Senin, 06 September 2010

pelepah aren

Embun tebal yang tertiup angin lembah masih terus bergerak naik-turun, menyelimuti pohon-pohon tua berlumut yang daun-daunnya sangat lebat. Suasana saat itu begitu mencekam, tetapi sesekali ketika embun pekat tersingkap, kerlipan hiasan langit memberi senyuman hingga tercipta kembali ketenangan. Dan lambat laun akhirnya lagu malam hari mengantarkanku pada kelelapan.

Tak lama ketika aku masih sedang tertawa ria berlari-lari dan bernyanyi di taman bunga tidurku, suara percikan bara dari kayu bakar di tungku yang ada di belakang tempatku tidur membangunkanku dari lelap. Perlahan aku pun semakin tersadarkan, kupaksa untuk membelalakan mata yang masih berat, kuangkat tubuhku yang terkujur di atas alas dari dedaunan dan semak-semak. Saat itu sekitar pukul tiga pagi, itu juga hanya perkiraanku karena di gubuk tempatku tinggal tak ada yang namanya jam dinding ataupun arloji. Aku mulai berdiri dan berjalan menuju pancuran yang ada di tepi sungai dekat gubukku untuk membasuh muka. Lalu aku kembali ke gubuk, menuju tempat suara percikan bara api tadi berasal.

Ya…bisa dibilang itu adalah bagian rumah yang disebut dapur, walaupun tak ada kompor, termos atau yang lainnya. Hanya ada tungku, panci butut, dan tumpukan-tumpukan kayu bakar diatas tanah yang lembab.

Setelah ada disana aku segera mendekatkan tubuhku ke dekat perapian. Embun tebal dan dinginnya air pancuran tadi telah menurunkan panas tubuhku dan memperlambat laju darah.

Aku menoleh ke samping, di sana kulihat pamanku sedang duduk hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. Kulihat dia sedang memperbaiki keranjang bambunya.

Sementara aku masih duduk menghangatkan tubuh di depan perapian. Paman tak menghiraukan kedatanganku saat itu. Aku pun mulai membuka pembicaraan.

“Kenapa tak kau kerjakan disini paman? Biar tak dingin.”

“Aku sedang menghangatkan tubuh,” jawab pamanku.

“Di sini kan dekat api”.

Paman kembali menjawab, “Jika aku kesana, aku bisa lebih hangat daripada uap air yang ada di panci itu”.

Aku hanya terdiam.

Masih belum beranjak dari samping tungku tadi, aku terus mendekatkan tubuhku ke api sambil menutupi kakiku dengan sarung. Aku tak menghiraukan tentang pembicaraan dengan pamanku tadi. Paman pun masih sibuk meneruskan memperbaiki keranjangnya. Suasana menjadi hening kembali.

Sesaat setelah itu, kali ini Paman yang memulai pembicaraan.

“Sudah kau asah parangmu?”

“Belum,” jawabku.

“Kalau begitu asahlah dulu!”

“Masih gelap Paman, ayam hutan pun belum terbangun.”

“Kalau begitu kita saja yang bangunkan ayam hutan!” tepis Paman.

Karena tak ingin beradu argumen dengan Paman, aku menurutinya, mengambil parang yang tergantung di dinding samping luar gubuk tempat biasa alat-alat berkebun kami simpan.

Ketika sedang mencari-cari parang, entah kenapa sebersit pikiran melintas di kepalaku dengan segudang pertanyaan.

Mengapa? Mengapa aku harus terjaga ketika fajar pun belum menjelma, mengapa harus lebih dulu aku yang terbangun daripada ayam hutan. Dan kenapa pula ketika masih gelap buta seperti ini aku mesti sudah mengasah parang? Apakah aku telah terpilih oleh alam? Jika memang iya, kenapa aku yang dipilih, atau aku ini pelayan bagi sekalian alam, yang nantinya akan dinikmati oleh orang-orang yang bahkan tidak kenal pada alam?

Sejenak aku terpejam, membiarkan hati dan pikiranku bersatu-padu dengan embun tebal, biar terhembus, terbang meninggalkan gubuk ini hingga menyebrang ke balik punggung gunung. Dan ketika sampai disana aku akan berlari sekencang-kencangnya, berkejar-kejaran dengan derasnya arus sungai.

Sesaat kemudian…

“Sekalian bawa bumbung!” teriak Paman, sehingga aku pun tersadar setelah beberapa saat tadi melayang-layang terbawa lamunan.

***

Langit hitam berganti terang, burung-burung mulai bersiul bersahutan. Ya, fajar telah datang. Sinarnya menelusup ke celah-celah daun berusaha menembus rimbunnya hutan dan tebalnya embun. Dalam hati aku berkata, “Kemana saja kau fajar, lama datang, lama pula kau menghangatkan!”

Lalu paman yang telah memakai pakaian berkebun datang menghampiriku.

“Kenapa kau termenung?” tanya paman.

Aku tak menyahut, hanya memandangnya.

“Menyesal? Seharusnya kau merasa bangga!” ujar Paman sambil mengambil bumbung yang ada di tanganku lalu diselendangkan di pundaknya.

Aku hanya menjawab dalam hati. Menjawab dengan pertanyaan pula.

Bangga? Perihal apa?

Aku hanya berdiri membisu, pikiranku buntu, kembali melayang-layang, tetapi bukan melamunkan yang indah-indah melainkan diperdaya oleh kebingungan, hingga semua yang ada di sekeliling aku pun terasa tak hidup dan tak acuh.

Lalu aku memandang ke arah Paman, dan Paman juga memandangku. Seperti memberikan isyarat : “Kita berangkat!”. Tanpa dikomando aku segera mengikuti paman. Melangkahkan kaki yang masih terasa belum benar-benar memijak di atas tanah lembab dengan penuh teka-teki dan melingkupi akal sehatku, hingga aku tak sampai mengerti akan sebuah makna yang terucap dari mulut seseorang yang mengutarakan tentang arti kehidupan.

***

Di perjalanan menuju kebun aku bertanya tentang sesuatu pada Paman.

“Paman, mengapa orang punya cita-cita?”

“Maksudmu mengapa aku lebih memilih tinggal di hutan dan mengurus kebun-kebun ini, tidak seperti orang-orang yang yang menunggangi mesin-mesin itu?”

“Tak ada salahnya kan?” jawabku.

“Di sini aku lebih tahu dan mengerti tentang fungsi sesuatu.”

“Di hutan ini? Apa tidak terlalu beresiko?” Aku mulai mendebatnya

Langkah Paman terhenti. Ia menghampiri sebuah pohon dan disandarkan tubuhnya di pohon itu. Lalu ia menoleh ke arahku dan berkata, “Jika ada orang tak dikenal senyum padamu dan tiba-tiba menyalamimu, kesan apa yang timbul dan kau rasakan dalam benakmu?”

“Berarti ia orang yang ramah,” jawabku.

“Jika ia tiba-tiba memotong jarimu, apa reaksi yang akan kau lakukan?”

“Jelas aku akan marah dan akan kubalas!”

Beliau tersenyum mendengar responku, lalu ia menjawab dengan tenang, “Seperti itulah, kita tinggal memilih , mau jadi orang tak dikenal yang mana.”

Mendengar jawaban itu aku merasa bingung, aneh, dan tak habis pikir kenapa masih ada orang yang berpikir bijak seperti dia di jaman seperti sekarang. Sebuah pelajaran kehidupan yang tak bisa didapat di sekolah mana pun.

Beberapa saat kemudian kami tiba di kebun. Kebun aren. Kebun ini terletak di lereng gunung yang berjarak sekitar dua kilometer dari gubuk tempat kami tinggal. Cukup luas, dan karena berada di tengah-tengah hutan sehingga cukup pula membuat bulu kuduk merinding.

Setelah beristirahat dari perjalanan sambil menyiapkan perkakas berkebun kami pun memulai pekerjaan. Tugasku yaitu memangkas rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar pohon Aren. Dan Paman sendiri menyadap nira dengan bumbung bambunya dan memotong dahan-dahan yang mengering.

Seperti itulah pekerjaan kami sehari-hari, di samping sesekali turun gunung menuju perkampungan hanya untuk menjual hasil kebun dan membeli kebutuhan.

***

Tak terasa hari mulai senja. Awan-awan yang bergulung mulai menjingga, angin puncak mulai menghempaskan kabut menuju lembah. Kami pun telah selesai dengan pekerjaan berkebun. Lalu kami beristirahat di bawah pohon untuk meregangkan otot-otot yang tadi tegang supaya kembali normal.

Saat itu lagi-lagi aku menanyakan sesuatu pada paman.

“Paman, menurutmu apa masa depan itu?”

“Masa depan adalah pijakan, bila kau mampu melewati dua pijakan dengan satu langkah maka kau berhasil.”

“Caranya?”

“Kau harus tenang dan jangan berprasangka buruk terhadapnya.”

“Apa yang bisa membuatmu tenang?” tanyaku antusias

“Jika aku bisa mengisi perutmu. Sehingga tak perlu lagi aku kuatirkan tentang perutku.”

Aku kembali bertanya dengan bertubi-tubi.

“Bagaimana dengan keinginanmu sendiri, apakah kau tak menghiraukannya, atau malah kau tak punya?”

Paman menjawab, “Jikalau bisa, aku tak ingin punya keinginan, tapi aku percaya itu takkan bernilai. Aku sudah merasa cukup bahagia menjadi perantara untuk menjaga sesuatu yang orang-orang inginkan agar tetap ada.”
“Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan nilai-nilai yang alangkah indahnya itu Paman?”

Paman memandangku lalu ia berdiri dan menjawab dengan penuh motivasi.

“Lihatlah pohon Aren itu, kau berdusta bila berkata rupa pohon itu menarik untuk matamu. Tapi lihatlah nilai darinya. Ia menghasilkan sesuatu yang manis, memberikan rasa pada kita. Membuat kita tetap kuat selama berkebun, menyegarkan kita ketika sedang dilanda dahaga. Dan lihatlah ini, pelepah ini, bisa melindungi kita dari panas dan hujan, bisa membersihkan daun-daun yang berserakan di sekitar gubuk kita. Jadi, tak usahlah kau malu akan dirimu. Kau punya nilai-nilai seperti itu yang dapat mengubah nilai-nilai hidupmu, juga memperindah hidupmu dan hidup semua.”

“Dan tahukah kau wahai Pemuda?” ujar Paman sambil memegang kedua bahuku. “Kau telah memberikan salah satunya. Kau begitu bernilai bagiku!”

by;irfan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar