Senin, 06 September 2010

aku tahu

Hidup yang tak dipertanyakan adalah hidup yang sia-sia
-Plato-

Rumah sakit jiwa yang terletak di sudut kota itu, benar-benar membuat siapa saja yang lewat akan menutup telinganya. Bising. Seperti dipenuhi oleh ribuan manusia yang terperangkap dalam sebuah bola kaca.

“Dokter Susilo, ada pasien baru di ruang tiga, seorang polisi menemukannya di sebuah jalan kemarin,”lapor seorang suster.

“Iya, tunggu sebentar.”

Pasien itu, punya mata yang indah, coklat, seperti blasteran Arab Indonesia. Tapi, sayangnya, pandangan matanya, lurus ke depan, tanpa emosi dan ekspresi. Dokter Susilo yang baru saja melihatnya merasakan sebuah kehampaan di sana. Sebuah perenungan yang panjang akan hidup, sebuah perjalanan panjang yang membuat hidupnya sampai di rumah sakit ini. Kedua tangan pasien tersebut diborgol dan diikat dengan rantai di dua buah tiang.

“Hati-hati Dokter, kemarin dia baru saja membunuh sahabatnya sendiri,” kata perawat berwajah datar itu, mengingatkan.

Tapi, dokter yang baru terangkat itu, merasakan kalau, bagaimana mungkin wajah datar tanpa ekspresi itu, bagaimana mungkin wajah cantik dengan mata indah itu, bagaimana mungkin jari-jari lentik yang kelihatan lemah itu, bisa membunuh orang.

“Hasil diagnosa penyakitnya menyatakan kalau dia ternyata penderita kelainan jiwa kepribadian ganda, gelombang otaknya jauh dari normal. Dia punya dua kepribadian,” terang sang perawat.

Malam itu, di tengah dinginnya suasana rumah sakit, pasien no. 83 itu, meneteskan air mata, sayup-sayup di dengarnya suara televisi. Ada dua orang penjaga malam yang sedang menonton berita.

“Wah….. gila…… programer jenius yang bisa buat firewall paling aman itu, ditemukan tewas bunuh diri,” teriak seorang penjaga malam kepada temannya yang hanya berjarak beberapa senti darinya.

“Ah….. kamu jangan teriak-teriak dong, aku kan di dekatmu, telingaku mau pecah,” protes teman si penjaga malam.

Malam berlalu seperti biasanya, seperti kebanyakan malam yang telah lalu. Seperti malam yang telah dilewatkan beribu manusia. Sayup-sayup terdegar suara tangisan di ruangan tiga. Awalnya hanya sayup-sayup, hingga akhirnya…..

“AKHhhhhhhhhhhhhhhhh………………….”

Pasien no.83 berteriak histeris, dokter dan perawat datang berlarian menghampiri, tapi, saat mereka tiba di sana, yang mereka temukan bukan teriakan dan wajah ketakutan, tapi di sana, di wajah itu, yang ada adalah sebuah senyuman, bukan seringai. Dan mata coklat itu terpejam. Dia tidur.

***

“Ma, aku berangkat dulu ya!!!!”

“Iya, hati-hati, setelah sekolah, langsung pulang ke rumah ya, jangan mampir di rumah teman lagi,” sahut sang ibu.

“Iya…iya…”

Pintu dibuka, lalu tertutup lagi, sayup-sayup terdengar suara televisi.

Pemuda yang baru-baru ini menjadi programer sebuah firewall yang diyakini merupakan sistem pertahanan keamanan komputer yang paling aman, ditemukan tewas bunuh diri di apartemennya. Diduga programer berbakat itu, telah tewas lima jam yang lalu. Pihak kepolisian berusaha menghubungi pihak keluarganya, tapi ternyata, programer berbakat itu sebatang kara. Sekian, sekilas info hari ini.

“Pak, Dani kok belum pulang, ya? Bukannnya anak kuliahan sudah libur ?” tanya sang istri.

“Tunggu saja sampai sebentar sore, mungkin saja dia mau bikin surprise buat kita.”

“Tidak masalah kapan dia pulang, Cuma aku khawatir saja, sama berita di TV itu, banyak orang yang tewas bunuh diri. Lagipula, si Dani kan jurusan teknik komputer juga, kan Pak.”

“Hus…. sembarangan, jangan berprasangka yang tidak-tidak !!!”

Kemudian pintu terbuka, seorang pemuda seusia anak kuliahan masuk.

“Ma.. Pa… Dani pulang!” teriak anak itu.

“Tuh, kan. Apa aku bilang, dia udah pulang,” sergah sang suami.

“Iya.”

***

Dear Diary,
Namaku WD. Bacanya Widi. Tapi kalau ditulis, cuma WD. Namaku cuma itu. Cuma dua huruf. Ayah yang memberiku nama seperti itu, karena katanya,
Dua itu keraguan
Perpecahan,
Perselisihan,
Pertikaian
Dua adalah buah kembar pada ranting
Manis dan pahit.
Maknanya memang jelek. Aku tidak tau kenapa ayah memberiku nama seperti itu. Tapi, tak apalah. Itu hanyalah sebuah nama. Apalah arti sebuah nama?. Aku punya keluarga yang sangat bahagia. Kakak laki-lakiku, ayah, dan ibuku. Ayah adalah seorang keturunan Arab, dan Ibu orang Indonesia asli. Dalam kata lain, aku dan kakakku adalah blasteran Arab Indonesia. Mata kami indah, karena berwarna coklat. Kami bahagia sekali, meskipun Ayah sangat fanatik terhadap idealismenya. Boleh dikata, kami adalah keluarga yang sempurna. Ayah adalah seorang direktur sebuah perusahaan, Kakak sudah mahasiswa tingkat empat, dan Ibu selalu mengurus kami di rumah. Semuanya sempurna. Aku masih SMA. Masa yang paling indah. Aku terkenal di sekolah. Penuh dengan segudang prestasi, ya, semuanya sempurna. Keluarga, sekolah, semuanya kudapatkan. Tapi, ada yang masih kurang dariku, aku selalu bertanya untuk apa sebenarnya kita hidup? Dan pertanyaan itu, menyiksaku setiap hari. Semakin hari, semakin menyiksa. Dan aku semakin merasa ada yang kurang dalam hidupku, meski semuanya sempurna. Aku sangat sayang Ayah. Dia punya banyak idealisme tentang kehidupan yang selalu dia ajarkan padaku. Tapi, tetap saja aku tidak mengerti. Karena semua hanya teori, yang dia ajarkan padaku hanya teori, semuanya tidak nyata. Ah, sudahlah. Sudah larut malam, tanganku lelah mengetik. Semua persendianku kaku. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan. Ada banyak kegiatan di sekolah, dan aku tidak pernah punya waktu untuk bernafas sesaat. Pulangnya, aku sebel kepada semua orang rumah, aku sebel pada Kakak, yang pulang tanpa memberitahuku. Aku sebel pada Ayah, yang belum juga mengabulkan keinginanku untuk membeli notebook. Aku sebel pada Ibu, yang masakannya selalu kurang asin. Aku sebel pada semuanya. Pokoknya, aku ingin hidup yang sempurna. Dan semuanya masih kurang bagiku. Semuanya masih punya banyak kekurangan. Aku selalu menuntut kesempurnaan. Aku selalu menuntut kesempurnaan, segalannya harus sempurna,
Aku harus jadi yang terbaik,
Aku harus dapat nilai yang sempurna,
Aku harus mendapatkan sahabat yang sempurna,
Aku harus mendapatkan semua yang kuinginkan,
ALL OF THING MUST BE PERFECT…………
Karena aku ingin mendapatkan semuanya sempurna, aku selalu tidak punya teman. Karena aku ingin sahabat yang sempurna, aku selalu menuntut orang yang dekat denganku, untuk jadi seperti yang aku inginkan. Aku tidak pernah merasa puas dengan apa yang aku punya, karena aku ingin sesuatu yang lebih.
Aku ingin semuanya berubah menjadi seperti yang aku mau.

***

Hari ini, Kakak pergi entah ke mana lagi. Dia memang selalu menghilang kalau pulang dari kuliah. Pergi dengan teman-temannya. Katanya belajar. Yang ada di ruang keluarga, hanya Ayah. Sedang nonton TV.

“WD, duduk sini Nak !”perintah Ayah.

WD duduk di sampingnya, sejenak suasana ruangan itu, sunyi sepi. Dua pasang mata itu, hanya menatap layar kaca. Tak ada suara. Yang ada hanyalah suara si pembawa berita, sedang membawakan berita.

“WD, kalau Ayah nggak ada lagi, kamu mau apa?”

“Maksud Ayah?”

“Misalnya, kalo suatu saat Ayah meninggal, kamu akan bagaimana?”

“Kok, Ayah tanya seperti itu?”

“Nggak, Ayah cuma mau tahu.”

Ruangan itu, kembali dikuasai oleh suara televisi. Ayah segera beringsut dari tempat duduknya, masuk ke dalam ruangan kerjanya. WD mendengar kalau HP ayahnya berbunyi. Dari jauh, terdengar seseorang menelpon Ayah

“Iya, nanti saya transfer ke rekening kamu. Yang penting sediakan dulu barangnya. Lebih baik secepatnya, karena kami sangat butuh barang itu bulan depan,” suara Ayah.

Pasti itu soal pekerjaan. Ayah selalu tidak pernah mencampurkan urusan keluarga dengan pekerjaan. Kami tidak pernah tahu, apa yang dia lakukan, apa proyek barunya, bahkan Ibu pun tidak. Semua yang ada di kantor, tidak kami tahu. Yang penting adalah kami bahagia.

***

Aku pulang terlambat. Ada banyak rapat hari ini di sekolah. Aku kan ketua OSIS. Aku pulang saat azan magrib sudah berkumandang. Aku pun bergegas. Aku tidak mengerti kenapa, saat azan seperti ini masih banyak mobil berkeliaran di jalan. Apakah mereka tidak shalat. Bukankah kita hidup untuk beribadah?? Lalu kenapa mereka seolah-olah melupakan tujuan kita. Itulah, yang aku pertanyakan, untuk apa kita hidup? Ah, pertanyaan itu lagi. Setiap hari, aku selalu memikirkannya berpuluh-puluh kali, dan setiap aku memikirkannya, aku sselalu tidak punya jawaban tepat untuk itu. Membuat kepalaku sakit.

Perlahan kubuka pintu rumah, sepatu kuletakkan di tempatnya, tasku kupegang, aku akan naik ke kamarku, tapi di ruang tengah aku lihat Ibu menangis. Aku terkejut. Aku bertanya pada Ibu, apa yang telah terjadi.

“Ayah pergi Nak, Ibu tidak tahu Ayah ke mana. Ibu sudah cari ke kantornya. Katanya tugas dinas Ayah, sudah selesai satu minggu yang lalu. Ibu, benar-benar tidak tahu Ayah ke mana,” Ibu menangis sambil berbicara.

Aku cuma diam seribu bahasa. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Dua minggu lalu, aku masih bicara dengan Ayah, di atas sofa ini. Ayah yang kukagumi. Ayah yang membuatku kagum dengan idealismenya, dengan prinsip-prinsipnya. Ke manakah engkau, Ayah? Apa yang telah terjadi? Akhir-akhir ini beliau memang aneh, sangat aneh. Ayah selalu angkat telepon tidak di depan kami. Saat HPnya berdering, dia menjauh dan mengangkat telpon. Satu yang aku tahu. Ayah pergi entah ke mana.

***

Beberapa bulan kemudian, dan Ayah belum pulang-pulang juga. Ibu makin kurus. Dan Kakak semakin jarang tinggal di rumah. Aku seperti sendiri. Dan aku tidak sadar juga apa yang telah terjadi. Ibu mulai sakit-sakitan dan sering menggigau yang tidak-tidak. Tapi, Ibu masih cantik. Tidak apa, aku masih punya Ibu dan Kakak. Dan yang paling penting, aku memiliki semuanya di sekolah. Aku peringkat umum. Aku masih anak kesayangan guru-guru. Aku masih anak kesayangan Pak Kepsek. Aku cuma kehilangan satu. Cuma satu.

***

Selamat pagi pemirsa.
Kemarin, ditemukan mayat seorang anak muda berumur 20 tahun di sebuah got pada sebuah gang. Setelah mayat diidentifikasi, ternyata, mayat telah dibantai secara sadis. Mayat tersebut tidak memilki kartu ID, sehingga pihak kepolisian tidak bisa menghubungi keluarga korban. Hingga saat ini, polisi masih dalam tahap penyelidikan.

Jangan kemana-mana pemirsa, sesaat lagi, akan kami hadirkan berita tentang pencurian mayat, dari rumah sakit DC.

Berita televisi pagi ini membuatku merasa khawatir, Kakak belum pulang juga. Sudah tiga hari. Ibu semakin cemas dan tidak tahu harus mencarinya di mana. Semua rumah teman-temannya telah didatangi. Tapi, tidak ada satu pun.

”Akhhhh…………”

Kudengar suara Ibu menjerit dari ruang depan.

***

Orang-orang berdatangan ke rumah kami untuk melayat. Waktu aku mendengar Ibu menjerit, aku segera bergegas ke rung depan, dan aku cuma melihat Ibu pingsan, dan sekelompok orang berseragam polisi, berusaha mengangkat Ibu. Belakangan aku tahu, kalau mereka membawa berita buruk tentang kematian Kakak, hingga Ibu menjadi shock.

Kakak dibunuh orang. Berdasarkan penyelidikan polisi, Kakak punya banyak utang dengan para preman. Aku tidak tahu kenapa, Kakak punya hubungan dengan preman. Padahal kakak adalah laki-laki yang paling kukagumi setelah Ayah, padahal Kakak selalu punya prestasi. Padahal, Kakak adalah anak kesayangan Ibu. Padahal kami selalu memberikan apa yang dia inginkan. Apa yang sebenarnya terjadi ? Apa yang tersembunyi di balik kesempurnaan keluarga kami dulu. Apa yang telah terjadi ? Seperti apa Tuhan telah mempermainkan kami? Apakah Tuhan sudah mati, hingga kami tidak punya penolong lagi? Ah, itu kata Nietzche, bukan kataku. Aku cuma menirunya. Dia selalu berteriak, kalau Tuhan telah mati, dan oranng-orang telah membunuhnya. Dulu, aku tidak mengerti, bagaimana mungkin Nietzche mengatakan Tuhan sudah mati, padahal Dia selalu memperhatikan kami. Dialah yang membuat hidup kami menjadi sempurna. Ayah, Kakak, Ibu, dan semua yang kuinginkan, selalu bisa aku dapatkan. Tapi, itu dulu. Sebelum Tuhan mati. Sekarang, aku tiba-tiba merasa kalau Tuhan memang sudah mati. Dan dia tidak peduli aku. Mungkin dia sudah melupakanku.

Ibu tidak sadarkan diri, sedangkan aku cuma duduk di pojok ruangan. Diam, tanpa air mata, tanpa kata. Aku cuma diam. Kakak dibunuh. Berita di TV itu, tentang Kakak. Aku cuma tinggal berdua dengan Ibu. Meja makan ini, tidak akan penuh seperti biasanya, dua kursi kosong. Dari dalam kepalaku, ada suara…

Untuk apa kamu hidup?
Apa tujuan manusia hidup?

Aku cuma diam di balik semua ini, semuanya begitu cepat. Semuanya seperti membalik telapak tangan. Hidupku yang sempurna. Seperti waktu berhenti. Seperti malam akan terus malam. Sepertinya tidak akan datang pagi lagi untuk keluargaku. Sepertinya kami sedang ada di film dalam sebuah televisi.
Malamnya, aku baru sadar, kalau semua ini nyata. Kalau aku tidak sedang bermimpi. Sayup-sayup suara angin membawa lagu Peterpan.

Jalan hidup telah memilih
Menurunkan aku ke bumi
Hari berganti-dan berganti
Aku diam tak memahami
Mengapa hidup begitu sepi
Apakah hidup seperti ini
Mengapa kuselalu sendiri,
Apakah hidupku tak berarti
Mencoba bertanya pada manusia tak ada jawabnya
Aku bertanya pada langit Tuhan
Langit tak mendengar

***

Aku sadar tidak ada gunanya memikirkan semuanya, hidupku kembali normal bersama Ibu. Ibu sudah mulai menerima keadaan. Meski meja makan selalu punya dua kursi kosong. Meski semuanya tidak sesempurna dulu. Semuanya kembali normal. Sebenarnya, aku masih sering menangis. Tapi, apa gunanya menangis. Menangis tidak akan membuat apa yang hilang darimu, akan kembali. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Menangis hanya kan membuat kita ketinggalan kereta waktu. Biarkan semuanya berlalu. Lupakan. Untuk menjadi manusia yang bahagia, kita memang harus banyak-banyak melupakan. Harus banyak melupakan kenangan buruk. Harus lupa semuanya. Yang aku ingat hanyalah, aku tidak boleh kehilangan apapun di sekolah. Tidak boleh. Sekolah adalah milikku.

***

“Ibu, makanan sudah siap, makan yuk,” ajakku.

Aku sudah mengetuk pintu kamar Ibu berulang kali, tapi tidak ada balasan dari dalam. Kuberanikan diri untuk membuka pintu kamarnya. Kamar Ibu kosong, tidak ada Ibu di sana. Aku mencari Ibu di setiap sudut rumah. Tapi, tidak ada Ibu di sana. Ibu tidak punya teman. Ibu tidak pernah keluar rumah. Tapi, tidak ada Ibu di sini. Ke mana Ibu? Aku capek mencarinya, mungkin Ibu hanya keluar sebentar mungkin. Mungkin cuma buat beli sesuatu. Dan aku duduk di meja makan. Sunyi. Tidak ada suara. Hanya detak jam. Sekarang ada tiga kursi kosong. Aku cuma diam dan berkata, “Selamat makan.”

Meski tidak ada satu orang pun di atas meja ini selain aku, aku makan dengan cepat. Lalu, kembali ke kamar. Belajar. Besok aku ujian.

Esoknya, aku kembali ke meja makan, meyiapkan makanan untuk empat orang, kuketuk pintu kamar Ibu, tapi tak ada suara. Kubuka. Dan di sana tak ada kehidupan. Aku cuma berpikir, mungkin urusan Ibu belum selesai, dan aku kembali menyediakan piring untuk empat orang dan mengucapkan selamat makan. Makan dengan cepat, pergi ke sekolah. Dan begitu selama beberapa hari. Aku yakin Ibu akan pulang.

***

Aku sudah menunggu banyak orang. Menunggu Ayah pulang, menunggu Kakak pulang, menungu Ibu pulang. Tapi, Ayah tidak pulang, Kakak tidak pulang, Ibu tidak pulang. Tidak ada satu pun yang pulang. Dan pagi itu, aku makan seperti biasa, menyediakan piring untuk empat orang, siapa tahu mereka pulang pagi ini. Pagi ini, aku tidak makan cepat. Dan tiga kursi kosong itu, belum juga pulang penghuninya. Aku menatap kursi kosong itu satu-persatu dan mengucapkan selamat makan. Sunyi sekali rumah ini. Aku menoleh ke sofa ruang tengah, tidak ada Ayah di situ. Yang ada hanya televisi yang membawa berita-berita. Sambil makan, kudengar sayup-sayup suara seksi pembaca berita.

Kemarin tengah dilangsungkan acara pernikahan besar-besaran seorang kepala camat di gedung X.

Aku makan dengan lambat, kemudian menoleh ke TV, aku melihat pengantin wanitanya seumuran Ibu. Wajahnya disorot kamera,
Ah, tidak mungkin itu Ibu. Kenapa? Kenapa Ibu ada di situ?? Kenapa?? Itu Ibu. Aku berlari ke arah televisi seperti ingin menempelkan wajahku ke layar kaca.

Berita selanjutnya, seorang anak muda berhasil menciptakan sebuah firewall yang mampu memberikan perlindungan paling efektif untuk komputer. Program tersebut telah diuji coba, dan memang, telah terbukti, tidak ada hacker yang mampu menembus lapisan keamannnya.

Aku masih heran dengan berita di TV, tiba-tiba saja wajah Kakak juga muncul di TV. Hah, itu Kakak? Kakak? Kakak masih hidup. Kenapa semua ini bisa terjadi? Kakak membuat Firewall. Ya, itu impiannya. Menjadi seorang programer. Aku bahagia. Tapi, Ibu??? Ibu menikah. Aku tidak percaya ini. Aku…. aku merasa seperrti mimpi.

Pemirsa, tetaplah bersama kami, berita selanjutnya adalah, tertangkapnya pemimpin kawanan teroris.

Aku tidak peduli dengan berita itu. Itu urusan mereka. Bukan urusanku. Teroris atau bom, itu dunia luar bagiku, di sini duniaku. Ketika wajah pemimpin kawanan teroris itu di sorot kamera, aku jadi terkejut. Itu………… Ayah.

***

Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi sebenarnya. Tiba-tiba saja, semua yang kusayangi, berubah jadi orang lain. Orang yang tidak kukenal. Tiba-tiba saja aku merasa semdiri dan tak punya siapa-siapa. Aku duduk bersandar di dinding, menekuk lutut, dan diam. Hanya diam.

***

“Akhhhhhhhhhhhhhhh…………”

“Ih….. kamu dengar tidak, ada suara orang teriak di sana.”

“Jangan sembarang bilang ah, kita baru aja lewat rumah paling angker sekompleks nich,” ujar seorang hansip penjaga malam, ketakutan.

“Walah, aku serius Bang, barusan memang ada suara-suara loh,” tegas teman si hansip.

“Pulang yuk !!” ajak hansip ketakutan.

***

Aku berlari keluar rumah. Aku berteriak sepuasku. Gelegak batin ini sudah kutimbun sejak lama. Apa yang terjadi ? Apa yang telah terjadi aku tidak mengerti. Aku kalap. Aku berlari, aku ingin lari ke ujung langit. Aku ingin berlari sampai kaki langit. Tapi, langit tidak bertepi. Aku akan terus berlari. Aku marah. Aku sedih. Aku bingung. Aku tidak mengerti apa-apa tentang hidup. Aku tidak mengerti. Aku tidak sempurna lagi. Padahal aku selalu menuntut kesempurnaan itu. Selalu. Aku ingin kesempurnaan. Tapi, yang kupunyai kini hanya kepingan-kepingan masa lalu. Hanya sebuah kenangan. Aku tidak punya masa depan. Semuanya pergi. Mencari dunianya sendiri. Aku sayang Ayah. Aku sayang Ibu. Aku sayang Kakak. Tapi, mereka kini seperti tidak kenal aku. Mereka seperti tidak pernah bertemu aku sebelumnya, seperti di rumah ini, memang pada awalnya aku sudah sendiri. Seperti Tuhan memang menciptakanku sendirian. Tanpa siapapun tanpa apapun. Malam ini terlalu sunyi. Dan aku cuma bisa berteriak. Apa yang bisa kumengerti dari hidup? Aku tidak tahu apa-apa. Aku bahkan tidak mengerti sekarang, siapa aku. Apakah aku memang manusia? Atau aku hantu gentayangan? Hantu yang dipusingkan dengan masa lalunya. Atau aku cuma sebuah cerita? Atau aku cuma sebuah tokoh dalam cerpen yang dipegang oleh seorang anak yang membaca kisah hidupku sambil menangis, tapi ketika ibunya memanggilnya untuk makan siang, dia menghempaskan buku cerita tersebut. Dan melupakanku. Seolah-olah aku tidak berarti. Sebegitu mudahnyakah aku dilupakan?? Apakah aku cuma tokoh sebuah cerpen yang akan selesai, akan dilupakan begitu cerita selesai? Entahlah, aku tidak tahu siapa aku. Aku bahkan tidak yakin, apakah aku ini benar-benar nyata atau tidak. Aku tidak yakin apakah aku ini hidup atau hanya sebuah tokoh dalam pikiran seorang pengarang cerpen. Aku sayang mereka. Tapi, kenapa tiba-tiba mereka berubah jadi orang lain. Aku……. aku marah. Aku tidak tahu, bagaimana harus menghilangkan kemarahan. Di sini tidak ada Ibu, yang akan menenangkanku saat aku marah, saat aku sedih. Ibu… Ibu sudah jadi orang lain.

Aku melihat seseorang di balik kegelapan sana, siluet wajahnya diterpa cahaya bulan, membuat wajahnya jelas terlihat. Itu, itu kepala camat yang dinikahi ibuku. Aku, aku harus membunuhnya. Dia sudah mengambil Ibu, dia sudah mengambil orang terakhir yang masih bisa kumiliki. Dia sudah meghalangiku untuk menjadi sempurna. Akan kubunuh dia. Aku masih memegang garpu saat makan tadi, kutusukkan di matanya, di dadanya, di jantungnya, di hatinya, supaya dia tahu betapa sakitnya, kehilangan. Dia harus kehilangan nyawanya. Sedihkah dia kalau dia kehilangan nyawanya? Sedihkah dia kalau ruh berpisah dari jasadnya?? Yang mana sebenarnya manusia itu, dalam jasad atau dalam ruh?? Aku tidak mengerti. Apakah saat tubuh berpisah dari ruh, maka kita akan ada di mana?? Apakah kita adalah jasad atau ruh?? Entahlah. Aku sudah membunuhnya, mungkin dia sudah tahu, betapa sakitnya kehilangan, betapa sakitnya rasa sepi itu. Betapa…………………

Semuanya gelap.

***

“Minggir, saya polisi !”

“Ada mayat dan satu orang yang pingsan, Pak.”

“Cepat bawa ke rumah sakit.”

***

“Dok, bagaimana dengan anak saya Dok??”

“Oh, anda orang tuanya WD??”

“Benar, Dok. Kami orang tuanya,” ujar dua orang suami istri.

“Saya kakaknya, Dok” ujar seorang laki-laki.

“Dia ada di ruang tiga, sedang bicara tak karuan. Semalaman dia tidur nyenyak. Kondisinya sudah agak baikan, tapi saya sarankan agar anda menjaga jarak dengan dia, karena saat ini dia sangat berbahaya. Dia selalu mengira, orang yang mendekatinya sebagai perusak hidupnya. Saat saya tanyakan tentang anda semua, dia bilang, sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Katanya, mamanya menikah dnegan seorang camat. Kakaknya tiba-tiba saja melupaknnya dan menjadi orang lain. Dan ayahnya, saat saya tanyakan tentang anda, dia mengatakan kalau anda adalah seorang teroris dan baru saja dieksekusi mati. Berdasarkan hasil diagnosa penyakitnya, dia mengalami gangguan jiwa.”

“Apa penyakitnya Dok??”

Tapi, dokter Susilo segera berjalan cepat.

“Dok, Dokter Susilo, apa penyakit anak saya?”

“Anak anda penderita kepribadian ganda, dia punya dua kepribadian. Maafkan saya, kalau saat ini dia tidak mengenali anda. Satu kepribadiannya entah bagaimana, hilang begtu saja, yang menguasainya saat ini, adalah kepribadiannya yang satunya, kepribadian lain yang beranggapan kalau dia adalah sebatang kara. Anda masih beruntung, sebagian besar kasus kepribadian ganda, memiliki jumlah kepribadian lebih dari dua, bahkan ada yang sampai 24 kepribadian dalam satu tubuh,” terang Dokter Susilo.

***

Wajah ayu itu, menatap dinding putih yang catnya mengelupas, dengan hampa. Tiba-tiba dia berbalik, dengan tangan masih dirantai, dia berkata, “Dokter saya tahu, saya sudah mengerti. Saya tahu.”

Ada binar di matanya, cahaya kegembiraan. Kedua orang tua dan kakaknya yang tepat berada di sebelah Dokter Susilo menjadi terkejut.

Dengan sabar Dokter Susilo berkata, “Kamu tahu apa Dek??”

Mata coklat itu, berbinar dan berkata, ”Saya tahu, kalau saya tak pernah ada, saya cuma imajinasi. Saya cuma tokoh cerpen yang hanya hidup dalam kepala pengarang dan pembaca cerita kehidupan saya. Saya tahu, Dok. Saya tahu kalau saya tidak pernah ada. Dan setelah cerita hidup saya selesai, atau orang sudah bosan dengan cerita hidup saya, saya akan dilupakan. Saya…… saya cuma tokoh cerpen, Dokter. Ha.. ha.. ha..”

***

Kringggggg………….kringgggggggg..kringgggggggg.

“WD, WD sayang, ayo bangun Sayang, Ayah sudah menunggu di bawah, nanti kamu terlambat ke sekolah.”

“Hah…..hah……” Bukan bunyi jam weker yang membuatku terbangun, tapi suara panggilan Mama.

Aku tersentak dari tidurku. Aku, aku mimpi. Mimpi kalau aku kehilangan semuanya. Aku melihat Mama masuk dan duduk di tepi tempat tidurku. Aku melihat Mama, ada rasa rindu di hatiku. Mamaku sayang. Kupeluk mamaku.

“Aku sayang Mama !!!”

“Ihh….iiihh… apaan sih, kayak tidak pernah ketemu setahun saja !!” kata Mama, dengan heran.

Aku segera beranjak dari tidurku. Aku masih SMA. Tapi, aku berdiri di atas tempat tidurku, dan berteriak, “Ma….. Ma…. Mama sayang, aku tahu satu hal loh!!!”

“Apaan sih, kok, bangun tidur, tiba-tiba kamu jadi sok manis begitu, sok misterius, kayak detektif yang di TV ?”

“Ma, aku beritahu satu hal deh.”

“Apaan sih? Sana cepat beritahu Mama.”

“Mama……. Mama…. Ma….. aku tahu Ma, kalau aku………..”

“Kalau kamu….,” lanjut Mama.

“Kalau aku bukan tokoh cerpen, kalau aku nyata, Ma. Aku benar-benar hidup !!! Yuhui…. hidup ini indah. Aku bahagia jadi anak Mama, aku bahagia hidup. Aku suka dunia yang seperti ini.”

Mama keheranan dengan tingkahku pagi itu, aku melompat-lompat di atas tempat tidur, aku tiba-tiba jadi tahu jawaban semua pertanyaanku selama ini, kalau tujuan manusia hidup adalah untuk menjalani hidup. Untuk menjadi manusia yang bahagia. Dan untuk menemukan Tuhan. Untuk mensyukuri semua yang telah Dia berikan pada kita. Sesaat aku sadar, betapa sempurnanya hidupku. Betapa hidup seperti dalam mimpiku itu, sangat membuatku menderita. Ah, cuma mimpi. Aku bahagia sekali hari ini.

Aku tahu,
Betapa sempurnanya hidupku,
Aku tahu, aku tidak butuh apa-apa lagi
Aku sudah memiliki semuanya
Aku tahu kalau Nietzche salah,
Aku tahu kalau Tuhan tidak mati.
Aku tahu kalau Dia tidak pernah melupakanku,
Meski aku kadang melupakan-Nya,
Aku tahu kalau……
Dia begitu sayang padaku.
Aku jadi semakin…….
Merasa bersalah karena telah berkali-kali
meninggalkan-Nya

by;mahmud jauhari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar