Kamis, 30 September 2010

dewi

Namanya Dewi. Suaranya enak didengar, enak pula diajak ngobrol. Ngobrol apa saja, mulai dari masalah pekerjaan, curhatan cinta, hingga makanan kesukaan. Dewi mengaku anak SMA yang sering merasa bosan dengan hari-harinya. Nada bicaranya lemah lembut, terkadang aku ajak mengobrol nyerempet-nyerempet ke arah yang bersifat pribadi, Dewi tidak pernah marah. Malah, ia merasa senang karena memperoleh seorang teman yang sangat peduli padanya, seperti diriku.

Perkenalan kami dimulai ketika aku memencet-mencet nomor sembarangan dan untuk yang kesekian kalinya itu, ada cewek dengan suara lembut menjawab dengan santunnya. Mendengar suaranya saja, angan-anganku langsung terbang tinggi dengan khayalan selangit tentang sosok bidadari yang kuimpikan. Aku meminta maaf dengan suara yang berwibawa bahwa ternyata aku telah salah menghubungi nomor yang kukira adalah nomor temanku (anehnya, nama teman yang semula hendak kuhubungi dan ternyata malah terhubung padanya, jujur, nama itu baru terpikir olehku saat aku telah bicara dengannya).
“Maaf, telah menganggu,” lanjutku setelah beralasan salah sambung atau keliru memencet nomor.
“Akh, nggak apa-apa, namanya juga manusia, tempatnya salah.” Ternyata jawabannya ramah juga.

Perbincangan itu terus berlanjut kepertanyaan-pertanyaan lain yang memberiku gambaran sosok yang berbicara denganku itu. Ia pun kini mengetahui siapa sosok diriku. Pemuda 22 tahun lebih 7 bulan, berkulit hitam manis, berambut lurus, berkumis tipis, bertubuh atletis, berat badan 170 cm, tinggi 60 kg, dengan pekerjaan guru SD. Saking percaya dirinya, aku bahkan tidak menyadari telah keliru menyebut berat badanku dengan centimeter, tinggi dengan kilogram. Toh semua itu tak terlalu dihiraukannya. Orang yang sedang terlena terkadang tidak menyadari hal sekecil itu.
Tiada hari tanpa kehadiran Dewi, kehadiran dalam arti tidak sebenarnya, hanya suaranya saja. Aku percaya dengan apa yang dikatakannya. Kali ini, aku sempat curhat tentang obsesiku, menjadi penulis cerita. Ia sangat mendukung obsesiku, bahkan ia berkata, jika suatu hari novelku terbit, ia yang pertama kali meminta aku untuk menandatangani novel karyaku itu. Katanya, ia telah memiliki novel Ketika Cinta Bertasbih 2, plus tandatangan asli penulisnya, Habiburrahman El Shirazy, setelah rela antri dua jam untuk memperolehnya.

Dewi bercerita tentang mantan pacarnya yang telah mengkhianatinya, menduakan dirinya dengan memiliki pacar lain, atau dalam arti kerennya, selingkuh. Ia benar-benar merasa terpukul karena merasa telah mencurahkan seluruh kasih sayangnya terhadap cowok itu. Ia berkata, semua cowok memang suka semaunya sendiri. Meski dalam hati, aku merasa sangat tersinggung karena aku pun cowok dan tidak masuk dalam kategori itu.

Malam hari menjelang tidur, aku tidak pernah lupa mengucapkan selamat tidur padanya. Dengan embel-embel semoga mimpi indah tentang diriku. Pagi harinya, ia yang tidak pernah absen membangunkanku untuk mengucapkan selamat pagi dan menyemangatiku untuk memulai hari ini dengan penuh semangat. Seandainya ia ada di sampingku, mungkin ia juga yang menyuapiku sarapan pagi.
Suasana di kelas seperti biasa, selalu ramai dengan berbagai macam tingkah anak-anak. Ada yang menangis karena ini-lah, ada yang bertengkar karena itu-lah, semua itu merupakan menu sehari-hari yang sudah biasa dan sepantasnyalah menghadapinya dengan biasa pula.
Handphoneku bergetar. Sebuah SMS diterima, dari Dewi. Kubuka dan kubaca.

Selamat siang pak guru, lagi sibuk nih!

Selamat siang Dewi, kamu sedang apa? Aku sih seperti biasa, masih mengajar di sekolah

Di rumah aja tuh, rasanya males ke luar rumah

Apa kamu nggak sekolah?

Nggak!

Setelah jawaban itu, tak ada lagi SMSnya. Aku berdiri dari kursi dudukku di kelas.
“Sudah selesai anak-anak?” aku bertanya tentang pekerjaan mereka mengisi soal matematika itu.

“Sudah,” sebagian menjawab.

“Saya belum selesai, Pak Guru,” sebagian lagi menjawab.
“Kalau begitu, coba yang sudah selesai maju ke depan. Mengerjakan di depan kelas.”

Aku menunjuk seorang siswa mengerjakan di papan tulis, tentu siswa yang kuduga mampu menjawabnya. Kalau menyuruh siswa yang telat mikir, ditunggu sampai menangis pun, tak pernah benar dia mengerjakan. Padahal hari makin siang, kasihan orang tua mereka yang telah menunggu di rumah.

Setiba di rumah, aku mencoba menghubungi Dewi tapi nomornya tidak aktif. Aku cemas. Tadi dia sms bahwa hari ini dia di rumah saja, tidak sekolah. Mengapa dia hari ini tidak sekolah? Apa dia sakit? Terus, kalau dia sakit sudah diobati belum? Siapa yang mengantarkannya ke dokter? Akh, aku terlalu khawatir.
Semakin aku mencoba, semakin sia-sia. Tak ada tanda-tanda bahwa panggilanku masuk ke HP-nya.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.” Hanya jawaban itu yang kudapatkan.
Sejak saat itu, aku tak pernah lagi berhubungan dengan Dewi. Hubungan kami sepertinya terputus begitu saja. Seandainya aku benar-benar telah menjadi pacar Dewi, aku akan meminta jawabannya dengan tegas, mengapa memutuskanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Apa salahku?
Semakin aku pusing memikirkannya, maka gambaran tentang dirinya yang tidak aku inginkan muncul ke permukaan. Dugaan-dugaan yang kutakutkan selama ini makin terbersit jelas, dengan segala alasan yang juga jelas. Bisa saja Dewi itu bukan anak SMA, bisa saja dia wanita biasa yang kurang kerjaan yang rela-relanya menghabiskan waktu meladeni pria kesepian sepertiku. Atau Dewi juga adalah wanita kesepian yang sedang ditinggal pergi suaminya melaut, dan baru pulang setelah beberapa bulan. Atau Dewi wanita yang suka melayani pria hidung belang. Atau Dewi yang bermacam dugaan buruk yang sama sekali tak sesuai dengan imajinasiku. Dewi dengan paras cantik, kulit mulus, rambut lurus, dengan senyum manis di bibirnya.
Astaghfirullahal ‘adzim, aku beristighfar karena telah bersuudzon (berprasangka buruk) pada Dewi. Kembali aku mengingat bagaimana pertemuanku dengan Dewi yang tidak sengaja itu, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Terus, topik perbincanganku dengan Dewi yang diluar batas kewajaran. Padahal, aku sama sekali tidak mengenal Dewi secara nyata. Dia hanya pelepas sepiku yang hadir dibumbui imaji yang kubuat sendiri. Tak bisa aku menyalahkan Dewi, semua kejadian yang menimpaku adalah salahku sendiri. Apa benar, semua lelaki memang suka semaunya sendiri, seperti yang suka dikatakan Dewi, kini sepertinya aku sedikit membenarkannya.
Aku tersadar dari lamunanku, saat suara lembut Ibu membangunkanku untuk segera mandi dan menunaikan sholat Ashar dulu. Hari hampir petang.
Malam itu, aku berbincang dengan Ibu.
“Nak, umur kamu sudah tidak muda lagi. Tak adakah keinginanmu untuk segera membangun rumah tangga. Ibu akan menerima siapapun calon yang kau ajukan pada Ibu,” Ibu membuka pembicaraan langsung pada topik utama.
“Ibu mempunyai kerabat yang memiliki seorang anak gadis, usianya sekitar 35 tahun, lebih tua satu tahun darimu?” Ibu langsung pada intisari berita.
“Besok siang, aku mengajakmu bertemu dengannya.” Laporan utama langsung dari lapangan, untuk mengetahui dengan pasti kepastian berita agar tidak ada lagi keraguan.
Pada kesempatan ini, aku memberikan pengakuan dengan jujur, khususnya kepada Dewi. Aku bukan pemuda 22 tahun lebih 7 bulan, berkulit hitam manis, berambut lurus, berkumis tipis, bertubuh atletis, berat badan 60 kg, tinggi 170 cm. Aku bujang 33 tahun lebih 7 bulan, berkulit gelap, berambut keriting, berperut buncit, berat badan 70 kg, tinggi 150 cm. Dengan beredarnya pengakuan ini, aku rasa terhapus sudah rasa bersalahku pada Dewi, terlepas dari siapa Dewi sebenarnya, aku sudah tak lagi peduli.

Dewi, terima kasih karena kau pernah mengisi hari-hariku, memberikan motivasi padaku. Maafkan aku karena telah membohongimu. Dewi, hadapilah hidup ini dengan kenyataan. Terimalah dirimu dengan apa adanya. Lakukakan apa yang bisa kamu lakukan, berkaryalah selama kamu mampu.

by;dedeawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar