Kamis, 30 September 2010

pintu yang tidak terkunci

Hujan deras mengguyur kota sepanjang hari, mengurung aku sendirian di dalam kamar ini. Dari jendela bisa kulihat jeruji perak yang berkilau muram di luar sana, dan dari sela-selanya terlihat pemandangan dunia sebatas yang bisa ditangkap bingkai jendela kecil itu.

Aku duduk murung, memandang kosong dunia kelabu dalam pigura jendela. Hidup ini terasa begitu sepi, sebab aku terpenjara oleh perasaan bernama ‘cinta’ yang selama dua tahun tak pernah bisa kuungkapkan. Setiap hari kurindukan perempuan yang sama; berharap ia berada di sampingku sehingga kami bisa bercerita tentang dunia terindah yang pernah ada. Namun itu hanya angan-angan kosong. Rasa rinduku takkan pernah terobati.

Masih kulayangkan pandang ke luar sana, dan saat itu baru kusadari aku melihat sesuatu. Seorang laki-laki di seberang jalan di depan rumahku, berdiri dalam hujan. Baru kuingat bahwa dia telah berada di sana sejak pagi, ketika hujan baru mulai turun. Dan bukan hanya itu, ia adalah laki-laki yang sama yang kulihat di hari-hari sebelumnya, setiap hari selama dua tahun belakangan ini.

Laki-laki itu berdiri memandangi pintu rumah di depannya, rumah yang berada tepat di depan rumahku.

Dia berdiri bagaikan patung, tetap tidak bergeming walau hujan deras menerpanya. Aku mengambil payung lalu ke luar dan menghampirinya. Bahkan dia sama sekali tidak mempedulikan aku yang datang di sampingnya.

“Pakai ini!” ucapku memberikan sebuah payung lain yang kubawakan buatnya.

Cukup lama waktu berjalan sebelum dia akhirnya berpaling padaku, menatapku walau tetap dalam diam. Diambilnya payung itu kemudian dipakainya, lalu dia melanjutkan memandangi pintu rumah itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku. Dia tidak menjawab.

“Kuperhatikan kau berada di sini setiap hari, dari pagi hingga malam, memandangi rumah yang sama, memandangi pintu yang sama. Tidakkah aku boleh mengetahui alasan di balik itu semua?” tanyaku lagi.

Dia tertunduk, lalu berkata, “Aku mencintai seorang perempuan, ia tinggal di rumah itu. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa cintaku padanya. Ia seperti embun yang mengisi cawan cintaku, sehingga aku bisa meminumnya dan melepaskan dahaga jiwaku akan cinta selama-lamanya. Aku berada di sini karena mungkin dia tidak tahu sebesar apa cintaku padanya. Ingin kuberitahu dirinya tentang rasa ini.”

“Lalu, kau sudah memberitahunya?”

Dia semakin tertunduk lesu. “Belum,” jawabnya.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Setiap hari aku datang ke sini untuk mengobati rasa rinduku padanya. Awalnya aku ingin mengetuk pintu itu dan mengatakannya, tetapi setiap kali tinggal beberapa langkah dari dari pintu itu, aku tidak jadi melakukannya. Aku ragu apakah dia juga mencintai aku? Apakah dia benar-benar adalah pelepas dahaga jiwaku? Maka aku hanya berdiri di sini.”

Mendengar jawabannya, aku berkata, “Begitu ya… Sayang sekali aku tidak bisa membantumu.”

Aku lalu melangkah meninggalkannya sambil berkata, “Ambillah payung itu. Sekarang sedang musim hujan, mungkin lain kali kau membutuhkannya lagi, gawat kalau kau jatuh sakit.”

Malamnya, sebelum tidur aku melihat ke luar jendela, dan laki-laki itu masih berdiri di sana.

****

Keesokan hari ketika aku bangun pagi, aku mengintip lagi ke luar jendela, dan kulihat di sudah ada di sana. Meskipun hari itu tidak hujan, dia memakai payung yang kemarin kuberikan, berdiri dalam diam dengan mata tertuju ke satu arah. Tak bisa kubayangkan sebesar apa cintanya pada perempuan itu.

Hari itu aku tidak menyapanya seperti hari sebelumnya; kubiarkan dia menyelami diri untuk menemukan keberanian walu hanya setitik. Aku berusaha untuk tidak memedulikan dirinya, namun rupanya itu sulit sekali. Setiap kali melewati jendela mataku otomatis melirik ke luar dan menangkap bayangannya. Malahan aku selalu memikirkannya setiap saat. Dia selalu mengisi kepalaku. Entah bagaimana, secara perlahan aku seperti bisa merasakan apa yang dirasakannya. Rindu yang menumpuk, dan cinta yang tak bisa terucap.

Hari berikutnya tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hanya saja perasaan aneh yang menghantuiku menjadi semakin besar. Seolah aku benar-benar menghayati perannya, dan bahkan menyatu dengannya. Hal itu benar-benar sangat mengusik hati dan pikiranku.

Lalu suatu hari ketika aku sudah tak tahan lagi dengan perasaan itu, aku menghambur ke luar dan bermaksud menemui laki-laki itu. Tetapi yang kutemukan di tempat dia biasanya berdiri malah seorang laki-laki tua. Dia membawa payung.

Saat melihatku, dia berkata, “Dia memintaku untuk menyerahkan ini padamu,” seraya memberikan payung yang dipegangnya, “tapi aku tak tahu yang ini untuk siapa.” Lanjutnya memperlihatkan sebuah buku tebal dengan sampul cokelat. Halaman-halaman buku itu banyak yang hanya dijejalkan di antara halaman-halaman lain dengan asal-asalan. Ada kesan antik pada buku itu.

Aku mengambil payung dan buku itu. Kemudian aku bertanya, “Apa yang terjadi pada laki-laki ini?”

Orang tua itu menjawab, “Dia telah meninggal. Sebuah truk menabraknya pagi tadi. Dia terpental sampai sepuluh meter dan jatuh menghantam aspal. Saat aku menghampirinya untuk menolong, dengan kata-kata terakhir yang dimilikinya dia memintaku membawa kedua benda itu ke sini dan memberikan payung itu padamu. Tetapi dia tidak mengatakan untuk siapa buku itu.”

Kulihat sampul buku itu; warnanya cokelat tua dan ada bercak-bercak merah mungkin karena darahnya, sebab di payung juga terdapat bercak yang sama. Entah apa yang tertulis di dalamnya.

“Kalau begitu aku permisi dulu,” ucap orang tua itu, lalu ia pun beranjak pergi.

“Terima kasih,” ujarku.

Sungguh malang nasib laki-laki itu, betapa hidup yang dilaluinya selama ini menjadi sia-sia. Setiap hari berdiri di tempat yang sama, hanya untuk mati membawa kata yang tak sempat terucap. Adakah kisah yang lebih menyedihkan daripada kisah cintanya?

Kini akulah yang berdiri di tempat ia setiap hari berdiri membeku bersama lidahnya, menghabiskan waktu yang dimilikinya. Kupegang buku yang mungkin memuat seluruh catatan perasaannya pada seseorang, yang ditorehkan oleh tangannya sendiri. Lalu kuputuskan untuk melangkah menuju pintu yang selalu berada di pelupuk mata laki-laki malang itu. Kuketuk tuga kali, dan pintu itupun terbuka.

Seorang perempuan membukanya dengan wajah berseri-seri gembira, namun raut itu sekejap menghilang ketika dia melihatku. Sedikit tertunduk, dia bertanya, “Maaf, kupikir kau orang lain. Ada apa?”

“Aku ingin menyampaikan apa yang tak sempat tersampaikan oleh waktu, “ jawabku, “tentang perasaan seseorang yang kini telah pergi.”

Mendengar jawabanku, perempuan itu memintaku untuk masuk dan duduk menjadi tamunya. Setelah itu, dia berkata pelan, “Selama dua tahun aku menyimpan perasaanku di balik sebuah pintu, pintu itu tidak pernah terkunci, tetapi ia selalu tertutup. Aku menunggu pintu itu dibuka oleh orang yang mencintaiku dengan sungguh-sungguh, dengan sepenuh hatinya. Setiap hari, sampai larut malam aku terjaga di balik pintu itu, menunggu apa yang hingga kini tidak jua datang. Kuharap seseorang akan datang pada akhirnya, tetapi ternyata tidak.” Perempuan itu mengucapkan setiap kata diiringi linangan air mata.

Sungguh kisah itu menjadi berkali-kali lipat menyedihkan. Kubendung sekuat tenaga air mata yang ingin mengalir, dan karena tak tahu berapa lama lagi bisa kutahan tangisku, maka kuserahkan buku itu padanya dengan ucapan, “Kurasa semua yang ingin diungkapkannya ada di sini. Walaupun ia kini telah tiada. Ambillah, ini untukmu!”

Setelah itu aku langsung pergi dari hadapannya.

Berjam-jam aku mengurung diri, menangisi kisah cinta memilukan itu. Air mataku bercucur deras seperti hujan yang turun ketika pertama kali aku bicara pada laki-laki itu. Saat kuseka mataku yang basah di hadapan cermin, kulihat laki-laki itu berdiri di hadapanku, menatapku dari dalam cermin.

Saat terbangun, di luar hujan turun dengan derasnya. Dunia benar-benar kelabu. Kuusap wajahku, lalu aku bangkit. Kuhampiri jendela kamarku dan kulihat dunia abu-abu yang kosong dalam terpaan hujan.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Kuraih gagang telepon dan kutekan nomor yang sudah kuhapal mati di dalam kepalaku. Kutunggu jawaban dari ujung telepon.

“Halo!” sahut sebuah suara perempuan.Aku menarik nafas, lalu berkata, “Yun! Aku mencintaimu sejak bertahun-tahun lalu ketika untuk pertama kali kulihat wajahmu, dan kau tersenyum padaku.”Dia terdiam.

.

Dan, di bagian ini kau terbangun dari tidur…


by;uki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar