Kamis, 30 September 2010

semua bayi tidur disini

Biasanya, di tempat pembuangan sampah seperti ini, dimana bungkus kemasan dan sisa makanan menggunung disertai bau yang menyengat, suara-suara yang terdengar hanyalah suara hewan liar seperti anjing yang sedang mengeruk makananannya yang terkubur. Ada pula suara kaleng-kaleng yang bergemerincing dan bergelindingan karena tertiup angin malam. Dan tak jarang pula kepakan sayap kelelawar yang melintas dengan gesitnya memecah kesunyian yang kental. Tapi malam ini lain, karena di antara lautan sampah ini sayup-sayup terdengar suara tangis seseorang. Bukan seperti suara manusia yang telah akrab di telinga para hewan liar itu, tapi ini adalah suara tangisan yang nyaring, tanpa daya, dan tersendat-sendat, persis seperti bayi yang sedang menangis. Karena memang malam ini, di tempat pembuangan sampah ada seorang bayi yang merengek kehausan.

Dengan suaranya yang keras diiringi oleh nada-nada kepolosan yang tinggi, bayi itu menangis dan menancapkan eksistensinya di lingkungannya yang baru. Ketika langit berubah menjadi kanvas hitam dengan bintik-bintik bintang dan cipratan warna pudar biru laut, anak manusia yang lemah itu justru terbaring di antara rongsokan tak berharga yang selalu mengundang segerombolan lalat kotor untuk datang. Ia seperti tak lelahnya menangis entah kepada siapa. Mungkin ia sedang menangis untuk angin atas hawa yang menyelimutinya dan bau yang terbawa masuk ke hidungnya. Mungkin pula ia menangis untuk pohon-pohon besar di sekitarnya atas gemerisik dedaunan yang besentuhan dan bising yang menakutkannya. Atau mungkin saja ia menangis karena menyadari takdir dirinya sebagai buah cinta yang tak diinginkan oleh siapapun yang terlanjur meluncur ke muka bumi ini.

Botol susu yang dari tadi bergerak-gerak itu mungkin adalah jawaban tangisnya yang paling benar. Tepat di sebelah kiri bayi yang menangis itu, rupanya ada bayi lain yang sedang menikmati malam lewat botol plastiknya. Entah siapa dari mereka berdua yang pertama kali datang ke tempat ini, yang jelas mereka baru datang malam ini. Namun perlahan keduanya mulai menyadari kehadirannya satu sama lain, lewat cara yang hanya dimengerti oleh kaum bayi walau mereka sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi dan untuk apa mereka berada di sini.

Bayi yang pertama hanya bisa menangis. Ia merasakan kerongkongannya yang kering dan ia sangat membutuhkan air namun ia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Seingatnya, sebelum malam ini, ketika ia terbiasa dengan menangis keras, dalam hitungan detik ia sudah menelan cairan susu dengan lahapnya. Ketika haus maupun lapar, dengan menangis ia mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah. Tapi malam ini bukan seperti malam-malam lain yang telah ia lewati. Ia tidak menyadari bahwa kini ia adalah seorang manusia yang sendiri di tempat di mana susu tidak akan datang dengan sendirinya ketika ia menangis.

Bayi yang kedua tampak sibuk dengan botol susunya. Ia masih terlalu muda untuk peduli terhadap hal lain di luar dirinya termasuk suara tangis yang berasal dari sebelahnya. Ia terlihat begitu tenang dan damai. Kedua matanya setengah terpejam seakan tak kuasa menahan kenikmatan yang melenakan yang mengandung kalsium dan kaya vitamin. Tubuhnya lebih mungil dari bayi yang pertama. Kepalanya dilindungi oleh penutup kepala biru muda yang lembut sementara tubuhnya dibalut oleh selimut halus disertai baju hangat yang nyaman dan ia berbaring di dalam keranjang yang dibeli dari toko perlengkapan bayi. Kulitnya lebih halus, mukanya lebih segar terpancar, dan pipinya tampak lebih menyembul. Tapi bagaimanapun juga ia berada di tempat yang sama dengan bayi pertama, sehingga perbedaan-perbedaan tadi hanya muncul sementara untuk kemudian memudar kembali.

***

Malam telah beranjak larut. Air susu telah ditelan oleh bayi kedua sekitar seperempat botol sedangkan bayi pertama masih menangis setelah kira-kira seperempat jam berlalu. Kelelawar satu persatu muncul di langit, mendarat di antara tumpukan sampah untuk menggigit apa yang ingin mereka gigit. Binatang malam kini bangun dari tidurnya untuk mencari makan. Keadaan tak berubah, hanya saja bayi pertama mulai kelelahan dan mengecilkan suara tangisnya serta dinginnya udara semakin menyengat. Misteri masih berkeliaran di dalam benak bayi pertama mengenai apa yang ia butuhkan hingga ia menangis seperti ini. Ia mulai resah karena lalat-lalat kini mendatangi dan mencicipi kulit mudanya berkali-kali.

Tak lama kemudian, ia berkeringat, ia merasakan badannya seperti terbakar. Hawa hangat menguasai dirinya seiring dengan rembesan keringat yang menembus pori-pori kepalanya. Dadanya terlihat bagaikan ombak besar yang bergerak naik meninggalkan bumi lalu turun melepaskan semuanya dalam gerak lambat yang tenang. Seseorang seperti sedang memaksa untuk merangkak keluar dari dalam tubuhnya ketika dadanya naik untuk menghirup napas. Tangan kecilnya mengepal, bergerak-gerak dan meninju udara sepoi-sepoi yang membangkitkan syaraf perasanya yang juga masih hijau dan baru. Sesekali ia menendang-nendangkan kakinya berharap pada kekuatan kecil yang ia miliki walaupun semuanya tak ada yang berubah selain dari rasa hausnya yang kini ditemani oleh sahabat karibnya, yaitu rasa lapar.

Bayi kedua kini terlelap. Perutnya telah kembung terisi, dan dengan lemas ia melepaskan pegangannya terhadap botol susu yang berguling-guling menjauhi dirinya. Alam mimpi telah menarik tubuhnya ke tempat yang jauh dan tak tergapai, meremas indera kesadarannya sampai kering, serta menyamarkan kenyataan yang ia miliki dengan sebuah fatamorgana yang terlalu menyenangkan untuk dilewatkan. Betapa gerak kelopak matanya saat pertama kali menutup mempertontonkan sikap ketidakpedulian yang anggun dan pada saat bersamaan, rasa pasrah yang tanpa dosa. Tidak ada yang mengganggunya lagi sekarang, walau malam telah semakin gelap, udara dingin semakin hebat, dan jerit tangis yang semakin tak tertahan.

Kedamaian nampak makin menjauh. Samar-samar, bayi pertama menyelami ketidaknyamanan dalam bentuk tubuh kecilnya. Suaranya mulai serak dan beranjak menghilang, mungkin pita suaranya kini telah kempis. Ia berhasil mengusir lalat-lalat lewat gerakan-gerakannya yang memercik sebagai ekspresi pemberontakan pertamanya terhadap para pengganggunya, terhadap apa yang ia hadapi, dan bisa jadi, terhadap hidupnya.

Angin lalu berhembus kencang, seakan ditiupkan oleh raksasa, menghempaskan lalat-lalat di udara, menggerakkan kaleng-kaleng bekas, menerbangkan serpihan kertas dan plastik ringan. Seisi tempat pembuangan itu berhamburan kesana-kemari. Hawa dingin tentunya menjadi semakin pekat dan menyerang bayi pertama tanpa ampun, atau mungkin bayi kedua juga ikut merasakannya walaupun ia tidak bereaksi terlalu banyak. Hanya bayi pertama yang menggigil, merapatkan kedua tangannya dan mendekap tubuhnya sendiri. Lewat intuisinya, ia menutup kedua mata dan berhenti menangis. Tak ada yang lebih jauh bisa ia perbuat terhadap udara dingin. Jadi, ia hanya diam dan bersembunyi di balik matanya.

Rambut-rambut tipisnya masih terangkat oleh angin yang melintas. Lambat laun, kecepatan angin itu semakin berkurang. Anjing-anjing saling menyalak, saling menyahut satu sama lain dengan nada yang berbeda-beda. Kebisingan ini membuat rasa takutnya memuncak dan hampir melumat rasa haus dan laparnya. Ia berlindung dalam kegelapan, seperti saat-saat ketika ia berada di dalam tempat hangat dan sempit yang dinamakan perut manusia. Angin kencang itu berlalu, menyisakan ekornya yang tipis. Ia pun membuka kedua matanya dengan hati-hati.

Tidak terlalu banyak perubahan. Ia melihat tempat yang serupa, kesunyian yang sama, dan perasaan kosong yang menghantui. Ia masih harus menjalani kenyataan hidupnya lagi. Namun, rasa dahaga dan laparnya itu seakan sirna sementara. Sesuatu telah menarik perhatian kedua matanya, sehingga ia lupa akan penderitaan yang tadi bersamanya. Ditemani oleh hawa dingin yang keluar masuk merayapi tubuh, ia memandangi dengan paras polos dan bibir tipis mengatup, sesosok wanita dengan jubah putih kusut, tersenyum dari balik rambut panjangnya yang menggantung di sekitar wajah.

Mereka saling bertatap muka. Sang bayi diliputi oleh rasa keheranan yang diikuti dengan sikap diamnya. Bola matanya bergerak-gerak, ia mengawasi dan mengamati seakan ini pengalaman pertamanya melihat sesuatu. Walaupun samar, tetapi ia menangkap kesan tak biasa dari tamunya ini, sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia temui dalam hidupnya yang masih singkat.

Wanita itu berwajah putih keabu-abuan. Sekeliling tubuhnya sedikit memancarkan sinar yang pendek dan redup. Ia tersenyum dan terus tersenyum sementara matanya tak beranjak dari si bayi dan sesekali ia memainkan rambutnya yang menjuntai. Ada garis hitam di bawak kedua matanya, sepertinya ia sedang terserang semacam demam. Bersama bayi pertama, mereka berdua menyatu dalam bentuk kesunyian yang lain.

Tiba-tiba, dalam sekejap mata, wanita itu menghilang. Ia pergi begitu saja tanpa jejak. Bayi pertama menggerakkan lehernya, matanya mencari-cari dalam kegelapan malam. Wajahnya memahatkan kebingungan sementara air liurnya menetes melewati dagunya. Setelah merasa yakin bahwa pencariannya sia-sia, ia kembali mengistirahatkan lehernya dengan tenang. Ia berbaring lagi menatap langit dan mungkin, ia juga melamun. Betapa bintang-bintang terlihat berhamburan dan bersinar terang mengitari bulan purnama di malam ini.

Di tengah imajinasinya yang melambung, wanita itu muncul kembali sekitar 10 cm di depan mukanya. Bola mata mereka saling berhadap-hadapan, dan wanita itu kembali menyunggingkan senyumnya. Awalnya bayi pertama terkejut. Ia tak habis pikir wanita itu akan kembali dan muncul tepat di depan mukanya di saat sedang menikmati pemandangan di langit. Ini kali pertama ia mendapatkan kejutan di mana hentakan jantungnya begitu kentara ia rasakan. Namun, tak beberapa lama, setelah ia menyadari kembali kehadiran wanita itu, bayi pertama membalas senyumannya. Kali ini ia tertawa kecil, memperlihatkan barisan giginya yang belum tumbuh, lalu mengeluarkan suara tawa khas bayi yang menyejukkan di telinga. Ia menanggapi kejutan tersebut sebagai hal yang menurutnya sangat lucu. Tangannya membentang, ia berusaha menggapai wajah wanita itu untuk sekedar menyentuhnya, tapi wanita itu menjauh tiap kali jemari mungilnya hendak mengenai wajahnya. Sang bayi tertawa lagi seakan ia telah melupakan tangisannya tadi.

Sambil memainkan bibir tipisnya, bayi pertama mencoba berbicara pada wanita misterius itu. Tapi yang keluar dari mulutnya lagi-lagi adalah gelembung liurnya yang meletus saat menyentuh dagunya. Wanita itu hanya tersenyum menyaksikan tingkah lakunya, lalu ia kembali menghilang. Sang bayi tak sempat menangkap ke mana kiranya wanita itu pergi, karena ia selalu menghilang dengan cepat.

Adegan yang sama terulang kembali. Bayi pertama sibuk mencari-cari wanita itu. Ia menggerakkan semua organ geraknya seolah-olah ia sedang mencoba untuk berdiri, namun yang dapat ia lakukan hanyalah menolehkan lehernya ke setiap arah yang ia kuasai. Hasilnya tetap saja nihil. Tak ada tanda-tanda kemunculan wanita itu yang dapat ia tangkap.

Matanya memandang ke depan, ke arah barisan pepohonan rimbun yang bergoyang-goyang oleh embusan angin. Daun-daunnya saling bergesekan dan terus menimbulkan suara. Dari tanah yang kering, tiba-tiba saja wanita itu menyeruak ke permukaan. Pertama-tama wajahnya yang ditutupi rambut muncul. Lalu, lambat-laun seluruh badannya muncul sampai pada keadaan utuh seperti semula. Bercampur oleh rasa takjub dan terkejut sang bayi pertama merasa sangat terhibur. Ia kembali tertawa bahkan hingga terbahak-bahak dan tersedak oleh tawanya sendiri. Ini pertama kalinya ia melihat seseorang muncul dari dalam tanah dan menurutnya, itu sangat lucu.

Seperti biasa, wanita itu kembali tersenyum. Ia menikmati tawa terbahak-bahak sang bayi seolah ia baru saja melakukan suatu hal yang berarti. Dari wajahnya terpancar gurat-gurat kerinduan dan kasih sayang yang tulus. Wanita itu seperti menemukan kembali sesuatu yang telah lama menghilang dari hidupnya, sesuatu yang telah lama kabur dari kedua matanya. Ia melambaikan tangan kanannya ke arah sang bayi. Dengan lembut, pergelangan tangannya bergoyang ke kiri dan kanan. Semakin lama gerakannya bertambah cepat. Sampai pada akhirnya, pergelangan tangannya putus dan jatuh ke bumi.

Bayi itu tertawa lepas. Lalu, dengan tangan kirinya, wanita itu mencabut kepalanya sendiri dengan cara menarik rambut panjangnya. Bayi pertama terdiam sejenak, kemudian ia kembali tertawa. Pertunjukan tidak berhenti, wanita itu melepaskan kaki kanannya dan kaki kirinya, dan terakhir tangan kirinya memisahkan diri dari badannya. Dan kini, wanita itu tinggal potongan tubuh yang tergeletak di tanah. Tentu saja, sang bayi tak henti-hentinya tertawa.

Tak lama kemudian potongan-potongan tubuh itu terbang, tercerai berai ke berbagai arah dan menjauhi sang bayi, sampai akhirnya menghilang dari pandangan. Bayi itu tertawa karena menurutnya itu sangat lucu. Ia terus tertawa sampai puas, hingga ketika ia berhenti, ia baru menyadari bahwa wanita itu menghilang untuk yang ketiga kalinya. Dan ia tahu ia tak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan seperti ini.

Ia hanya menunggu. Wanita itu menghilang lebih lama dari yang sebelumnya. Ia mulai bosan dan merasa kesal dan kesepian karena di dalam hatinya, timbul perasaan betah di saat ia bertemu wanita itu. Sesuatu dari dalam diri mereka berdua seperti telah terhubung satu sama lain. Ia membuka mulutnya dan menguap dengan lebar.

Angin kembali bertiup, kali ini lebih kencang dan membawa serta udara dingin dalam jumlah tiga kali lipat. Mulut bayi pertama bergetar dalam gigilan yang kuat. Kulit-kulitnya bersentuhan dengan udara yang melesat dan terasa sampai ke dalam tubuhnya. Ia kembali menutup kedua matanya dan rasa kantuk mulai merayapi dirinya pelan-pelan. Malam telah larut dan mulai menunjukkan tanda-tanda datangnya pagi dalam beberapa jam ke depan.

***

Wanita itu kembali! Ia membuka matanya dan menemukan wanita itu telah berada di hadapannya lagi. Bayi pertama tersenyum lega lalu mengeluarkan sedikit tawanya, ia berusaha mengatakan bahwa ia merasa senang melihat wanita itu. Namun, kali ini wanita itu tidak datang sendirian, ia bersama dengan beberapa orang yang berbaris di belakangnya. Sayup-sayup terdengar kerumunan itu berbicara dan berbisik pelan. ”Untung wanita gila itu menemukan kita, kalau tidak kita tersesat dan terlambat datang untuk pertunjukan berikutnya.”

”Sudah kubilang kita tidak bisa mempercayakan arwah pelacur itu sebagai penunjuk jalan kita.”

”Dia yang mengundang kita. Sudahlah! Bayangkan saja ketika kita sampai ke tempat mereka di mana kita akan dikelilingi oleh para wanita cantik dan seksi. Mmmmhh…!!”

Tentu saja bayi pertama tidak memahami sepatah katapun yang terdengar di telinganya itu. Pada posisi terbaringnya kini, ia bahkan tidak bisa melihat dan memastikan siapa sosok yang tengah berbicara barusan. Ia hanya diam dengan mimik muka polosnya dan memandangi wanita itu yang berdiri di dekatnya dalam kondisi tubuh normal.

Wanita itu lalu mengarahkan telunjuk kanannya ke depan. Ia menoleh ke arah rombongan yang berbaris di belakangnya, dan berkata, ”Lurus saja ke depan. Kalian duluan saja, biar aku belakangan.”

”Ya, ya, tapi jangan sampai tersesat lagi. Kita tak mau terlambat datang”, seru sebuah suara dari ujung belakang.

Maka diikuti dengan hembusan angin rombongan itu berjalan satu per satu melewati bayi pertama. Mereka semua tampak begitu putih dan dikelilingi oleh sinar-sinar yang redup. Mereka berjalan tanpa diiringi bunyi-bunyian, tidak ada suara kaki yang melangkah menginjak tanah, mereka hanya berlalu seolah sedang melayang. Bayi pertama merasakan gigilan dingin tiap kali orang-orang itu melintas. Dari matanya, ia memandangi mereka dengan bentuk ketakjuban yang berbeda-beda.

Dan dimulailah sebuah rangkaian parade absurditas. Yang pertama kali melewati bayi itu adalah seorang anak berusia kira-kira 8 tahun dengan ukuran batok kepala yang besar. Besarnya kira-kira setara dengan tiga kali buah semangka. Ia memainkan bola matanya dan menjulurkan lidah ke arah bayi pertama dan bayi pertama pun tertawa.

Di belakangnya muncul seorang dewasa dengan badan yang dililit oleh lembaran kain putih keruh dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya. Yang terlihat hanyalah matanya saja yang tampak besar dan menyeramkan dengan bola matanya yang berwarna kehijauan tengah memelototi bayi pertama saat ia melewatinya. Orang inilah yang kelak apabila bayi pertama sempat membaca buku mengenai kebudayaan dunia, maka ia akan memanggilnya mumi. Walaupun ia terlihat begitu angkuh dan tidak peduli, namun penampilannya tetap mengundang bayi pertama untuk mengeluarkan tawanya.

Kemudian setelahnya, datanglah seekor kambing yang memiliki dua buah kepala. Keduanya mengembik dengan nada yang berbeda, yang satu mengambil nada do rendah sedangkan yang lainnya mengambil nada do tinggi. Awalnya bayi pertama sedikit ketakutan, namun saat mendengar mereka mengembik dengan suara yang berlainan, akhirnya ia tertawa juga. Tidak hanya itu, kambing tersebut juga masing-masing memiliki janggut yang panjang hingga menyentuh tanah dan saat berjalan janggut itu selalu terinjak oleh kaki-kakinya sehingga kambing itu selalu mengembik karena kesakitan. Kali ini bayi itu tertawa terbahak-bahak hingga tersedak.

Ada seorang kakek tua dengan keriput yang banyak luar biasa dan kedua matanya hampir tertutup oleh kelopaknya yang terlihat lembek sehingga hanya menyisakan bagian putih saja. Ia berjalan sedikit membungkuk dengan ukuran tubuhnya yang cukup kecil sekitar 30-40 cm. Tangan kanannnya menggenggam tongkat kayu yang lebih tinggi dari tubuhnya, sedangkan tangan yang lain terlipat di atas punggungnya. Caranya berjalan membuat bayi pertama tertawa. Langkah kakinya pendek dan tertatih-tertatih sementara pinggulnya bergoyang-goyang ke kanan ke kiri dengan pelan.

Dan begitulah seterusnya rentetan komedi menghibur yang mengundang gelak tawa dan decak kagum bayi pertama tanpa henti. Ia melihat dan melihat lagi lalu tertawa dan tertawa lagi. Wanita tadi berdiri tak jauh di samping sang bayi, mempersilahkan kawan-kawannya untuk berjalan mendahuluinya. Ia terus tersenyum sambil memandangi kelakuan sang bayi yang tampak begitu senang dan bersemangat. Ia tahu ia tidak dapat menyembunyikan keinginan di dalam hatinya untuk sekedar menyentuh tubuh bayi itu atau menimang-nimangnya barang beberapa menit. Betapa tangannya bergetar saat pertama kali menemukan bayi itu. Ini seperti sebuah kerinduan lama yang bertemu dengan pelampiasannya dalam seketika dan ia merasakan sesuatu dari dirinya telah hidup kembali. Malam ini telah ditakdirkan untuk dilaluinya dalam sebentuk gairah kemenangan jiwa yang memuncak.

Rombongan itu berjalan melewati sang bayi dalam barisan yang cukup panjang. Ada dua orang anak lelaki plontos yang bertelanjang dada dan memakai semacam celana pendek. Mereka menarik tali tambang yang juga dikalungkan di lehernya yang terikat pada sebuah papan beroda empat yang mengangkut sebuah tong. Tong tersebut berlubang di bagian atasnya di mana dari sana menyembul kepala seorang pria. Pria ini berkumis dan berjanggut berantakan, begitu juga rambutnya, dan terus menggeram sambil mengekspresikan raut wajah marah. Sesekali ia menunjukkan barisan giginya yang putih dan berteriak tak karuan. Bayi itu diam ketakutan, namun kemudian melebarkan sedikit senyumnya.

Semua orang-orang ini terus melewatinya seakan tak ada habisnya. Lambat laun rasa kantuk mulai mendera bayi itu. Ia melihat yang terakhir kalinya, barisan belakang dari rombongan itu, adalah sebuah akuarium raksasa berisi ikan paus biru yang ditarik oleh puluhan anak laki-laki plontos. Ikan paus itu menyemburkan air dari hidungnya tepat saat melewati sang bayi.

Dan yang paling terakhir adalah seekor dinosaurus berleher panjang, Brontosaurus, yang berjalan dengan mulut sibuk mengunyah sesuatu. Binatang ini dipandu oleh dua astronot yang meloncat-loncat dalam gerak lambat di belakangnya. Saat berada di samping sang bayi, kedua astronot itu berhenti.

Astronot I: ”Heran sekali. Kenapa tiap kali kita lewat sini, selalu saja ada bayi yang tergeletak.”

Astronot II: ”Semua bayi memang selalu tergeletak.”

Astronot I : ”Tahun lalu kalau tak salah ada juga bayi yang berbaring di sini dan menangis.”

Astronot II: ”Semua bayi pasti menangis.”

Astronot I: ”Temanku bilang, bayi-bayi ini ada di sini dan tertidur sangat lama.”

Astronot II: ”Semua bayi tidur di sini.”

Lalu mereka kembali meloncat dan pergi.

***

Dan begitulah, satu malam kembali dilewati oleh bayi pertama. Ia masih diberi kesempatan untuk dapat menikmati rasa kantuk dan rasa lelahnya. Wanita itu menghampirinya dan memandangi dengan lekat sebuah wajah yang kesepian. Ia tersenyum dan bayi itu pun membalas senyumnya lalu bersin. Matanya sudah tak dapat bertahan lagi untuk terus membuka.

Maka wanita itu memberanikan diri untuk mengecup dahinya. Ia tahu ini tidak akan terasa seperti sebuah kecupan biasa. Dan ia tahu bayi itu sudah terlelap begitu ia menyentuhkan bibirnya. Namun, bagaimanapun juga ia tetap melakukannya untuk sekedar melengkapi kepingan perasaan bahagianya yang kini mulai menyatu kembali.

Astronot I: ”Hei! Kenapa masih di sana? Ayo cepat tunjukkan jalannya, kita tak ingin terlambat!”

Astronot II: ”Semua orang akan terlambat!”

Wanita itu: ”Iya aku datang! Dasar rombongan sirkus brengsek!”

Ia pun pergi meninggalkan sang bayi di belakangnya. Untuk kali terakhir, ia menolehkan lagi wajahnya untuk memandanginya sekali lagi. Kemudian, ia merelakannya terbaring dan terlelap dengan pulas di bawah naungan rasi bintang Orion.


by;arki atsema

Tidak ada komentar:

Posting Komentar