernah dialaminya. Dunia kegelapan, kesunyian dan kehampaan.

Ketika menoleh ke kiri, Anto tidak sendiri, bersama seorang teman yang sangat dikenalnya pada waktu yang lalu. Sebuah tangan raksasa meraih tubuhnya. Anto diangkat ke angkasa bersama temannya, rasa takut dan ngeri bercampur aduk. Kedua tubuh tak berdaya dilempar jauh-jauh. Jatuh ke tanah tak berujung. Rasa sakit akibat terjatuh belum hilang, tubuh mereka berdiri, lantas berlari sekencang-kencangnya menuju raksasa yang mengibas-ngibaskan dua orang wanita di tangannya yang besar. Mereka merasa bertambah dekat, dilihatnya istri mereka yang merintih kesakitan dalam tangan raksasa. Tapi mereka tak mampu menolong, sebab mereka sibuk berlari untuk menggapainya.

Anto ingin istirahat. Aneh! tubuhnya terus bergerak di luar kendali. Akal dan jiwanya hanya mengikuti gerakan tubuh, tak kuasa mengubah yang sedang terjadi. Dalam hati dia bertanya, dimanakah akal jeniusnya yang mampu mengakali segala sesuatu? Mana kuasa jiwa terhadap badan? Siapakah yang sedang berkuasa sekarang?

Tubuh yang terus bergerak tiada henti, mulai merasa kesakitan, kelelahan, dan kepenatan tak terhingga. Jarak yang ditempuh untuk mencapai istri mereka seperti fatamorgana. Baru setelah rasa lelah, penat, letih, sakit mencapai ambang batas, mereka sampaidi depan istri masing-masing. Mereka saling berangkulan sesaat, kedua tangan raksasa menarik kedua wanita itu, dan menaruhnya di dalam kurungan dari besi. Sedang tubuh mereka dilemparkan, lemparan yang jauh sekali.

Mereka berlari adu cepat kembali, kadang bersenggolan, sikut-sikutan, dan saling pukul. Kejadian yang sama terus berlangsung, walau kegelapan berganti berganti terik matahari, yang berjarak sangat dekat. Peluh bercucuran seperti gerimis hujan membasahi tanah yang tak pernah basah. Begitu air peluh jatuh, langsung ditelannya. Mereka laksana dipanggang di atas tumpukan kayu yang membara, tersiksa sekali. Mereka merasa tidak sanggup menjalaninya.

Anto benar-benar tak berdaya, tersiksa, menderita, lelah, letih, capek, dan lemas. Tapi tubuhnya tak pernah mau berhenti. Terus berlari, berlari, dan berlari menuju raksasa, begitu sampai dilempar sejauh-jauhnya.

Anto ingin memperontak, tak ada yang bisa memberontak. Dia ingin berhenti, tak ada yang bisa menghentikan, dia ingin minum air, tak ada yang bisa diminum, dia ingin makan, tak ada yang bisa dimakan. Entah kenapa penderitaan yang dasyat ini menderanya.

Mendadak sebuah ingatan berkelebat dalam imajinasi. “Merpatiiii! Maafkan aku!” Ajaib dia terbangun dari tidur panjang penuh derita. Kedua mata dibuka perlahan-lahan, dia melihat orang-orang berkerumun, mereka menangis sesungukan, karena rasa haru yang tak tertahankan lagi. Istri, saudara dan tiga anaknya memeluk erat,seakan-akan tidak ingin dilepaskan.

“Bapak telah tiga hari tidak sadarkan diri!” ujar putra sulungnya, keadaan berangsur tenang kembali. “Lihat kasur yang basah, selimut basah yang hampir setiap beberapa jam diganti. Tubuh Bapak bergerak-gerak membingungkan kami, debar jantung bergerak cepat, sekujur tubuh gemetar. Kami cemas Bapak diguna-gunain orang. Segala macam orang pintar dipanggil, tidak ada yang sanggup menyembuhkan. Segala macam dokter dihubungi, tidak ada yang bisa menyembuhkan. Syukurlah! Bapak sadar begitu terdengar; Merpatiii! Maafkan aku!”

“Oooh! Begitu,” ujarnya pendek. Anto berdiri, orang-orang kaget melihat hal itu. Banyak yang menyuruhnya duduk, dan istirahat. Tapi dia melanjutkan langkahnya dengan tertatih-tatih menuju kandang Merpati di belakang rumah. Dengan penuh keyakinan dia membuka pintu kadang, digenggam erat sepasang Merpati yang berharga mahal, dicium penuh perasaan, dan dilepaskan ke angkasa. Sepasang Merpati terbang bebas membelah angkasa, meninggalkannya yang berdiri terpaku, di bawah tatapan orang-orang sekitarnya, yang saling bertatapan penuh kebingungan.

Wonosari, 10 Juli 2005

ini Berasal dari bahasa Madura yang bermakna burung merpati dilepas dalan jarak tertentu untuk diadu kecepatan terbangnya.


by;zamhari hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar