Senin, 13 September 2010

wajah didalam kanvas

Kutatap awan yang bergerak di atas sana, bergulung saling berkejaran. Awan-awan itu sangat lamban. Saat itu tinggiku baru mencapai pinggang ibu, mungkin empat tahun, aku tidak begitu tahu pasti. Awan-awan itu terlihat begitu dekat. Seringkali aku melompat-lompat ingin meraihnya walaupun aku tahu bahwa usaha tersebut sia-sia saja. Keinginan hatiku yang lebih besar untuk dapat menyentuhnya selalu mengalahkan logika kecil ini. Di saat seperti itu Kakek dan Nenek tertawa-tawa melihat tingkahku yang lucu. Mereka menggerak-gerakkan mulut. Aku tahu mereka sedang mengatakan sesuatu, namun hanya gerakan yang aku lihat. Tidak pernah aku mengerti apa yang mereka katakan, hingga usiaku 14 tahun.

Sekian tahun berlalu tanpa arti mendalam di masa kecilku, pasti karena umurku masih terlalu muda untuk mengerti. Sehingga hari itu, hari dimana aku menyadari bahwa hanya akulah yang tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar. Hari yang masih tergambar jelas di dalam ingatanku. Kuingat Ibu membawaku ke dokter. Ia adalah seorang lelaki di balik seragam putih bersih, yang kemudian selalu kupanggil Mbombo. Ia meraba telingaku, mengetuk-ngetuk dengan jarinya, dan melakukan beberapa pemeriksaan yang sangat tidak aku mengerti. Tubuhnya yang besar membuat aku ketakutan dan tangannya yang memegang-megang telinga dan wajah rasanya ingin kugigit lalu berlari keluar dari ruangan itu. Pemeriksaan itu rasanya tidak akan pernah berakhir. Kemudian Ibu dan dokter itu, rona muka keduanya sangat serius. Lalu kulihat Ibu mengucurkan air mata. Sebuah kepedihan yang sangat dalam tersirat dari wajah bulat itu.

Naluri kecilku mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah, tapi aku tidak tahu. Ibu menggunakan jari-jarinya yang kasar untuk menyeka air mata. Mbombo masih terus berbicara, kelihatannya penting, Ibuku hanya manggut-manggut. Rasa takutku tiba-tiba hilang. Kuawasi keduanya dengan naluri yang tak pernah aku gunakan sebelumnya.

Mulut pak dokter bergerak-gerak. Kepala Ibu menangguk-angguk banyak kali.

‘Ha! aku tahu!’ kataku dalam hati.

‘Ibu mengerti apa yang dikatakan Mbombo.’

Kucoba membuat wajah serius dan sedih seperti yang dilakukan Ibu, tapi air mataku tidak dapat menetes dan kesedihan yang Ibu alami tidak dapat aku alami.

‘Mengapa aku tidak mengerti?’

Naluriku memperjelas masalah itu, ‘ Setiap orang menggerakkan mulutnya kepada orang lain dan orang lain disekitar memperhatikan mulut yang bergerak tersebut, lalu mereka mengerti. Namun mengapa aku tidak dapat mengerti satupun dari semua gerakan mulut orang-orang sekitarku? Hanya gerakan tangan yang dapat aku mengerti. Apa arti semua ini?’

Seharian aku bertanya-tanya di dalam hati. Kucoba untuk bertanya kepada Ibu tetapi dia tidak dapat menjelaskannya kepadaku. Yang dia bisa hanyalah menggerak-gerakkan mulut. Aku putus asa dan marah karena dia tidak dapat menjawab pertanyaanku.

Keesokan harinya, aku dan anak tetangga yang seumur denganku sedang bermain bersama. Ibunya datang menghampiri, temanku menengadah menggerakkan mulut sementara si ibu tersenyum kemudian menggerakkan mulutnya. Ia memberikan sebuah boneka pada kawan kecilku. Saat itu senyumnya manis sekali, semanis putri kahyangan. Aku mendekati dia dan berkata,

‘Kau cantik sekali.’ Dia mengkerutkan keningnya. Kuulangi lagi,

‘Kau cantik sekali.’ Dia masih tidak mengerti. Kubawa ia pada Ibu dan berkata,

‘Mama, Ibu ini cantik sekali.’ Namun ibuku juga mengkerutkan kening. Aku hampir tidak percaya dan putus asa. Kukatakan sekali lagi, kugerakkan mulutku, kutunjuk ibu itu, kutunjuk boneka yang ia berikan kepada kawanku, kujelaskan bahwa ia sangat cantik waktu tersenyum memberikan boneka itu pada anaknya.

‘Senyummu bahkan lebih manis dari senyum ibuku.’ Lalu semua orang tersenyum sangat lebar. Aku yakin mereka sangat bahagia.

‘Oh, akhirnya kalian semua mengerti.’ Hatiku lega. Mereka dapat mengerti aku.

Kami kembali bermain.

Di tengah keasyikan kami bermain, ibuku bersama ibu kawan kecilku datang dari depan rumah membawakanku sebuah boneka yang sama dengan temanku. Aku bahkan tidak sadar kapan mereka meninggalkan rumah. Namun bukan itu yang membuatku menangis. Untuk pertama kali di dalam hidupku hatiku hancur, padahal aku hanyalah seorang gadis kecil berusia 5 tahun. Hatiku perih tersayat-sayat. Kugigit lidahku, kubiarkan air mata bercucuran di pipiku menerima boneka itu. Ibu menggendongku dengan penuh kasih sayang . Di dalam pelukannya kuberkata,

‘Ibu, aku tidak meminta boneka ini. Aku bukan menangis karena bahagia. Aku hanya bilang, Ibu itu cantik sekali waktu tersenyum memberi boneka pada anaknya.’

Semenjak hari itu aku tidak begitu tertarik untuk pergi bermain bersama kawan-kawan kecilku lagi.

‘Untuk apa? Kalian tidak dapat mengerti aku. Bahkan ibuku sendiri tidak.’

Kuhabiskan hari-hariku menyaksikan teman-teman bermain dari balik jendela rumah. Karena letaknya yang sangat strategis, aku hampir dapat menyaksikan setiap orang yang lalu lalang, anak-anak sekolahan bermain di lapangan, lapangan volley tempat orang dewasa bermain pada sore hari, dan anak-anak ayam yang mengikuti induknya mengais-ngais tanah mencari makan. Di pangkuanku selalu setia menemani boneka plastik kesayangan pemberian Ibu, boneka yang tidak pernah aku dambakan.

Menonton kehidupan manusia tidak pernah membosankan, apalagi dihiasi dengan alam. Bila banyak orang hanya mempunyai satu tanggapan terhadap sampah, kotor, maka aku dapat melihat segi keindahan sampah. Menyaksikan kehidupan dari balik jendela rumahku, sepanjang waktu, setiap hari, membuat mataku dapat melihat segi artistik dari semua kehidupan. Aku bahkan dapat menikmati menyaksikan kucing tetangga yang sedang jongkok mengerang mengeluarkan kotoran. Semakin lama memandang, kehidupan yang ada di depanku bergerak semakin lamban. Bahkan suatu saat aku dapat merasakan kehidupan itu berhenti. Mematung di sudut yang sangat indah. Dan pada saat itulah aku selalu tersenyum sendiri. Kubiarkan pemandangan itu di depan mata dan pikiranku berlama-lama. Sangat indah. Menakjubkan. Mempesonakan. Hanya itu pulalah kenyataan yang tidak membuat ibuku khawatir akan keberadaanku. Bila aku meloncat-loncat gembira menyaksikan keindahan itu, ia tersenyum. Ia mengerti aku masih dapat berbahagia dalam kesendirianku.

Di hari ulang tahunku yang ke-6, kulepaskan Momo, boneka plastikku. Ibu membeli sebuah tas lengkap dengan isinya. Aku tidak pernah ke sekolah, namun aku merasa berada di sekolah, di balik jendela rumah. Yang paling pertama kutarik adalah buku polos dan crayon. Kugoreskan kehidupan yang terhenti itu di dalamnya. Sangat polos, namun menakjubkan untuk seorang anak seperti aku.

“Apa yang kira-kira ia gambar?” kata seorang wanita berbisik di sisi kanan belakangku.

Aku melirik ke arahnya untuk melihat sekilas. Ia telah membuyarkan lamunanku.

“Belum tahu pasti,” jawab pria dibelakangnya.

Mereka terlihat seperti pasangan orang penting dalam acara showku yang pertama ini. Mereka kelihatan kurang cocok dimana si wanita terlalu cantik dan sangat muda untuk si lelaki yang pendek, gemuk dengan wajah berparut itu. Tapi yang pasti si lelaki memperlihatkan kecemerlangannya. Seorang wanita di samping mereka yang mengenakan pakaian berwarna hijau pudar menaruh telunjuknya di bibir.

‘Terima kasih,’ ucapku dalam hati.

‘Pusatkan pikiran!’

Dalam hitungan kesepuluh aku kembali pada lukisanku. Mengilustrasikan perjalananku dalam melukis.

Suatu sore yang indah, seperti biasa para tetangga berkumpul di lapangan volley. Setelah menonton mereka beberapa menit, terbersit niatku melukis pemandangan indah itu, dimana mereka kelihatan ceria berlari-lari menerima bola yang keras, lalu mengarahkan ke depan, setelah itu bola melambung di depan net yang kemudian seorang yang berada di baris depan berlari kencang dan melompat memukul bola dengan keras ke arah lawan. Kuperlihatkan hasil lukisan itu pada Ibu. Ia membelalakkan mata hampir tidak percaya. Dengan bangga Ibu menari-nari sambil memamerkan lukisanku pada para tetangga yang juga terkagum-kagum. Ibu menggendongku diatas pundaknya layaknya seorang ratu. Aku merasa bangga sekali dengan kebahagiaan yang baru saja aku berikan pada Ibu. Karena ia sangat menyukainya, kuperkenankan Ibu menyimpan gambar itu.

Aku tak pernah tahu apa yang ia lakukan pada gambarku. Suatu hari ia datang membawa sebuah tabloid dan memperlihatkan sebuah gambar. Hatiku terlonjak girang saat menyadari bahwa itu adalah gambar yang aku buat.

Perhatian Ibu pada potensiku sangat tinggi. Ia selalu memastikan aku mendapatkan cukup kertas dan crayon. Tidak hanya sampai di situ, di saat umurku bertambah, ia membelikan peralatan melukis yang baru. Mulai dari pewarna air, cat air, cat minyak, hingga kertas berukuran sangat besar, kain dan semua perlengkapan yang aku butuhkan. Kadang aku berpikir, bagaimana caranya ia dapatkan semua ini? Setiap kali aku selesai menggambar sebuah lukisan yang indah, Ibu selalu menyimpannya. Aku mengerti ia akan mengirimkannya lagi untuk dimuat di tabloid, namun hal itu tak pernah terjadi lagi. Kadang aku berpikir mungkin ia memajangnya atau menyembunyikan di suatu tempat, namun tidak pernah dapat kutemukan. Hanya satu yang aku tahu, semenjak aku melukis setiap hari, ibu sering ke luar rumah dan pulang membawa oleh-oleh untukku. Kami selalu makan enak dan ibu sering membelikan aku pakaian yang indah.

Suatu hati aku bertanya tentang kemana gerangan semua lukisanku. Ibu menjawab, tapi tentunya aku pura-pura mengerti walaupun sebenarnya aku tidak mengerti. Keesokan harinya Ibu malah datang dengan seorang lelaki asing.

Lelaki itu tidak membuat aku takut sama sekali. Wajahnya bersahabat, senyumnya manis dan ubannya satu persatu menjorok dari rambutnya yang kejung. Ia sangat tertarik dengan apa yang ia lihat di kamarku. Dinding kamar aku lukis dengan bunga-bungaan, rumput dan binatang-binatang kecil. Kupu-kupu adalah favoritku. Aku kira hal yang aku lakukan pada kamarku itu adalah hal yang wajar dan semua anak bisa melakukannya. Dinding rumah bagian dalam semuanya tergores indah bagaikan taman. Aku tidak tahu bahwa ternyata gambar-gambar itu sangat istimewa.

Lelaki asing itu perlahan-lahan menyiapkan sebuah kanvas kosong, mengambil alat-alat yang aku biarkan berserak di atas meja warna-warni hasil tumpahan bahan pewarna. Ia mengambil kuas dan kemudian menggoreskannya di atas kanvas. Ia memandang ke arahku dan menggerakkan mulut. Aku mencoba mengerti apa yang ia katakan, aku tidak tahu. Tapi ia memulai lukisannya tepat di tengah-tengah kanvas dan menunjuk bagian bawah dan atas, seolah-olah ia berkata ini untukmu dan ini untukku.

‘Kau ingin aku melukis denganmu?’

Aku pun mendekatinya, menempatkan diriku tepat di depannya, menarik sebuah kuas baru dari kaleng cat minyak yang kosong, lalu aku menyatukan diri dengannya. Ia menggoreskan sesuatu, aku membuat garis panjang. Ia menggambar lagi, dan aku menirunya. Lagi dan lagi. Hasilnya?

Kami telah menciptakan sebuah gambar rumah dibawah naungan matahari, lengkap dengan bayangannya di dalam air sungai yang bening. Ia menggambar rumahnya dan mataharinya sedangkan aku menciptakan sungai dan bayangannya.

Kenangan awal itu begitu manis membuatku sadar bahwa aku mempunyai teman, aku tidak akan lagi sendiri di dalam duniaku. Waktu itu aku berumur sepuluh tahun.

Lukisan tersebut telah mengubah hidupku selamanya. Satu jam yang lalu waktu memasuki gedung ini, lukisan itulah yang pertama kali aku lihat. Setiap pengunjung mau tidak mau harus melihat gambar ini, karena mereka meletakkannya tepat di depan pintu masuk. Bersendirian terpampang dengan bangga berkata, “Disinilah aku ditemukan.”

Lelaki asing yang kemudian aku panggil Baba itu menjemputku setiap pagi dari rumah dan hanya akan mengantarku pulang setelah makan siang. Kami hanya melukis dan melukis. Ia memperkenalkanku pada beberapa tekhnik. Sekali-kali membawa aku jalan-jalan ke kota, ke gunung, ke sungai dan ke banyak tempat, dan bahkan sekali-kali kami ke sanggar tari, theater dan banyak lagi. Sepulangnya kami akan menggambar lagi. Tak kusangkal kebahagiaan yang ia ciptakan untukku. Namun hanya ada satu hal yang belum pernah dapat aku jawab.

‘Mengapa tiada seorang pun yang dapat mengerti apa yang kuinginkan seketika itu juga? Cara mereka memandangku sangat beda dengan cara mereka memandang satu sama lain. Mengapa?’

Di hari ulang tahunku yang kesebelas, kutuangkan perasaan ini di dalam lukisan. Baba memandang lukisan itu sangat lama. Aku mencoba menjelaskan kepadanya. Dengan menggerakkan mulut, dengan tangan, dengan air mata. Akhirnya ia mengerti. Detik itu juga ia membawaku ke sebuah tempat yang belum pernah aku kunjungi. Sebuah klinik.

Aku tidak mengerti apa yang ia lakukan dan apa yang telah menjadi pembicaraan kedua orang itu. Mbombo setengah baya berjubah putih membawa kami keruangan kecil yang tertutup dan penuh dengan alat-alat yang tidak aku mengerti.

Aku diminta duduk di depan Mbombo. Ia menggerakkan mulut ke arah telingaku beberapa kali. Kemudian ia mengambil sebuah benda dan menempelkannya di telingaku. Aku sedikit ngeri. Selang beberapa waktu, satu hal yang tidak pernah aku kenal sebelumnya terjadi.

Telingaku berdengung. Aku ketakutan. Seluruh tubuhku seperti disengat listrik.

‘Apa ini?’ Aku beranjak dari kursi dan melotot pada kedua orang yang tersenyum. Mengherankan sekali, bahagia dengan ketakutanku. Aku melepaskan alat itu dari telinga.

‘Apa itu tadi Baba?’ Baba mencoba menjelaskan sesuatu kepadaku, namun aku tidak dapat mengerti.

‘Apakah ini jawabanmu terhadap lukisanku? Apa yang kau katakan?’ Kulihat Baba berusaha keras menjelaskan padaku. Kugelengkan kepala.

‘Aku tidak mengerti, Baba. Aku tidak mengerti apapun yang ada di sekitarku. Aku bahkan tidak mengerti apa yang kau katakan saat ini.’

Semenjak saat itu, Baba membawaku ke tempat yang sama berkali-kali. Hingga pada suatu hari ia memberikan aku bingkisan indah berwarna merah. Terbungkus rapi dalam sampul yang sangat unik. Bingkisan tersebut berisi alat yang aku mengerti untuk diletakkan ditelinga, karena sama dengan yang di klinik. Hanya saja yang ini lebih kecil ukurannya, dan bisa aku bawa kemana-mana. Baba memasangkannya di telingaku. Seketika ketakutan yang aku rasakan di klinik berubah menjadi sensasi yang membuat bulu kudukku berdiri.

‘Aku mendengar bunyi, irama, nyanyian yang sangat indah.’ Sebuah cicitan yang tak pernah aku dengar. Kucari asalnya, kulihat ke atas, dan bunyi itu tak salah lagi berasal dari sangkar burung. Baba menurunkan sangkar burung itu dan mengangguk. Aku berkata,

‘Baba, bunyi burung ini ………’ Seketika aku terhenyak. Sepertinya aku baru saja mendengar diriku sendiri.

“Baba, Ou ou wa wa mbo mbo!” Hanya begitu bahasaku.

‘Apakah itu bunyiku sendiri?’ Aku menganga sambil bertanya di dalam hati. Baba menatapku dengan sangat bijaksana, walaupun ia kelihatannya mengerti namun aku yakin dia tidak dapat membayangkan perasaanku pada saat itu. Kututup mulutku dengan perasaan malu.

“Ya, itu suaramu sendiri,” Baba berkata lembut. Pada saat itu aku belum mengerti arti ucapannya.

‘Tapi Baba, aku hanya bisa ou ou wou wu sementara suaramu berirama seperti burung.’

“Uu wooowo.” Aku takut mendengarkan suaraku. Mengerikan, sementara suara Baba berirama seperti burung itu. Suara Baba berpola, tapi aku tidak.

‘Bunyi, suara. Dunia ini penuh dengan bunyi yang tidak pernah aku dengar. Mereka punya irama, aku tidak. Aku tidak pernah mendengar irama mereka, aku bahkan tidak pernah sadar bahwa aku juga memiliki bunyi, seperti burung itu. Hanya saja burung itu begitu merdu dan aku, oh ……’

“Uuuuuuuuuu ….” Aku menangis mendengar suaraku yang buruk. Aku menangis karena butuh 12 tahun untukku sehingga bisa menikmati indahnya bunyi alam.

‘Mengertilah apa yang ingin aku katakan Baba, aku mendengarmu. Aku mengerti. Aku tidak punya iramamu, irama ibu dan irama orang-orang sekitarku. Dan Baba, suaraku buruk sekali.’

Mungkin Baba mengerti bahasa air mataku. Ia mendekapku saat melihat air mata mengalir dari pipiku. Lalu ia memeluk dan menciumku bagaikan seorang ayah.

‘Beginikah suaraku saat menangis?’ Aku terisak-isak. Untuk kedua kalinya hatiku hancur. Pantas mereka memperlakukan aku berbeda, karena aku memang berbeda.

Mulai hari itu pelajaran yang aku dapatkan bukan hanya melukis, tetapi juga irama bahasa. Melatih lidahku menggunakan bahasa indah ini. Bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan dari dunia. Perlahan-lahan aku pun belajar membaca, berhitung dan segala sesuatu yang seharusnya telah kupelajari di sekolah dasar 6 tahun yang lalu.

“Oh, siapa gadis kecil itu?” tanya wanita tadi sambil berbisik.

“Sssst!” jawab yang ditanya. Aku dapat merasakan bahwa ini merupakan pengalaman pertama wanita tadi ke tempat seperti ini.

‘Ah, akhirnya selesai juga.’

Kububuhkan tanda tangan di atas kanvas mengakhiri lukisan ini.

“Mirna, apakah arti lukisan ini?” tanya seseorang dari belakang.

“Menatap Aura Kehidupan!” jawabku lantang yang kemudian diikuti oleh tepuk tangan para hadirin.

Di dalam sana terlukis wajahku yang kagum saat pertama kali menyaksikan aura kehidupan. Menatap gambar yang tak seorangpun mampu visualisasikan selain aku. Mata yang ada di dalam sana adalah mata lebar seorang gadis cilik, dari balik jendela rumah lamaku, memandang detak waktu yang terhenti. Tanpa bunyi, tanpa suara, tanpa senandung merdu alam raya ini. Alam bisu.

“Mir – na – wa – ti “ Saat kutatap lukisan itu sekali lagi, aku teringat saat pertama kali aku mencoba menyebutkan namaku. Dengan suara yang gagap dan lidah yang sangat kaku untuk digerakkan.

“Ini dia bidadari kecilku,” Om Jepri yang masih sering kupanggil Baba datang dengan seseorang yang belum pernah aku kenal sebelumnya.

“Mirna! Ini Pak Hasan. Pak hasan! Mirnawati.” Kami tersenyum satu sama lain dan berjabatan tangan.

“Mirna, Pak Hasan ini menawarkan untuk memasarkan lukisanmu yang berikutnya.” Aku mengkerutkan kening meminta penjelasan lebih.

“Lukisan yang sekarang sudah habis terjual seluruhnya, dan permintaan masih banyak. Untuk itu, Pak Hasan akan mempersiapkan showmu yang kedua. Dan yang ini harus dalam persiapan yang lebih matang.” Aku hampir tidak percaya apa yang baru saja kudengarkan.

“Dan tentunya lebih bergengsi,” Pak Hasan menambahkan kalimat Om Jepri.

“Kapan?”

“Maret tahun depan, di Kinabalu.” Aku terperangah.

‘Sampai sejauh itukah lukisanku melanglang?’ Beberapa menit berbasa-basi kami berpamitan. Aku pergi menjumpai para pengunjung lain, melayani pertanyaan mereka satu persatu, walaupun dengan bahasa yang tidak selancar mereka, namun setidaknya aku dapat mengerti mereka dan mereka dapat mengerti aku.

Di akhir acara, kulepaskan alat bantu dengar yang setia bertengger di telingaku saat berbicara kepada orang lain. Kukelilingi show room ini dan menatap lukisanku satu persatu. Di dalam sana, aku berada suatu waktu yang lalu. Tanpa suara. Bila kutatap lagi lebih dalam, kadang aku ingin kembali berada didalamnya. Dunia tanpa suara yang sepi sebenarnya sangatlah indah, dan penuh arti. Kadang aku dapat melihat angin dan menciumnya. Kadang kulihat aura setiap orang yang mencerminkan hati mereka. Dunia ini mempunyai sisi yang lain, seperti di dalam lukisan itu. Gerakannya bagaikan sebuah slow motion yang dapat aku goreskan ke dalam kanvas ini. Dan dunia itu pulalah yang telah memberiku berkah yang sangat besar ini.


by;maylan st john

Tidak ada komentar:

Posting Komentar