Senin, 13 September 2010

akhir kisah yang pilu

Semua kenangan telah berlalu di ujung sekolah itu. Di ujung kursi itu aku menanti sebuah kepastian. Telah sekian lama aku menunggu di ujung kursi di taman itu. Daun-daun yang gugur. Angin-angin yang selalu membuat aku pilu. Bintang di angkasa mulai bertebaran.
Dingin mulai mengusik penantianku. Aku melirik jam pada tanganku.
Tepat pukul 10 tengah malam dan aku masih belum beranjak dari tempatku. Angin menusuk tulangku. Aku menggigil. Dingin! Adam! Kemana kau pergi? Sudah hampir seharian aku menunggumu di sini. Kesal!

Aku bangkit dari kursi itu, kurauk-rauk daun kering yang jatuh berguguran dengan kakiku. Aku beranjak pergi. Tapi sesuatu menahan dan menyuruhku untuk tetap menunggu di sana beberapa waktu lagi.
Dia berkata, “Kenapa pergi secepat itu? Tinggallah di sini sebentar lagi. Temaniku menikmati malam ini ya, Cha.”
Aku tersenyum pada pria berkacamata itu.
“Kemana saja? Sudah hampir seharian aku menunggumu disini!” ucapku marah.
“Maafkan aku,” katanya tersenyum.
“Aku sudah mulai kedinginan, karena menunggumu. Dan kamu hanya senyum-senyum seperti itu. Seakan dirimu tak bersalah!!” semprotku.
“Bodoh! Kenapa kamu mau menungguku? Memangnya besok kau tidak sekolah?” katanya.
“Heuh. Mulai. Aku kan janji akan menunggumu sampai kau datang. Janji adalah janji. Janji harus ditepati, bukan?” kataku polos.
“Iya. Iya Icha. Maafkan aku. Aku tidak akan mengulangnya,” katanya tulus. Matanya memandang lurus ke arahku. Kemudian aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
“Kenapa kamu masih memakai seragam? Belum pulang?” katanya cemas.
Aku nyengir.
“Maaf. Aku buat kamu menunggu lama, ya? Maafkan aku. Maaf,” katanya lirih.
Aku menggeleng cepat-cepat.

“Tidak apa-apa.” kataku tenang.
Diam.
Dia menatapku. Kemudian dia menyandarkan kepalanya di pundakku. Kepalanya mendongak ke langit. Pandangannya menerawang menatap angkasa.
Tiba-tiba dia berdiri, membuatku terlonjak kaget.
“Kemana jaketmu? Di malam yang sedingin ini kenapa kamu tidak memakainya?” katanya.
“Lupa,” kataku sambil tertawa kecil.
Adam mengamatiku lagi dari kepala sampai ke kaki.
“Kamu kedinginan ya, Cha?” katanya.

Aku mengangguk. Aku tersenyum malu.
Dia mengernyitkan keningnya dan membetulkan letak kacamatanya. Kemudian ia mengeluarkan tangannya dari saku jaket, menggenggam kedua tangan dan menariknya mendekat. Aku tercengang.

“Sudah mendingan?”
Aku hanya mengangguk. Memeluk Adam seperti ini membuat jantungku serasa berhenti berdetak. Kami begitu dekat sehingga aku bisa mendengar detak jantungnya.
“Cha, kamu lihat bintang di atas sana?”
Aku menengadah dan mengangguk.
“Mereka sangat terang. Mereka menerangi langit. Mereka bercahaya sendiri. Mereka tidak hanya menerangi dirinya sendiri, tapi mereka juga mampu menerangi orang di sekitarnya,” katanya.
Aku tersenyum padanya.
“Bintang juga bisa membuat kita hangat, Cha.”
Aku mengangguk.
“Aku tahu.”
“Cha, tetap sinari langit hatiku, ya. Kamu mau, kan? Dan kamu akan merasakan kehangatan bintang itu.”
Aku mendongak. Kemudian mengangguk dan tersenyum kepadanya.
“Terima kasih. Tetaplah bersinar, ya. Wahai bintang kecilku,” kata Adam tersenyum.

***

Sudah hampir setahun saat dia pergi meninggalkanku. Kini, aku hanya berdiri dan mematung kembali di ujung sekolah yang penuh kenangan itu. Aku menyeringai, ketika kursi tempatku menunggunya masih ada. Aku duduk kembali di kursi itu.
Pikiranku melayang ke peristiwa satu tahun lalu. Di taman ini, di sini, dia memelukku.
Aku menangis miris. Aku ingat, sebelum aku kesini, aku mengunjungi tempatnya terbaring lemah,untuk selamanya. Kecelakaan satu tahun lalu itu merenggut nyawanya.
Menyisakan luka yang sangat dalam pada hatiku. Aku menangis.

“Kenapa orang baik terlalu cepat mati, Tuhan!” teriakku pada udara kosong.
Dan saat itu, aku merasakan suara Adam membisik padaku, “Tenang saja, Icha. Kita akan bersama lagi. Aku janji. Kita hanya terpisah sementara. Hingga saatnya nanti, aku akan memelukmu lagi. Aku mencintaimu,” kata suara itu.
“Aku juga, Adam,” kataku sambil memeluk bayangannya.


by;ichasukajepang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar