Senin, 13 September 2010

aku bukan pecundang

Sekarang aku punya kebiasaan baru, duduk dan merenung di alun-alun kota sambil menunggu datangnya gerimis atau kabut. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa begitu akrab dengan gerimis kota ini. Kadang sesekali aku juga sering rindu kepada kabut yang turun pada sore dan pagi hari.
Aku juga tak perlu malu kepada siapapun, sebab di sini aku punya teman yang tidak aku kenal dan tidak mengenalku. Aku mengenalnya sekadar dia sering duduk disini sendiri, seperti aku. Wajahnya tak menampakkan kesedihan, hanya kebiasaannya duduk terpekur disini saja yang membuat aku menyimpulkan bahwa dia juga orang yang sama dengan aku, orang yang sama-sama muak kepada kehidupan, tapi masih begitu sayang untuk meninggalkannya. Sebatas itu.
Alun-alun inilah yang kemudian menjadi lambang keputusasaan dan kekecewaanku kepada nasib. Betapa tidak? Aku yang merasa telah melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh, ternyata hanya melahirkan kekecewaan-kekecewaan orang-orang kepadaku. Aku kecewa kepada nasib yang tak berpihak kepadaku. Dan kekecewaan kepada nasib kemudian mengantarkan aku pada keputusasaan. Kemudian aku menyesal telah berbuat baik, aku menyesal telah berbaik sangka kepada kehidupan yang ternyata berlaku kejam kepadaku. Tapi aku tak sampai memaki Tuhan, Tuhan tidak pantas aku maki. Mungkin aku tidak berani.

Orang itu menoleh, kemudian tersenyum kepadaku, seperti menawarkan persahabatan. Aku membalas senyumnya, aku terima ajakan persahabatannya. Lantas dia mendekatiku dengan senyum yang masih tersungging dibibirnya.

Namanya Karta, mengaku berasal dari tempat yang jauh. Tapi aku tak mempersoalkan itu, toh seandainya dia berasal dari dekat pun, aku tak berniat untuk datang ke rumahnya. Seandainya dia penipu pun aku tetap tak peduli, aku tak punya apa-apa yang berharga untuk dibawanya pulang. Aku hanya membawa beberapa lembar uang ribuan sekadar untuk ongkos pulang jika aku sudah merasa bosan merenung atau jika hari sudah malam. Maka aku tak menolak ketika dia menawarkan pisang goreng kepadaku sebagai teman diskusi kami.
“Aku tak tahu, kenapa nasib itu begitu sulit berpihak kepada orang-orang baik. Apakah dia mengira bahwa orang baik mempunyai kesabaran yang tidak terbatas hingga dia dengan seenaknya mempermainkan orang-orang itu? Bagiku, nasib itulah yang tidak tahu diri,” katanya tiba-tiba, seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan tentang nasib.
“Kau jangan berpikiran buruk seperti itu dulu, siapa tahu Tuhan sedang menguji kita dengan hal-hak buruk yang tidak kita inginkan? Ingat bahwa anak kita yang kita sebut-sebut sebagai anugerah juga sebenarnya ujian Tuhan kepada kita,” kataku, masih terlalu takut untuk menuding-nuding nasib sebagai biang kegelisahanku.
“Kau terlalu pasrah, terlalu takut kepada Tuhan.”

“Kau menyalahkan Tuhan?”
“Siapa yang menyalahkan Tuhan? Aku hanya mengatakan bahwa kau terlalu pasrah. Kepasrahan yang dimaksud Tuhan bukan kepasrahan seperti itu. Kita hanya boleh pasrah setelah kita melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh.”
“Kau kira selama ini aku tidak bersungguh-sungguh? Bahkan kesungguhanku itulah yang mengantarkan aku kesini, mengantarkan aku pada kegelisahan yang aku sendiri tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkannya.”
“Berarti kau membenarkan apa yang tadi aku katakan, kau membenarkan apa yang tadi kau tolak.”
“Maksudmu apa?”
“Bicaramu hanya berputar-putar saja,” katanya dingin.
Sore belum hendak berangkat malam, tapi aku yang terlanjur marah dengan kata-katanya, memutuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Aku ingin meninggalkan orang gila yang sepertinya aku menyesal telah mengenalnya. Aku ingin pergi, entah kemana saja, sekiranya aku tidak lagi melihat wajahnya lagi. Aku benci orang yang suka mengadili.

Aku memang muak pada Karta, pada kata-katanya yang sok bijak, tapi aku tak bisa marah kepada alun-alunku dengan kabut dan gerimisnya yang telah mengantarkan perkenalanku dengannya. Maka keesokan harinya aku kembali ke alun-alun, membawa harapan semoga aku tidak bertemu dengannya, agar kemarahanku tidak bertambah satu lagi. Masih dengan kegelisahan yang sama.
Tapi aku tetap menjumpainya di tempat yang sama seperti saat aku melihatnya pertama kali. Melihat kedatanganku, dia tersenyum dan mendekatiku. Aku diam saja, maksudku agar dia tahu jika aku sedang marah, atau setidaknya aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Tapi dia tetap tak beranjak dari sampingku. Masih dengan senyum.

“Kau memang kurang berani. Jika aku jadi kau, aku akan mengakhiri hidupku. Percuma saja kita hidup jika hanya menjadi beban bagi yang lain. Itu tak ada bedanya dengan menjadi sampah.”
Aku tersentak, belum pernah aku menjumpai orang yang baru aku kenal sehari yang lalu berani berkata seperti itu. Tak pernah sekali pun aku menjumpai orang yang begitu jujur mengatakan sesuatu yang tak menyenangkan di depan orang yang dimaksud. Baru pertama kali aku menemukan orang yang tidak munafik(?). Baru pertama kali aku merasakan bahwa kejujuran itu begitu menyakitkan. Pantas jika sekarang jarang ditemukan orang-orang yang jujur.

“Suatu saat sampah pun akan menjadi sesuatu yang berguna, ulat yang menjijikkan pun suatu saat akan menjadi kupu-kupu yang indah. Bunuh diri hanya untuk orang-orang yang putus asa,” kataku.
“Kau pikir kau bukan orang yang putus asa? Bilang saja bahwa kau terlalu takut dengan doktrin agamamu bahwa orang yang bunuh diri akan masuk neraka,” katanya sinis. Aku hanya tertunduk memainkan sandal lusuhku, dalam hatiku aku membenarkan kata-katanya. Tapi aku tidak boleh mengiyakan begitu saja kata-katanya.
“Kenapa? Apakah tidak boleh jika sampai sekarang aku masih percaya kepada Tuhan dan agamaku? Aku tidak akan mengatakan bahwa itu adalah doktrin, Tuhan tidak akan memaksa manusia untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang manusia ingin lakukan. Tuhan telah memberi akal kepada manusia, karena akal inilah aku tidak akan melakukan apapun yang menjadi larangannya. Manusia boleh melakukan apa saja yang diinginkannya, Tuhan hanya memberitahu akibat dari perbuatannya.”

“Itu berarti bahwa kau memang takut mati. Kau mengatakan bahwa Tuhan mempersilahkan manusia untuk melakukan apa saja, tapi kau masih saja mengatakan alasan ketakutanmu dengan mangatasnamakan Tuhan.”
“Aku tidak takut mati, aku hanya ingin matiku tidak seperti itu. Aku ingin kematianku tidak sia-sia. Aku masih ingin berguna,” sangkalku. Entah apa lagi yang akan aku katakan jika dia kembali menyanggahnya. Mungkin mengiyakan saja kata-katanya agar dia puas dan segera pergi dari hadapanku.

“Kemarin kau merasa bahwa hidupmu tak berarti apa-apa. Tapi sekarang kau berkata seperti itu?” katanya. Aku kembali tersentak. Aku merasa tak pernah mengatakan kepada siapapun tentang keputusasaan ini, aku hanya merasakan dalam hati! Kenapa dia tahu? Siapa dia sebenarnya?
“Itu artinya aku bukan orang yang putus asa, itu artinya bahwa aku tidak akan melakukan apapun yang kau anjurkan!” jawabku ketus. Dia hanya tersenyum seperti sinis.
“Sudah, aku pergi saja. Tapi ingat, kau akan tetap merasa kalah,” katanya, kemudian bangkit dari duduknya dan pergi entah kemana. Aku tak peduli.
Sejak saat itulah, aku tak pernah lagi melihatnya. Pada mulanya aku merasa senang, sekarang tak ada lagi yang menggangguku saat aku sedang merenung, tak ada lagi orang yang menyalahkan kebimbanganku, setidaknya dalam hal ini.
Tapi entah kenapa kata-kata terakhirnya masih saja menghampiriku saat aku sedang dalam perenungan nasib di alun-alun, apalagi saat aku menatap tempat yang biasanya dia gunakan untuk duduk. Perlahan-lahan aku mengakui kebenaran kata-kata terakhirnya. Aku benar-benar merasa kalah, kepada siapapun yang mengenalku. Apalagi kepada Karta, yang dulu dalam hatiku aku tuduh sebagai setan yang membujuk aku untuk bunuh diri.
Lalu aku pulang, takut jika kemudian bayangannya saja yang ada dalam pikiranku. Kemudian kembali membujukku dengan kata-katanya yang seperti mengandung mantra, kemudian aku terbujuk kata-katanya, kemudian aku mati sia-sia…
Aku melanjutkan lamunanku dalam kamar. Tak sadar jika otak ini masih begitu kuat mengingat kejadian masa lalu. Tak sadar jika otak selalu membawa kemana saja kenangan-kenanngan itu. Kadang otak ini tak tahu diri, kali ini membawa Karta masuk kamar tanpa seizinku.

“Benarkah orang yang tidak berani mengakhiri hidupnya adalah seorang pecundang? Aku seorang pecundang? Ya, aku memang pecundang bagi mereka dan bagi diri sendiri. Nyatanya aku tak bisa membahagiakan diriku sendiri,” kata sisi hatiku.
“Bukan! Aku bukan seorang pecundang, aku hanya orang yang merasa marah pada mereka yang tak pernah mengertiku. Merekalah manusia-manusia egois yang tak berhati. Mereka seperti itu karena mereka kecewa kepadaku atas kebaikanku yang bukan hanya kepada ego-ego mereka. Kejujuran memang menyakitkan, tapi ketidakjujuran itu lebih menyakitkan. Aku hanya korban dari ketidakjujuran mereka,” kata sisi hati yang lain.
“Jujur atau tidak jujur, aku tetaplah manusia kalah. Percuma mengerti mereka jika mereka tak pernah mengertiku. Memang benar kata Karta, aku memang tak layak untuk hidup.”

“Aku tak peduli dengan sikap mereka atas sikapku, yang aku lakukan bukan berasal dari manapun, tapi dari hatiku,” kata sisi hatiku, terdesak.

Tidak! Aku tidak peduli dengan kata-kata hatiku, mereka bertengkar dengan sama-sama mengatasnamakan aku! Aku memang sepi, tawa mereka yang terdengar nyaring itu semakin menyiksaku. Seperti menertawakanku dengan segala kemarahan dan kegelisahanku. Aku muak!
Aku menutup mata hendak menghentikan pertengkaran antara dua sisi hatiku, aku berusaha untuk tidak melibatkan mereka dalam masalah ini. Aku menganggap mereka tak tahu apa-apa tentang hal ini.

Saat aku membuka mataku, aku tak melihat apapun. Tak ada cahaya yang mampu menembus ruangan ini. Gelap, segelap gelap! Hanya ada setitik cahaya yang tak mampu menjangkau tubuhku. Aku mendekatinya, dia menjauh seperti enggan dekat denganku. Aku tak peduli, aku akan mengejarnya sampai aku mendapatkannya. Tiba-tiba dia berubah menjadi tali yang diam tapi bersahabat.

Benar kata Karta, aku memang tidak berguna. Tak ada artinya aku hidup jika hanya untuk menyiksa diriku sendiri. Biarlah aku sedikit menderita, kemudian aku akan tenang tanpa tawa mereka, tanpa ejekan Karta, tanpa senyum pahitku. Agar Karta dan semua orang tahu, bahwa aku bukan pecundang.

Kemudian aku berlari pada seutas tali yang tersenyum ramah kepadaku. Dia melambaikan tangannya kepadaku. Aku dekati dia, aku peluk dia dengan penuh kasih. Berharap dia tidak akan bersikap seperti manusia-manusia egois itu.

Temali itu menyeringai melihat leher jenjangku. Dengan penuh nafsu dia menjilati leher dan belakang telingaku. Aku mendesis, pelukanku padanya semakin erat, semakin nikmat. Belum pernah aku merasakan nikmat senikmat ini. Aku ingin mengulanginya lagi, tapi dengan mesra dia mengatakan bahwa ini tidak akan terulang lagi. Tubuhku menggelinjang, ada senyum puas pada wajah temali itu. Seperti aku.

Aku membuka mata, aku melihat orang-orang menatapku iba. Aku tersenyum kepada mereka, tapi mereka tak membalas senyumku, bahkan diantara mereka ada yang menangis. Jelas bahwa mereka tidak pernah merelakan aku bahagia seperti ini.

Kemudian mereka membawaku pergi, aku menolak dan meronta. Tapi mereka seperti tak peduli, mereka seperti tak tahu jika aku tak ingin dibawa pergi. Aku ingin tetap disini bercumbu dengan temali jika nanti ada kesempatan lagi. Dan aku tak berdaya, aku biarkan mereka membawaku kemana saja mereka suka. Orang-orang semakin banyak mengerumuniku. Aku tersenyum, membodohkan mereka.

Aku bangga, kelak jika aku bertemu dengan Karta, aku akan mengatakan bahwa aku bukan pecundang seperti mereka yang menyembunyikan kepecundangan mereka dengan mengatasnamakan Tuhan. Aku sang pemberani yang berani hidup dan tak takut mati.


by;wastatama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar