Saat pertama kali aku bilang aku hamil, kami berdua nyaris terbunuh. Mobil yang kami tumpangi menabrak tembok pembatas rumah dan menghamburkan serpihan tembok ke udara.
Dia bilang aku harus cepat keluar dari sini sebelum orang lain datang menghampiri kami. Sambil melepas sabuk pengaman milikku, dia mengusap darah yang mengalir dari luka di keningku dengan sweaternya. Buang sweater itu nanti, jangan disimpan. Pergi, sekarang. Jika itu bukan cinta, aku tidak tahu lagi apa artinya cinta.
Pada pertemuan pertama, kami semua duduk membentuk lingkaran dan saling memperkenalkan diri. Namaku Andi. Namaku Linda. Jeffry. Meta. Dini.
Fasilitator kami mengenakan kemeja putih dengan celana hitam. Dia memperkenalkan diri sebagai Guruh. Dia bekas pecandu, dan dia bilang dia sudah bersih selama lima tahun. Guruh bilang ada dua belas langkah proses penyembuhan dari kecanduan.
Namaku Bunga dan itu bukan namaku sebenarnya. Aku seorang pecandu.
Langkah pertama adalah mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali.
Namanya Frans, dia menikah, dan dia bilang dia tidak akan pernah meninggalkan istrinya demi aku. Frans bukan nama sesungguhnya. Kami bertemu setiap ada kesempatan, saling memanggil sayang saat kami berciuman, dan menjadi orang asing saat kami mengenakan pakaian. Panggil aku pelacur, aku tidak peduli.
Langkah kedua adalah tiba pada keyakinan bahwa ada Kekuatan yang Lebih Besar daripada diri kita sendiri yang mampu mengembalikan kita pada kewarasan.
Grup kecil kami dinamai Hari yang Baru. Kami berkumpul setiap hari Selasa dan Kamis jam tujuh malam. Sebelas dari dua belas orang di sini sudah pernah kecanduan obat, kecuali aku.
Sebelum memulai pertemuan kami berdoa sambil berpegangan tangan.
Tuhan, berikanlah kami kekuatan untuk dapat mengubah apa yang bisa kami ubah, kepasrahan untuk bisa menerima apa yang tidak bisa kami ubah, dan kebijaksanaan untuk bisa membedakan keduanya.
Kemudian semuanya duduk dan Guruh bertanya, siapa yang hendak mulai bercerita. Frans adalah seluruh ceritaku. Dia adiksiku. Dia ganja, kokain dan heroin.
Di langkah ketiga kita harus membuat keputusan untuk mengalihkan niatan dan kehidupan kita pada kasih Tuhan sebagaimana kita memahamiNya.
Sambil memegang sweater untuk menutupi lukaku, aku membuka pintu mobil dan terhuyung-huyung keluar. Aku merasa tulang rusukku patah, tapi aku terus berjalan dan tidak sekalipun menoleh ke belakang. Sekilas teringat cerita Frans mengenai Adam dan Hawa. Bagaimana Tuhan hendak menciptakan Hawa yang sempurna bagi Adam dengan sebuah tangan dan kaki Adam sebagai alat tukarnya.
Adam menjawab apa yang bisa Kau buat dengan sebuah tulang rusuk?
Langkah keempat, membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh seluruh dan tanpa rasa gentar.
Malam terasa panas, tetapi aku yakin itu hanya ada dalam pikiranku. Masih tercium parfum kesukaannya di udara.
Setelah lama berjalan, aku berhenti. Jantungku berdetak cepat. Hampir bisa kudengar jantung lain berdetak di perutku. DEG DEG dig. DEG DEG dig. Delapan minggu umurnya. Otaknya mungkin belum tahu arti perselingkuhan, tapi kurasa dia sudah tahu arti kata cinta. Dari petunjuk di test pack yang kugunakan aku tahu kalau dua garis artinya positif.
Aku datang ke dokter kandungan dan dia meletakkan gel di atas perutku dan mulai memindai. Tidak sekali pun dia bertanya siapa bapaknya. Membuatku bertanya sendiri berapa jumlah kasus kehamilan di luar nikah di kota ini. Seribu? Dua ribu?
Di dalam diriku tumbuh sesuatu yang murni, katanya. Bayangkan dia seperti tanah liat yang bisa kau bentuk. Artis. Penemu. Penulis. Badut. Semua terserah kamu. Yang bergerak di layar abu-abu itu, adalah kamu dengan versi yang lebih kecil.
Langkah kelima mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri, serta kepada seorang manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita.
Bau sweater itu semakin memabukkanku, jadi aku buang saja di saluran pembuangan seperti yang dia minta. Sesampainya di halte kosong, aku bertanya kepada bayiku apakah dia baik-baik saja, tetapi dia tidak menjawab.
Semua orang di grup itu berlomba-lomba menceritakan masalah mereka. Tentang ayah mereka. Tentang ibu mereka. Tentang anak mereka. Bagikan dirimu sepenuhnya. Aku diam, sampai Guruh akhirnya memandang ke arahku.
Mereka mendengarkan cerita tentang Frans dan Elisa. Bagaimana mereka bertemu pertama kali, bagaimana mereka menikah, saat Elisa mengandung anak pertama mereka, ketika Frans menjadi atasanku, dan saat dia mencopot cincin kawinnya di atas lemari kecil di samping tempat tidur sebelum membelai bibirku dengan jari manisnya. Seluruh hubunganku bersama Frans adalah kebohongan di atas kebohongan di atas kebohongan. Agar mereka berpikir aku sama dengan para pendengar kisahku, aku bercerita bagaimana Frans menawari aku ganja saat kami sedang bersama. Lalu aku sadar bahwa mereka tidak mendengarkanku sama sekali. Semua terlalu sibuk memeluk dan melindungi diri sendiri. Tidak mengapa, aku mengerti.
Langkah keenam berarti siap secara penuh agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter kita.
Taksi yang membawa aku kembali ke apartemen berjalan lambat. Angka digital argo bergerak cepat melintasi malam. Sebentar lagi aku akan sampai apartemen yang disewakan Frans, tidur di kasur tempat kami berdua bercinta, dan mencoba menghapus semua yang terjadi hari ini.
Tulang rusukku merintih minta perhatian namun pikiranku kembali melayang kepada Frans. Dia pernah bilang akan memberikan sebuah tangan dan kaki kepada Tuhan agar dia menciptakan pendamping hidupnya yang sempurna. Mungkin itu sebabnya dia tidak pernah puas dengan Elisa, atau aku. Kami diciptakan dari tulang rusuknya, padahal dia sudah rela kehilangan kaki dan tangan.
Langkah ketujuh, dengan rendah hati memintaNya untuk menyingkirkan kelemahan-kelemahan kita.
Pernah aku mengawasi rumah Frans dari dalam mobil. Aku melihat Elisa keluar dengan perutnya yang sudah mulai membesar. Elisa adalah aku dalam versi yang lebih lembut. Apa kekuranganku dibanding dia, Frans? Apakah wajahku terlalu sendu? Atau karena aku tidak pernah mau memasak untukmu? Apakah hanya karena dia sedang mengandung anakmu?
Malam harinya saat kami bertemu di apartemenku, aku menjebaknya agar aku hamil.
Langkah kedelapan membuat daftar orang yang kita sakiti, dan bertekad untuk berdamai dengan mereka.
Langkah kesembilan berdamai dengan orang tersebut jika memungkinkan, kecuali bila kita melakukan ini justru akan melukai mereka atau yang lainnya.
Kucatat nomer Elisa yang kudapat dari telepon genggam Frans dan kutelepon esok harinya.
Hallo.
Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, jeritku tanpa suara.
Hallo, siapa ini?
Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, jeritku sekali lagi.
Hallo.
Maafkan aku, maafkan aku ,maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku.
Hallo?
Aku menaruh gagang telepon.
Kamu bisa mencabut paku dari sepotong kayu, tapi lubang itu masih ada di sana. Terbuka dan menganga. Mungkin seperti itulah hubunganku dengan Frans. Dia menyakiti aku setiap kali dia datang ke tempat tidurku, dan sebagai balasannya aku menyakiti Elisa.
Langkah kesepuluh, melakukan inventaris pribadi kita secara terus-menerus dan bilamana kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita.
Di pertemuan hari Selasa, aku menceritakan kepada grup kecilku kalau aku hamil. Guruh merasa simpati kepadaku, tetapi yang lain menatapku dengan pandangan iri. Malam ini, akulah yang akan jadi pusat perhatian. Sambil menangis, aku menceritakan bagaimana aku mencoba memberitahu bapaknya. Akan tetapi, dia mengabaikanku. Dia bilang dia tidak ingin berurusan lagi denganku. Aku memaksa dia bertanggung jawab, tetapi dia malahan memukuli aku.
Aku tunjukkan bekas jahitan di keningku, dan memar yang masih membekas di dekat tulang rusukku sambil terus menangis. Guruh yang pertama kali memeluk aku. Kemudian, satu per satu memelukku bergantian. Kadang mereka berbisik di telingaku,
Kamu harus selalu kuat.
Dasar pelacur.
Semua akan baik-baik saja.
Langkah kesebelas melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui niatan Tuhan atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya.
Tujuh bulan umurnya. Frans tidak pernah meneleponku. Aku juga tidak pernah datang ke pertemuan grup itu lagi. Aku membeli persediaan makanan selama dua bulan dan tidak keluar dari apartemen sama sekali.
Telepon berdering. Aku mengangkatnya tanpa tergesa-gesa.
Halo?
Terdengar suara nafas di telingaku.
Halo?
Aku mendengar suara tangis yang tertahan, tapi mungkin itu ada dalam pikiranku saja.
Halo, Elisa?
Telepon pun terputus.
Aku tidak tahu kenapa aku menyebutkan nama Elisa dan bukan Frans. Sama seperti aku tidak tahu, apakah Frans selamat dari kecelakaan itu.
Langkah terakhir adalah membawa pesan ini kepada para pecandu lainnya setelah memperoleh pencerahan sebagai akibat dari langkah-langkah ini, dan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam semua urusan keseharian kita.
Namanya Nila dan itulah nama sebenarnya. Dia lahir hari Jumat tanggal dua puluh dua September pukul tujuh belas lima belas. Beratnya tiga koma empat kilogram. Dia mempunyai mata seperti ibunya, dan senyum seperti ayahnya. Ada tanda lahir di dada kirinya, seperti sebuah bekas luka.
Saat aku mengajak Nila berjalan-jalan ke taman, aku bertemu Guruh. Dia menanyakan kabarku dan aku jawab bahwa aku baik-baik saja. Aku membiarkan dia menggendong Nila sebentar sambil menanyakan kabar orang-orang lain di grup kami. Dia bilang kalau Jeffry pulang ke rumah orang tuanya di Gresik, Rusdi ditemukan tewas karena overdosis dua minggu lalu, dan Dini bertunangan dengan seorang pengusaha akhir minggu kemarin.
Guruh menyebutkan nama pengusaha tersebut, dan aku sedikit terkejut karena itu adalah nama asli Frans, tetapi mungkin saja itu orang lain karena banyak orang yang sama namanya.
by;akokow
Tidak ada komentar:
Posting Komentar