Senin, 06 September 2010

menanti tamu lebaran

Coba kamu lihat kakekmu dari tadi duduk di ruang tamu! Ajaklah kakekmu, Sayang, makan kue bersama kita di sini!” perintah Bu Hari kepada Erni dengan lembut.

“Baik Nek,” Erni pun mengiyakan perintah neneknya itu.

Didekatinya seorang lelaki tua yang sedang memandangi pintu pagar rumah mereka.

“Kek! Ayo kita makan kue bersama dengan Nenek!” pinta Erni kepada Kakek dengan ramah.

“Ayo! Siapa takut?” tantang kakeknya dengan bercanda dan mereka pun menuju ke arah Bu Hari yang sedang makan kue buatan beliau sendiri.

“Sini Kek, kita makan kue bersama!” kata Bu Hari kepada suami tercintanya itu.

Kakek Erni itu pun makan bersama istri dan cucu beliau. Mereka terlihat sangat akrab di hari kemenangan yang suci tahun ini. Sesekali Bu Hari membuat Erni tertawa karena cerita beliau yang lucu. Kakek Erni pun ikut tertawa kecil melihat cucu beliau yang bahagia mendengarkan cerita dari bibir istri beliau yang berparas cantik itu.

***

Kakek Erni biasa disapa dengan Pak Bakran oleh masyarakat di sekitar rumah mereka. Nama lengkap beliau cukup panjang, yakni Muhammad Bakran Husaini Shaleh. Beliau dahulu menjabat sebagai camat dan kini beliau sudah pensiun. Sejak pulang dari masjid melaksanakan salat Idul Fitri dan bermaaf-maafan dengan jamaah lainnya di sana, beliau duduk sendiri di ruang tamu rumah beliau.

“Ada apa dengan lebaran tahun ini? Lebaran yang sedang kuhadapi kali ini sungguh membuat hatiku sedih. Mereka belum juga ada yang menyambangi rumahku ini. Sudah terasa panas pantatku menunggu mereka.” Pak Bakran berkata dalam hati beliau dengan raut muka yang sedih.

Dahulu saat beliau masih menjabat sebagai camat, banyak bawahan beliau yang bertamu dan dan meminta maaf di ruang tamu rumah beliau. Seakan hanya bawahan beliau yang mempunyai kesalahan kepada beliau. Entah apa niat mereka itu sebenarnya juga tidak pernah dipikirkan oleh Pak Bakran. Pemandangan ini sering terjadi di negara kita. Tidak sedikit bawahan dari pejabat di sebuah instansi yang mendatangi pejabat mereka saat hari lebaran. Namun, jarang sekali atau hampir tidak ada pejabat yang menyambangi rumah bawahannya saat hari kemenangan yang fitri itu tiba.

Beberapa tahun sebelumnya memang secara berturut-turut lebih kurang setengah jam setelah salat Idul Fitri sudah ada bawahan beliau yang datang di rumah beliau. Mereka biasanya datang dengan membawa bingkisan dengan beragam isi. Pak Bakran selalu menerima bingkisan mereka tanpa berprasangka buruk terhadap hal itu. Akan tetapi, hari ini berbeda daripada tahun-tahun sebelumnya. Sudah dua jam beliau menanti kedatangan mantan bawahan-bawahan beliau, tetapi belum ada juga mereka datang menyambangi rumah beliau.

“Pak Udin, Pak Dayat, Bu Mira, ada di mana kalian saat ini? Aku mengharapkan kehadiran kalian di sini. Apa kalian sudah melupakanku? Aku memang sudah pensiun dan bukan siapa-siapa lagi bagi kalian. Astagfirullah! Ya Allah ampuni aku yang sudah berprasangka buruk kepada meraka!” ucap Pak Bakran dalam hati beliau yang sedang sedih dan kecewa.

“Kek, mengapa melamun?” tanya istri beliau. “Pada hari kemenangan yang bahagia ini sebaiknya Kakek jangan melamun!” tambah istri beliau.

Belum lagi Pak Bakran bicara, Erni bertanya, “Kakek tadi melamunkan apa?”

“Ah Kakek tidak melamun. Tadi Kakek hanya berpikir, mengapa lebaran kali ini belum ada satu pun mantan anak buah Kakek datang bertamu di rumah kita,” jawab Pak Bakran kepada istri dan cucu beliau.

“Mungkin mereka sedang sakit perut Kek,” kata Erni sambil tertawa kecil.

“Kata Erni ada benarnya Kek. Mungkin di antara mereka ada yang sedang sakit. Sebagiannya lagi mungkin ada kesibukan lain,” Bu Hari mencoba menenangkan hati suaminya agar suami tercintanya terhindar dari prasangka buruk.

Pak Bakran sedikit tenang dan beliau pun melanjutkan makan kue bersama istri dan cucu beliau di ruang santai sambil menonton acara televisi.

***

Setelah waktu salat Juhur berlalu satu jam, Pak Bakran kedatangan tamu dari tempat yang jauh. Pak Zaki sekeluarga sengaja datang dari tempat yang jauhnya 30 kilometer hanya untuk bermaaf-maafan dengan pak Bakran. Keduanya adalah kakak beradik. Pak Bakran merupakan kakak kandung Pak Zaki.

“Assalamu’alaikum!” sapa Pak Zaki saat berada di depan pintu rumah Pak Bakran.

“Wa’alaikumussalam!” sahut Pak Bakran dari dalam rumah. “Ayo semuanya masuk ke sini!” pinta Pak Bakran.

“Sudah berapa tamu yang telah datang di rumah ini Kak?” tanya Pak Zaki kepada kakak kandungnya.

“Kamu mungkin terkejut jika kuberi tahu jumlah tamu yang sudah datang di sini hari ini,” kata Pak Bakran. “Jumlah tamu lebaran hari ini jauh berbeda dengan jumlah tamu saat hari lebaran tahun-tahun sebelumnya,” tambah Pak Bakran.

“Tambah banyak ya Kek, jumlah tamunya?” tanya cucu Pak Zaki yang bernama Rumi.

Pak Bakran menghela nafas sejenak mendengar pertanyaan cucu saudaranya itu.

“Tidak bertambah banyak, Sayang, tetapi baru kalian yang datang,” ucap Pak Bakran dengan nada sedih.

“Sudah kuduga seperti itu. Dugaanku berdasarkan fakta yang sudah terjadi. Sudah menjadi kenyataan pejabat didatangi dan diberi bingkisan oleh para bawahannya saat ia masih memiliki jabatan itu. Akan tetapi, sebaliknya, ia tidak akan dikunjungi apalagi diberi bingkisan oleh seluruh mantan bawahannya saat ia sudah pensiun atau turun jabatan. Kalau pun ada, hanya satu atau dua orang yang masih mau melakukannya secara ikhlas,” Pak Zaki mengungkapkan unek-uneknya kepada Pak Bakran.

“Sabar ya Kek!” kata Bu Hari menenangkan hati suami beliau.

Pak Bakran pun bertambah kecewa dan sedih karena kata-kata adik beliau memang ada benarnya dan baru saja beliau alami keadaan seperti itu. Prasangka buruk beliau pun semakin menjadi kuat terhadap para mantan bawahan beliau.

***

“Inikah balasan dari orang-orang yang dulu pernah mendapatkan kebaikan dariku kepadaku ya Allah? Dahulu aku begitu dihormati dan disanjung oleh setiap bawahanku. Kini, mereka sudah menampakkan wajah asli mereka kepadaku. Biarlah, hari ini aku berprasangka buruk kepada mereka karena hatiku ingin berkata demikian. Aku sadar ini adalah hukumanku dari-Mu karena dahulu saat Kau angkat derajadku, aku malah tidak bersyukur kepada-Mu. Ampuni aku ya Allah karena dahulu aku tidak pernah bersyukur kepada-Mu atas nikmat berupa tamu yang melimpah di rumah pemberian-Mu ini!” ucap Pak Bakran dalam doa beliau setelah salat Asar.

Setelah menunaikan salat Asar dan berdoa, beliau duduk sendiri di teras depan sambil memandangi barisan semut yang berduyun-duyun dengan teratur. Sambil duduk, beliau pun berkata dalam hati,

“Aku iri dengan semut-semut yang begitu akrab di hari yang suci ini. Aku manusia, tetapi tidak dapat seakrab itu dengan para mantan bawahanku di hari yang suci ini setelah aku pensiun…. Sungguh aku malu kepada diriku sendiri. Aku mantan pemimpin yang gagal. Pemimpin yang sukses selalu dikenang para bawahannya dan juga rakyat banyak seperti pahlawan kemerdekaan, bukan seperti diriku ini yang telah mereka lupakan.”

“Ah! Ada apa denganku? Seharusnya aku bersyukur sudah diberi Allah SWT nikmat kehidupan yang masih kurasakan pada hari ini. Banyak kerabatku yang sudah tidak dapat menikmati indahnya lebaran seperti diriku. Walaupun bawahan-bawahanku tidak datang, aku masih memiliki para tetangga dan keluarga yang menyayangiku. Aku masih ingat begitu baiknya sikap mereka di masjid tadi kepadaku. Astaghfirullah! Astaghfirullah!” ucap pak Bakran dalam hati.

“Kek! Memang terasa nyaman ternyata duduk di sini. Udaranya sejuk dan bersih dari polusi,” ucap Bu Hari sambil membawakan secangkir kopi hangat untuk Pak Bakran.

Mereka terlibat dalam perbincangan yang hangat. Kadang-kadang mereka tertawa dengan hal yang mereka perbincangkan. Waktu pun tidak terasa berlalu oleh mereka hingga petang menjelang di hadapan mereka. Dengan segera mereka pun masuk ke rumah yang sudah lama mereka diami itu.

***

“Assalamu’alaikum! Assalamu’alaikum!” Seorang lelaki muda mengucapkan salam dari luar halaman rumah Pak Bakran keesokan harinya.

“Wa’alaikumussalam!” Suara Pak Bakran dari dalam rumah didengar pemuda itu.

“Selamat Idul Fitri dan mohon maaf lahir dan batin ya Pak!” seru pemuda itu.

“Ternyata kamu Din yang datang. Terima kasih banyak Din atas kedatangan dan ucapan selamat Idul Fitri darimu,” kata Pak Bakran dengan raut muka yang cerah kepada Syamsudin.

“Bagaimana kabar Bapak?”

“Kabar Bapak baik, tetapi saat ini Bapak masih bingung karena dari hari kemarin hanya kamu mantan bawahan Bapak yang datang di rumah ini. Untunglah saat ini ada kamu yang bertamu di rumah Bapak.”

“Benarkah Pak baru saya yang datang menyambangi rumah Bapak ini? Jujur saya kurang percaya dengan kata-kata Bapak tadi.”

“Ini adalah kenyataannya bahwa lebaran tahun ini sangat berbeda dengan lebaran tahun-tahun sebelumnya. Bapak hanya dapat memaklumi keadaan ini karena pensiunan seperti Bapak ini tidak pantas mengharapkan tamu yang banyak.”

“Saya ikut prihatin atas nasib yang sedang Bapak alami saat ini. Semoga kedatangan saya dapat menghibur hati Bapak.”

Pak Bakran memang sedikit terhibur dengan kedantangan Saymsudin di rumah Beliau. Mereka berbincang cukup lama. Sungguh, Pak Bakran tidak menyangka kalau tahun ini keadaannya berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Beliau hanya berusaha untuk memaklumi keadaan yang sedang beliau alami dan mencoba untuk tetap bahagia di hari yang fitri.

“Ya Allah kali ini aku bersyukur kepada-Mu karena telah Kauberikan tamu untukku. Jika Engkau masih mengizinkanku berharap sesuatu yang lain, aku hanya berharap para pejabat sekarang tidak mengalami nasib yang serupa denganku saat mereka telah pensiun nanti. Aku juga memohon kepada-Mu jadikanlah para pejabat di negara ini dapat menjadi pemimpin-pemimpin sukses yang dapat menyejahterakan bawahan-bawahan mereka dan terutama rakyat di negara ini. Dengan demikian, mereka tetap dikenang oleh para bawahan mereka saat menjalani masa pensiun, bahkan hingga berpulang kepada-Mu!” ucap Pak Bakran sambil meneteskan air mata setelah selesai salat Juhur.

Pak Bakran pun bangkit dan berjalan menapaki kehidupan beliau dengan kesabaran dan rasa syukur kepada-Nya bersama para keluarga dan masyarakat di sekitar beliau.

by;mahmud jauhari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar