Senin, 13 September 2010

belenggu emas

bila adat yang berbicara, toh akulah yang akan berkehendak. Aku sudah muak dengan semua belenggu. Penjara yang tak terlihat berlapiskan emas ini telah mengekangku dari semua hak-hakku. Jarik, kebaya, persembahan, seolah menatapku penuh cemooh. Berkata membisu bahwa aku seorang putri kerajaan tak bisa menaruh kekuasaan apa-apa. Hari ini, Kamis pagi hari aku telah berias diri, memakai perhiasan bertakhtakan mutiara dan berlian. Bahkan kilaunya pun tak dapat membuatku tersenyum. Aku tahu, calon suamiku ini ialah seorang saudagar kaya lagi bangsawan. Katanya, puluhan kapal megah ia miliki. Katanya, bila jodohku ini menikah denganku, kain-kain sutera bersulamkan emas akan selalu melapisi tubuhku. Katanya, sederetan pelayan, pengawal, koki beserta belasan istananya akan menjadi milikku bila aku benar-benar mengabdi padanya. Ah, belenggu emas. Seakan cinta dapat dibutakan oleh harta.

Dengan senyum yang kupaksa, aku berjalan diiringi oleh para sesepuhku. Merekalah yang akan menuntunku menjalani sederetan ritual pernikahanku. Saudara-saudara termasuk orang tuaku melihatku penuh bahagia. Pikir mereka, aku gembira? Aku yang akan menikahi seorang kaya yang bahkan aku sendiri belum pernah melihatnya. Sejak aku mengalami masa remaja, aku telah dipingit dalam istana ayahku. Kata orang tuaku, semakin seorang gadis jarang keluar semakin tinggi harganya di mata para lelaki yang akan meminang kita. Sebegitukah pandangan mereka terhadap perempuan? Sehingga perempuan saja ada harganya. Walau harga yang dimaksud bukanlah harga seperti kita membeli sesuatu yang ada di pasar. Harga ini adalah semacam tingkatan kita terhadap dunia luar. Karena bila perempuan jarang keluar, itu artinya kita rajin membantu ibu kita di dalam rumah. Betapa picik pikiran.

Aku terus berjalan menuju tempat dudukan untuk kedua pengantin. Setelah siraman, sungkeman, dan ritual lainnya yang melelahkan. Bukannya aku benci pada ritual-ritual tersebut, aku malah menikmatinya. Tidak pernah sebelumnya terjadi olehku hal-hal seperti ini. Betapa budayaku yang beradab sangat tinggi. Benarkah pernikahan pilihan merupakan tradisi asli turun-temurun nenek-moyangku terdahulu? Upacara pernikahanku berlangsung lama. Karena harus menggabungkan kedua adat menjadi satu. Aku seorang Jawa sedangkan suamiku seorang bangsawan dari Malaka. Sehingga ia tidak terlalu mengetahui adatku. Membuatku ingin tertawa saja. Dimana saat kami saling menyuapi satu sama lain dengan bunga Mawar, ia terlihat mengernyit seakan ingin berkata, “Yang benar saja? Bungan mawar dimakan?”. Kemudian saat siraman ia kaget sekali saat para sesepuhku tiba-tiba menyiramkan air kembang padanya dan memecahkan kendi yang berlapiskan emas. Padahal yang kutahu, ia membeli kendi tersebut dari negeri Cina dan aku yakin dengan kemahalannya.

Kulihat para penari melekukkan jari-jemarinya dengan gemulai. Setiap gerakan yang mereka lakukan mempunyai arti tertentu. Apakah aku berbicara seperti mereka? Berbicara kepada orang lain lewat arti-arti tertentu sehingga orang lain tidak dapat mengerti apa yang kumaksudkan. Bilakah tidak, mengapa mereka tidak mengerti apa yang kuminta. Satu kata yang sulit untuk dikabulkan. Kebebasan.

***

Di sini aku berdiri. Menatap lautan nan luas. Mengajakku untuk datang padanya. Ingin sekali aku membaur disana. Di kamar ku sendiri menghabiskan setiap detik hidupku. Aku tidak peduli lagi dengan suamiku. Bertengkar menanyakan apa saja yang ia lakukan selama merantau tidak pernah menyelesaikan masalah. Aku kini malah lebih senang bila ia tidak ada di sini. Kuhabiskan waktuku dengan menjahit, membatik, dan membalas surat-surat dari teman-temanku di luar negeri. Kadang terpikir olehku untuk memiliki seorang anak. Tapi setelah kurenungkan, untuk apa aku melahirkan anak dari seorang tamak yang tak lain ialah suamiku sendiri. Setiap aku memikirkan hal itu, hanya helaan nafas panjang yang keluar dari tubuhku.

Aku menghirup tehku yang telah mendingin. Aroma teh Melati yang menenangkan telah menemaniku setia sejak aku berada di pantai ini. Apa lagi kebebasan yang dapat kuhirup selain aroma laut yang segar dan teh melati. Keduanya seakan menjadi teman setiaku saat penat menghujat kepalaku. Aku bersender pada kursi rotan goyang. Memandang jauh ke garis cakrawala. Seluas itukah duniaku? Kapan aku dapat menikmatinya? Haruskah aku meninggalkan jasadku agar nyawaku dapat bebas merangkai buih keadilan. Aku tidak dapat tenang. Seharusnya, kata teman penaku di Belanda, menenangkan pikiran adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi sambil memandang pantai selatan Jawa. Aku kembali menghela nafas panjang yang berat.

Dulu sewaktu aku kecil aku pernah bertanya pada Ayahku. Akan jadi apakah aku? Senangkah aku dengan apa yang kelak aku punya nanti? Lalu Ibuku yang menjawab. Aku akan menjadi seorang Kanjeng Gusti Ayu yang dihormati. Aku akan sangat menyenanginya karena aku dapat meminta apa saja yang kumau. Aku sangat menantinya! Aku membayangkan aku akan seperti seorang putri raja yang selalu bebas bertindak sesukaku. Saat itu pikiranku masih lugu. Aku tidak dapat membaca situasi yang dialami oleh saudara-saudara perempuanku yang telah menikah. Yang kutahu mereka meninggalkan rumah Ayahku setelah menikah. Saat kutanya Ibuku, beliau hanya berkata, ”Mbakmu sudah punya suami. Ia sangat gembira karena akan mempunyai istananya sendiri.” Kegembiraanku makin meluap-luap. Istana sendiri?

Kemudian waktu berjalan seiring dengan usiaku. Kini aku tahu maksud dari Ibuku dengan kata istana sendiri. Benar-benar sendiri dalam arti kehampaan tanpa pergaulan yang luas. Aku ingin mempunyai teman yang dapat kuajak berkeluh. Bukan hanya melalui surat-surat yang kutuliskan pada teman-teman penaku di negeri lain. Kejenuhanku memuncak. Aku ingin menyampaikan sesuatu. Ialah aku seorang perempuan berbudaya yang terkekang dalam ilusi penjara. Aku mulai menuliskan satu persatu di kertas.

Malaikat telah menjalankan tugasnya dengan amat baik
Bilapun ada seekor cendrawasihyang masih dalam sangkarnya
Sebablah manusia yang melakukannya
Karena Tuhan, tidak pernah menciptakan satu makhluk pun
Terkodrat dalam siksaan dunia

Kembali aku menerawang jauh. Apa yang harus kulakukan kini? Tidakkah berlebihan bila aku ingin meninggalkan dunia? Hanya sebentar saja, Tuhan, pintaku dalam hati. Dapatkah sebilah pisau menjawabnya?

by;belli bell hell

Tidak ada komentar:

Posting Komentar