Senin, 06 September 2010

sang penyair dan kucing garong

Seorang penyair berjalan gontai masuk ke dalam sebuah warung kopi. Bapak penjaga warung menyapanya dengan ramah, ” Kopi kental pahit seperti biasa, Tuan Penyair?”

Sang penyair hanya menyunggingkan senyum tipis dan duduk di bangku panjang menghadap rak kaca warung kopi itu. Seperti biasa, harum gorengan dalam rak menyusup keluar dan mengelus-elus indera penciumannya. Dengan begitu, perutnya langsung bereaksi memohon untuk diisi. Tangannya langsung menjulur mengambil sebuah gorengan dari dalam rak. Sambil mengunyah, dia berbasa-basi.

“Sedang sepi ya?” tanya sang penyair sambil mengedarkan pandangannya tiga ratus enam puluh derajat dan tidak melihat makhluk bernyawa lainnya.

“Begitulah,” jawab bapak pemilik warung. ” Nampaknya sekarang orang-orang mulai malas jajan. Mungkin keadaan ekonomi yang carut-marut ini penyebabnya,” tambahnya sambil mengaduk kopi. Begitulah orang Indonesia, selalu menyalahkan orang lain atas kesialan yang menimpanya.

” Ternyata sama saja ya,” kata penyair. Bapak pemilik warung spontan menoleh ke arah Penyair, penasaran akan kata-kata selanjutnya. “Ya, sama saja dengan keadaanku,” kata Penyair sambil tersenyum sedikit sinis. Ada kilat kebencian pada mata sang penyair.

” Sama apanya? Warungmu juga sepi? Tapi bukannya kau tak punya warung?” tanya bapak pemilik warung. Kebingungannya bisa dipahami karena kata-kata sang penyair penuh teka-teki.

“Bukan begitu,” jawabnya, ” ini bukan soal warung. Ini soal kemerosotan akal, soal seni dan sastra yang sudah tak berarti. Jadi, tidak hanya ekonomi yang carut-marut,” katanya sambil memandang sesuatu di hadapannya.

Pemilik warung hanya mengerutkan dahinya, tak mengerti apa yang dikatakan penyair. Mungkin orang ini sudah gila, mungkin karena penyair ini tak laku, aku sendiri sangsi kalau dia ini penyair, begitu pikirnya. Sambil membawa kopi panas ke hadapan penyair, bapak pemilik warung memberanikan diri bertanya, “Saya belum pernah mendengar tentang karya Tuan Penyair. Tuan Penyair bisa…”

Belum selesai pemilik warung berkata, sang penyair memotongnya, ” Ini dia, salah satu contoh kurang meratanyanya pendidikan. Orang-orang hanya mau mencerna yang ringan-ringan saja. Sudah cukup berpikir untuk biaya hidup, kata mereka. Sudah cukup menderita, sekarang hanya mau mendapat hiburan ringan sekedar melepas lelah. Apa itu? Mereka telah dijejali mimpi-mimpi kualitas rendah oleh orang-orang berpendidikan dan meraup keuntungan dari ketakjuban orang-orang susah itu,” sang penyair berkoar-koar sambil menatap layar televisi empat belas inci milik pemilik warung yang sedang memutar sinetron.

Pemilik warung tersentak, dia kira sang penyair memarahinya. Ternyata, penyair hanya kesal dengan tayangan televisi yang ada di depannya. Karena itulah, pemilik warung makin yakin kalau penyair tak laku yang duduk di hadapannya ini sudah tidak waras, karena memaki-maki televisi seperti itu.

Sang penyair menyuruh pemilik warung untuk mengganti salurannya segera. Namun, pemilik warung hanya memberikan remote control-nya kepada penyair.

“Ini, daripada kau kesal lagi, lebih baik kau ganti sendiri salurannya,” kata pemilik warung. Kini, dia juga ikut kesal karena penyair karatan itu telah berani memaki televisinya yang berharga.

Ternyata, keputusan pemilik warung untuk menyerahkan remote control kepada penyair adalah salah besar karena makin sering dia mengganti saluran, makin sering dia memaki. Puncaknya, dia mematikan televisi itu dan kembali berkoar-koar.

“Kau tahu? Acara-acara sampah seperti itu meracuni intelejensiaku,” katanya sambil menunjuk televisi yang sudah dimatikan. “Hal-hal seperti itulah yang membodohi masyarakat, membuat masyarakat malas berpikir. Seringkali manusia-manusia itu berkata bahwa mereka mencari hiburan ringan karena mereka ingin melupakan sejenak pikiran-pikiran yang menyesaki rongga kepala mereka. Tapi itu salah, mereka hanya malas berpikir. Sekali lagi MALAS! Bukan tidak mau. Karya-karya dari pemikir seperti aku hanya dianggap seperti karya tingkat tinggi yang tidak bisa dimengerti dan hanya pantas dimuseumkan.” Kali ini penyair sudah keterlaluan.

Hampir saja pemilik warung akan mengusirnya, terdengar suara menderu dari sebuah truk yang kemudian mesinnya dimatikan. Sejurus kemudian, seorang supir truk masuk sambil bernyanyi ringan. Penyair yang menyadari suara sumbang supir truk itu langsung bertanya, “Apa yang kau nyanyikan itu?” Lirik lagu yang dinyanyikan supir truk itu membuat telinganya gatal.

“Oh, halo!” jawabnya riang. “Kau tak tahu lagu ini? Ini lagu terkenal, judulnya ‘Kucing Garong’. Kau hidup di mana sampai tak tahu lagu ini, heh?” katanya sambil duduk di sebelah penyair. Bau keringatnya yang menyengat membuat penyair menggeser duduknya beberapa jengkal.

Kucing garong, judul apa itu. Sang penyair mengerutu dalam hati. Jadi, menurutnya sekarang ini pembodohan masyarakat sudah merambah lagu-lagu. Saat itu pula sang penyair mulai merasa malu terhadap lagu-lagu perjuangan dan nasionalisme masa lalu yang penuh makna. Sang penyair sudah mulai lelah dengan hantaman pembodohan bertubi-tubi ini. Bisa-bisa dia ikut tertular dan menyanyi lagu kucing garong atau menonton sinetron mutu rendah yang tokoh utamanya akan disiksa habis-habisan dan akan menangis sampai banjir.

Akhirnya sang penyair beranjak dari duduknya dan memberikan empat lembar ribuan untuk membayar gorengan dan kopi kental pahitnya. Dia sudah muak dan keluar dari warung dengan muka masam.

“Kenapa mukanya masam seperti itu? Sepertinya dia marah aku menyanyi kucing garong,” tanya supir truk. Pemilik warung hanya mengangkat bahu.

“Dia memang marah-marah sejak tadi. Dia tadi berkata soal racun, sampah, dan mimpi. Entah apa maksudnya.” Supir truk hanya manggut-manggut.

Supir truk menyalakan televisi. Kebetulan lagu ‘Kucing Garong’ sedang diputar dan supir truk langsung membesarkan volume televisinya karena lagu kesukaannya sedang diputar.

Dari kejauhan, sang penyair mendengar lagu ‘Kucing Garong’. Mukanya makin cemberut.

by;loki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar