Tanpa ada yang tahu mengapa, sekonyong konyong cahaya lenyap dari muka bumi. Cahaya hanya menghilang begitu saja, seperti kesedihan yang kau rasakan saat orang tuamu meninggal tapi kemudian kau menerima kabar bahwa mereka meninggalkan warisan bernilai milyaran rupiah untukmu. Kesedihanmu lenyap tak berbekas, berganti rasa gembira yang berlebihan. Cahaya pun lenyap tanpa meninggalkan jejak. Juga tak pernah memberi pesan dan pertanda. Bumi dalam sekejap berubah menjadi hamparan kegelapan tanpa batas.
Untunglah tidak semua cahaya lenyap. Meski matahari tidak lagi bersinar dan semua peralatan modern yang menghasilkan cahaya menjadi tidak berfungsi, orang-orang masih mampu membuat api. Api menjadi satu-satunya sumber cahaya. Api memberi kerlip pada siang yang menjadi malam dan malam yang menjadi bertambah hitam. Tak ada lagi semarak lampu-lampu kota, terik mentari yang menyilaukan, juga gemerlap bintang. Dunia menjadi remang-remang sepanjang waktu
Orang orang tentu saja menjadi panik. Pemerintah setiap negara mengumumkan ini sebagai keadaan darurat. Sebagian besar kegiatan usaha terhenti. Tanpa cahaya, semua kegiatan ekonomi menjadi tidak efisien. Bagaimana mau berproduksi optimal jika hanya obor yang menjadi alat penerangan? Lagipula, mau didistribusikan pakai apa produk produk mereka nanti? Alat transportasi modern sedang menuju nasibnya sebagai besi rongsokan dengan lebih cepat. Untuk mobil atau motor mungkin masih bisa sedikit dipaksakan. Obor masihlah bisa dipakai sebagai alat penerangannya, masihlah dapat digunakan berkendara meski tanpa ngebut. Kalau mau nekat ya silahkan saja, resiko toh ditanggung sendiri. Tapi apakah bisa pesawat ataupun kereta api menggunakan obor sebagai alat penerangannya?
Terhentinya kegiatan usaha menyebabkan perekonomian lumpuh. Barang barang kebutuhan menjadi sulit didapat, harga-harga melambung tinggi dan orang orang terpaksa menjadi penganggur. Untunglah ini semua terjadi dalam keremangan, jika tidak pastilah kerusuhan terjadi di mana-mana. Pemerintah setiap negara kelabakan menghadapi akibat lenyapnya cahaya. Mereka mendesak setiap ilmuwan untuk mencari jawaban dan solusi masalah ini. Cahaya tidak mungkin hilang begitu saja. Pasti ada penyebabnya. Ilmu pengetahuan sudah mengungkap banyak misteri. Lenyapnya cahaya pastilah dapat dijelaskan secara ilmiah.
Tapi sayangnya para ilmuwan tidak bisa menjelaskan fenomena ini. Mereka sibuk berdebat tanpa pernah sepakat. Putus asa, pemerintah masing-masing negara berkonsultasi kepada dukun dan paranormal yang dianggap paling sakti di negaranya masing-masing. Aneh bin ajaib. Para dukun dan paranormal tersebut semua memberikan jawaban yang sama. Mereka semua mengatakan untuk menanyakan fenomena ini kepada Mbah Mardijan, seorang dukun yang merangkap bintang iklan dan tinggal di lereng sebuah gunung bernama Murapi.
Selepas itu, di gedung PBB yang hanya diterangi beberapa obor, perwakilan pemerintah dari seluruh negara di dunia berkumpul untuk membahas fenomena lenyapnya cahaya. Mereka kemudian sepakat menugaskan pemerintah dari Negara Indonesia untuk berkonsultasi dengan Mbah Mardijan yang merupakan salah satu warga negaranya.
Pemerintah Indonesia amat bangga menerima tugas ini. Dengan segera mereka mengutus Professor Hababi, orang paling pintar di negara itu untuk menemui Mbah Mardijan. Pada malam Jumat Kliwon, berangkatlah Professor Hababi ke lereng Murapi dengan dikawal sekelompok pasukan TNI (Tentara Ngeyel Indonesia). Tentu mereka tidak lagi berkonvoi menggunakan mobil Volvo, kini mereka mesti iklhkas menjalankan tugas negara dengan naik kuda seperti zaman kerajaan dahulu.
Bukan Indonesia namanya jika tidak ribut. Keputusan pemerintah mengutus Professor Hababi menuai banyak protes. Kenapa mesti Professor Hababi yang dipilih, bukan Ki Loko Bodo? Mosok seorang professor dipilih untuk berkonsultasi dengan dukun? Apakah nanti ia mengerti bahasa perdukunan? Bagaimana jika ia salah menafsirkan omongan Mbah Mardijan? Orang-orang menganggap Professor Hababi tidak pantas mengemban tugas besar itu. Boleh-boleh saja ia mampu membikin pesawat terbang dan dianggap orang paling pintar di negri ini, tapi untuk urusan gaib, ilmunya boleh dibilang nol besar.
Ki Loko Bodo, paranormal paling gaul di negri itu, ketika diminta komentarnya, malah berkata begini sambil cengengesan,
“Ingin kaya? Punya pacar cantik? Naik jabatan? Jadi anggota dewan? Menang pemilu? Konsultasikan semua problem hidup anda pada saya. Ketik reg spasi bodo spasi pertanyaan anda, kirim ke 666. Jawaban yang anda terima adalah jawaban langsung dari saya. Bergaransi!!”
Para wartawan yang mewancarainya tentu saja dongkol. Tapi mereka hanya bisa nggerundel dalam hati, “Sialan juga ini dukun. Ditanya serius tentang masalah penting malah sibuk mengiklankan diri. Untung saja dia sakti, kalau gak dah gua sikat”. Mereka tentu saja tidak berani marah di depan Ki Loko Bodo, takut jika beliau juga marah lalu menghadiahi sekumpulan paku di dalam perut mereka. Hiii…
Orang-orang heran atas komentar yang diberikan Ki Loko Bodo. Sebagian menganggap komentarnya adalah sebuah sasmita yang perlu diterjemahkan. Menurut mereka, buat apa pula ia mesti mengiklankan diri, bukankah ia sudah terkenal dimana-mana? Lagipula, siapa yang masih tertarik mengirimkan sms dalam keremangan? Bukankah hanya bikin sakit mata?
Orang orang ini lalu sibuk menduga duga apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh paranormal itu. Sebagian yang lain menganggap Ki Loko sudah gendeng akibat terlalu banyak bergaul dengan siluman dan dedemit. Yang lainnya menganggap ia hanya cari perhatian. Ia iri dengan Professor Hababi yang dipilih menjadi utusan resmi pemerintah menemui Mbah Mardijan idolanya. Mereka riuh berkomentar.
“Beliau pasti ingin agar kita golput di pemilu tahun depan.”
“Husss.. Jangan sembarangan situ kalo ngomong. Ki Loko ingin kita mencoblos PDI, Partai Dukun Indonesia.”
“Ki Loko telah jadi pengikut dajal. Lihat saja nomor tempat kirim smsnya.”
“Ah. Paling-paling dia cuma pengen nyaingin Pinta Laura.”
“Dia kangen di-SMS tuh.”
Di Indonesia, orang orang memang senang mendebatkan hal hal remeh. Dan karena itu tidak akan membawa cerita ini kemana-mana, kita kembali saja ke Professor Hababi yang sejenak terlupakan. Professor Hababi dan rombongannya akhirnya tiba di tempat Mbah Mardijan setelah menempuh dua hari dua malam perjalanan naik kuda. Di sana, sekian banyak orang telah berkumpul. Mereka datang dari berbagai penjuru negri dengan maksud yang sama, menanyakan perihal lenyapnya cahaya.
Namun dari sekian banyak orang tersebut, tak satupun dari mereka yang telah bertemu Mbah Mardijan. Paranormal itu menolak menemui mereka semua. Beliau hanya mau bertemu dengan utusan resmi dari pemerintah pusat. Orang-orang tidak ada yang berani memaksa, takut kualat. Mereka setia menunggu. Entah menunggu apa. Mungkin menunggu Satria Piningit yang dibayangkan sekonyong konyong muncul dari langit lalu minum kopi bersama mereka
Dari kerumunan orang orang yang tampak penuh harap itu, seorang pria berblangkon tiba tiba muncul menyambut kedatangan rombongan professor Hababi. Ia berucap penuh wibawa, “Mari professor. Ikuti saya. Bapak sudah menunggu kedatangan anda.”
Singkat cerita, Profesor Hababi berhasil berkonsultasi dengan Mbah Mardijan. Ia pun segera kembali ke pusat untuk melaporkan hasil konsultasinya. Setelah bertemu Presiden, orang paling pintar di Indonesia tersebut segera menggelar konferensi pers. Beberapa saat kemudian, di Istana Negara yang temaram, puluhan wartawan dari dalam dan luar negri berkumpul untuk mendengarkan penjelasan yang ditunggu-tunggu seluruh jagat atas fenomena lenyapnya cahaya.
Profesor Hababi, dengan gaya inteleknya, mulai bersuara, ia tahu kata-katanya ditunggu semua orang, dan tentu saja ia harus membuat pidato yang mengesankan.
“Kita umat manusia, selama ini selalu merasa bisa menaklukkan alam. Dengan angkuh, kita perah alam habis habisan untuk memuaskan keinginan kita, berdalih itu semua untuk memenuhi kebutuhan hidup ataupun mensejahterakan masyarakat. Kita lupa akan kelangsungan hidup alam dan hanya berpikir tentang kelangsungan hidup kita. Kita lupa bahwa kita selalu menjadi bagian dari alam.”
Profesor Hababi menghentikan pidatonya sejenak untuk seolah-olah membetulkan letak kacamatanya.
“Sebagai satu-satunya mahluk di alam yang diberi amanat menjaga rumah bersama bernama bumi, kita telah bertindak di luar batas. Dari generasi ke generasi kita terus menerus membuat luka di tubuh bumi. Dan kini ia sekarat karena sakit yang luar biasa. Tak ada lagi obat yang bisa diberikan, tak guna lagi segala penyembuhan. Bumi tengah menanti ajal, dan kita umat manusialah yang membunuhnya perlahan lahan. Kita yang bertanggung jawab atas kematian bumi.”
Orang-orang mendengar dengan nafas tertahan. Suasana hening dan gelap terasa mencekam seperti di kuburan.
“Dan sekarang kita harus siap menerima akibat perbuatan kumulatif kita selama ini. Lenyapnya cahaya adalah pertanda ajal yang kian mendekati bumi. Cahaya adalah pancaran jiwa bumi. Lenyapnya cahaya adalah pertanda kematian bumi. Dan anda semua pasti mengerti jika kematian bumi berarti pula kematian seluruh kehidupan di dalamnya. Termasuk kehidupan manusia. Dengan kata lain ini berarti kiamat. Hari akhir telah datang di depan mata.”
Mendengar kata kiamat, orang-orang yang tadi mengatupkan mulut mulai bersuara dengan ribut. Suasana kuburan berganti menjadi seperti pasar malam. Professor Hababi mencoba menenangkan.
“Tenang saudara-saudara. Tenang. Kiamat adalah sebuah keniscayaan. Ia telah menjadi ketetapan Tuhan yang tidak dapat diubah. Sejak dahulu kita telah diberitahu bahwa hari ini akan tiba oleh nenek moyang kita. Kiamat adalah sebuah kenyataan hidup yang harus kita hadapi bersama.”
Profesor Hababi kembali seolah-olah membetulkan letak kacamatanya. Kebiasaan yang menjadi ciri khas orang-orang pintar.
“Pemerintah telah menyiapkan agenda dan kebijakan darurat untuk menghadapi kiamat dan ini membutuhkan partisipasi aktif setiap warga negara. Pemerintah telah membentuk lembaga berwenang untuk mengurus hal ini. Lembaga ini bernama Badan Urusan dan Antisipasi Kiamat yang disingkat BUAMAT. Lembaga inilah yang nantinya akan melakukan tindakan tindakan yang dirasa perlu untuk menghadapi kiamat. Tugas utama BUAMAT adalah mengumpulkan dan mendistribusikan secara merata bahan kebutuhan pokok yang tersisa untuk mencukupi kebutuhan nasional selama 6 bulan ke depan. Kenapa 6 bulan? Karena menurut prediksi para ilmuwan, manusia hanya sanggup bertahan tanpa sinar matahari selama enam bulan. Setelah itu, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang akan terjadi.”
Orang kembali ribut. Lebih berisik dari sebelumnya. Mereka berdengung seperti kawanan lebah.
“Tenaaaaaang..!!! Semuanya tenaaaaaaang!!! Suara Profesor Hababi melengking seperti hendak memecah gendang telinga setiap orang. Orang-orang terkejut dan refleks menjadi diam. Ternyata orang paling pintar di Indonesia pun bisa melolong seperti seekor serigala
“Pemerintah akan melakukan yang terbaik sebagai pengabdian terakhirnya bagi seluruh rakyat. Tapi kami minta setiap orang dapat ikut berpartisipasi. Kami butuh dukungan dari saudara saudara sebangsa dan setanah air untuk melakukan tugas terakhir kami. Kita akan menghadapi sebuah peristiwa besar yang hanya terjadi sekali dalam sejarah kehidupan manusia. Menjadi takut dan panik adalah reaksi wajar, tapi kita harus menerima kenyataan ini. Ini sudah menjadi kehendak Tuhan yang tak dapat diubah. Sudah ditetapkan sejak awal penciptaan. Gunakan waktu 6 bulan ini sebaik baiknya yang dapat anda lakukan sebagai manusia terakhir dalam peradaban. Terimakasih. Semoga Tuhan memberkati kita semua.”
Orang-orang kembali riuh. Mereka berebutan mengajukan pertanyaan. Siapa yang menyangka kiamat akan datang begitu cepat?
“Apakah BUAMAT juga akan menyediakan tempat mati massal yang nyaman untuk rakyat?” seorang wartawan dari sebuah tabloid gosip bertanya dengan lugu.
“Tidak. Mungkin BUAMAT hanya akan membagikan secara gratis kain kafan dan peti mati,” Professor Hababi menjawab pertanyaan wartawan itu dengan mimik serius.
Di lain wilayah dan zona waktu, Presiden Indonesia dan wakil wakil pemerintah dari seluruh negara kembali berkumpul di gedung PBB. Presiden Indonesia memaparkan hasil konsultasi dengan Mbah Mardijan dengan suara mencekam. Mendengar itu, tak ada orang yang tak terkejut. Mereka tidak menyangka kiamat akan terjadi di zaman ini. Mereka berusaha mempercayainya karena memang semuanya masuk akal. Tak ada kehidupan yang dapat berlangsung tanpa cahaya.
Sebuah agenda bersama pun dirumuskan. Setiap negara sepakat untuk bekerja sama total dalam menghadapi kiamat. Tak ada perdebatan, tak ada yang merasa lebih unggul, tak ada yang berusaha mengambil keuntungan. Setiap wakil pemerintah duduk bersama tanpa mewakili kepentingan suatu golongan. Mereka berbicara sebagai penduduk terakhir bumi yang akan menghadapi kematian.
Kabar mengenai kematian bumi dan datangnya hari akhir disebarkan meluas keseluruh pelosok bumi. Orang orang menanggapi berita tersebut dengan reaksi yang beragam. Kebanyakan menanggapinya dengan lebih rajin beribadah, berbuat baik dan melakukan taubat. Agama kembali menjadi primadona. Para Atheis kembali mempercayai Tuhan. Tempat tembat ibadah menjadi penuh sesak orang. Nama Tuhan kini disebut dengan penuh kesungguhan.
Yang tetap tidak beragama ataupun yang beragama tapi peduli setan dengan hari akhir, memilih untuk memuaskan hasrat mereka sepuas-puasnya. Mereka memilih berkubang dalam kenikmatan duniawi sebelum mati. Yang sebelumnya takut takut dan malu-malu mengalami seks, memilih bercinta setiap hari dengan banyak wanita atau pria. Yang sebelumnya menganut hidup sehat dan diet ketat memilih sempoyongan tiap hari dibuai nikmatnya mabuk. Tentu mabuk yang berkelas, bukan dengan menghisap lem aibon ataupun memakan jamur tahi sapi. Orang-orang memaknai datangnya kiamat dengan caranya masing masing.
Tapi peradaban terhenti di satu titik waktu. Tak ada lagi penaklukan, penciptaan, dan perjuangan untuk meraih sesuatu. Orang orang tidak lagi bekerja dan berkarya. Buat apa juga, toh sebentar lagi mereka mati. Hanya orang orang pemerintahan yang tetap sibuk. Mereka mengurus segala hal untuk menghadapi kiamat. Mereka menjaga stabilitas sosial dan keamanan tetap terjamin sampai semua orang mati. Semua orang ingin mati dengan tenang bukan?
“Mengapa api masih memberikan cahaya?”
“Mungkin alam masih berbaik hati untuk kali terakhir, masih memberi kita kesempatan untuk melihat wajah orang orang yang kita cintai.”
“Bukan, bukan karena itu. Ini adalah pertanda bahwa masih ada harapan. Kiamat ini bisa dicegah. Kita hanya harus mendapatkannya kembali cahaya yang lenyap. Aku tidak mau mati muda.”
“Bagaimana caranya?”
Entah mengapa, di setiap zaman, selalu saja ada orang yang cukup bodoh dan gila untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Beberapa pemuda yang percaya dengan harapan, yang tidak mau menelan mentah-mentah omongan pemerintah yang bersumber dari seorang dukun, berkumpul bersama untuk mencegah terjadinya kiamat. Mereka sadar ini adalah pertaruhan besar. Bisa saja mereka hanya terbuai harapan kosong. Bisa saja memang kiamat tidak dapat dicegah. Tapi mereka tidak peduli. Mereka adalah orang orang muda yang tidak mau tunduk pada kuasa takdir. Mereka menolak tidak berdaya.
“Bagaimana caranya mendapatkan kembali cahaya?”
“Waktu kita sangat sempit. Mampukah kita?”
Meski keraguan selalu membayangi, mereka selalu percaya pada harapan. Mereka berpikir sekeras-kerasnya bagaimana mendapatkan kembali cahaya yang lenyap. Setiap orang mencoba mengingat-ingat berbagai pengetahuan dan informasi yang mereka ketahui tentang cahaya.
“Aku teringat sebuah dongeng kuno tentang asal-asul cahaya. Dulu nenekku kerap menceritakannya setiap aku beranjak terlelap. Dongeng itu mengatakan jika cahaya berasal dari sebuah kotak bernama Pandora. Kotak itu tersimpan di sebuah tempat di ujung bumi dan dijaga oleh sekumpulan siluman kegelapan.”
“Apa nama tempat itu?”
“Minerva.”
“Ah. Aku tahu tempat itu. Tempat itu nyata.”
“Tapi, apakah kita bisa percaya pada dongeng?”
“Kita tidak memiliki sumber informasi lain. Aku memilih percaya pada dongeng ketimbang membusuk menanti kiamat tiba.”
“Baiklah kalau begitu. Ayo kita lakukan ! Kita tembus dan jelajah dunia ! Kita cari kotak Pandora sialan itu!!
“Bagaimana kita mencapai Minerva dalam waktu sesempit ini?”
“Pilih kuda paling binal. Pacu laju. Jangan tambatkan pada siang dan malam.” (1)
“Jika nanti bertemu siluman kegelapan, bagaimana cara kita melawannya?”
“Sudahlah. Itu bisa kita pikirkan nanti.”
Tanpa berpikir dan menimbang-nimbang lagi, berangkatlah para pemuda itu memburu cahaya. Mereka melintasi sekian banyak negeri. Menyusur ganasnya padang pasir dan rawa rawa. Mendaki gunung gunung yang curam dan lembah lembah yang terjal. Hanya berbekal obor dan IPod untuk mengusir jenuh, mereka terus memacu kuda mereka dalam kegelapan tanpa ujung sepanjang waktu. Mereka hanya beristirahat sejenak di padang savana untuk memberi makan kuda-kuda mereka. Secara aneh para pemburu cahaya ini tidak merasakan lapar dan haus. Seolah telah terkenyangkan oleh tekad dan harapan.
Di sepanjang perjalanan kehidupan terlihat begitu tenang. Orang orang hidup dengan kepasrahan bulat menghadapi kematian di pelupuk mata. Tidak ada lagi gejolak, perselisihan, dan peperangan atas nama apapun. Agama menjalani peran seharusnya. Menjadi penyejuk yang mententramkan ketakutan ketakutan dan rasa panik manusia. Bukan lagi sebagai alasan bertarung. Sungguh sebuah dunia yang damai namun membosankan bagi para pemuda ini. Tekad mereka menemukan cahaya semakin menggebu. Andaikan mereka harus mati, mereka tidak mau mati dalam kebosanan.
Setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan, sampailah para pemburu cahaya ini di Minerva. Sebuah wilayah gersang yang terletak di ujung dunia dan jarang dijamah manusia. Para pemuda ini tentu tidak mau membuang waktu, bergegas mereka mencari kotak pandora ke setiap penjuru. Di depan sebuah gua yang mulutnya begitu besar, tiba tiba saja udara menjadi begitu dingin menusuk. Dalam keremangan cahaya obor, mereka melihat sekumpulan bayangan berkelebat mengejutkan kuda kuda mereka. Para pemuda ini bersiaga penuh, mereka tahu siluman kegelapan sedang mengintai, menunggu mereka lengah.
“Waktunya tidur sayang, cerita akan Nenek lanjutkan besok malam.”
“Yah Nenek, sekarang aja. Masak pas lagi seru serunya dipotong?”
“Malam sudah larut. Besok pagi kan kamu harus sekolah.”
Si nenek mencium bocah bermata setajam mata elang itu dengan lembut, merapikan selimutnya, dan beranjak keluar kamar.
“Selamat tidur Sayang.”
Bocah bermata elang itu hanya terdiam. Ia masih penasaran dengan akhir cerita para pemburu cahaya. Ia sebal pada neneknya karena menghentikan cerita itu seenaknya. Bagaimana kemudian nasib para pemuda itu? Apakah mereka sanggup menghadapi siluman kegelapan? Apakah mereka mampu menemukan kotak Pandora dan menemukan cahaya yang lenyap? Apakah dunia akan kiamat? Ia tidak bisa memejamkan mata. Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu rasa kantuknya.
Di balik pesona dongeng neneknya, ada satu hal yang membuat bocah itu heran. Mengapa dunia yang akan kiamat hanya ditandai dengan kegelapan? Bukankah itu hal biasa dan tidak menakutkan? Ia selalu membayangkan jika kiamat datang maka dunia akan berubah menjadi tempat mengerikan. Gunung gunung ambruk, angin besar datang menerbangkan isi dunia seperti kapas dan bumi berguncang hebat membuat semua bangunan rata dengan tanah. Bukankah itu yang dikatakan kitab suci?
Tidak seperti kanak kanak lain, bocah itu tidak pernah takut dengan kegelapan yang pekat. Ia hidup di desa yang belum dijangkau listrik dan dipenuhi pohon-pohon lebat berusia ratusan tahun. Meski siang hari, desa itu tidak pernah benar-benar terang benderang. Cahaya selalu ditelan rimbunnya pepohonan dan terhalang dinding batu bukit dan gunung gunung. Semua penduduk desa terbiasa melihat dalam keremangan cahaya, membuat mata mereka setajam mata elang seperti mata bocah itu.
Lelah oleh rasa penasaran dan pertanyaan-pertanyaan, bocah itu akhirnya terlelap. Dalam pulasnya ia bermimpi menjadi pemburu cahaya yang menaklukkan keganasan siluman kegelapan. Ia tersenyum dalam pulasnya. Di lain tempat, berjarak hanya puluhan kilometer dari situ, di sebuah rumah megah di pinggiran kota, seorang anak terbangun dari tidurnya dan menangis. Ia menangis karena takut akan gelap. Listrik di rumah itu tiba tiba saja mati dan membuat seisi rumah menjadi gulita. Ibunya datang tergopoh gopoh mendengar suara tangisannya
“Cup..cup… Ibu di sini, Sayang. Ibu di sini.”
by;gautama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar